25 April 2012

Aku, Kaliurang dan Pelajaran Kehidupan

Senja kala itu, aku bersama beberapa teman yang berlandaskan primordialisme dari Jakarta tiba di bundaran UGM, Jogjakarta. Tempat berkumpulnya manusia yang ingin belajar dan bersilaturahmi. Senang. Perasaan itulah yang aku rasakan. Jogjakarta bukanlah tempat yang asing lagi bagiku. Dan saat itu, merasakan Jogjakarta di ujung senja memberikan warna tersendiri layaknya harmonisasi alam yang mengikuti irama menuju malam.
Bersama peserta camp yang lain, aku merasakan keberagaman itu hadir sebagai keunikan. Kami datang dari berbagai macam identitas yang kami bawa. Dengan tema #LGBTIQ ini aku merasakan benar-benar disamping mereka secara utuh. Bukan hanya dari lirikan mata. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga muncul pilihan menjadi ‘beda’ menurut orang lain. Dan itu merupakan pilihan yang menjadi hak paling hakiki dalam hidupnya. Pelajaran pentingnya “jangan pernah ngejudge seseorang sebelum tahu apa sebab dibaliknya” 

Datang dari identitas yang berbeda menjadikanku banyak belajar. Belajar membaca dan mengamati. Membaca lingkungan, membaca pikiran orang lain, membaca perilaku manusia, cara berkomunikasinya dan adat istiadat yang dibawanya. Ini merupakan salah satu cara untuk improve my self. Dengan alasan-alasan inilah taglineku *travelling with studying* itu semakin menyala. Siapa bilang travelling itu hanya buang-buang uang? Tidak. Sekali lagi, banyak pelajaran yang bisa diambil asalkan melek lingkungan.

Dari bunda Anna, aku tahu titik terang bahwa kita harus mengenali siapa diri kita. Tubuh kita bukanlah political instrument. Dan dengan kesadaran palsu, kita pun sering mengabaikan keinginan suara tubuh kita sendiri, yang semestinya itu tidak dilakukan. Omah Jawi menjadi wadah untuk belajar, berbagi, berkeluh kesah dan sekaligus bersenang-senang. Banyak hal baru yang aku pelajari dari kalian semua yang menyenangkan. Hari-hari terasa semakin hangat meski awalnya ‘dingin’ itu masih ada. Dan aku yakin, keluarga beragam ini terbangun dari adanya cinta kasih yang damai. 
Young Queer Faith & Sexuality Camp by Yifos
 Namun, jujur dari awal ketika teman-teman khawatir apakah kita akan di brainwash oleh panitia tentang suatu pemahaman, aku justru menyebut camp ini sebagai rumah dialog. Dimana kita bisa mengeluarkan pendapat, bercerita, berdialog untuk menghasilkan sebuah solusi atau hanya sekedar berbagi pengalaman dengan yang lain. Sebagai peserta camp, kita memiliki kemampuan literasi sehingga bisa memfilter informasi yang masuk. No brain wash again.
Belajar merupakan suatu proses. Proses ini juga yang aku pelajari disini, bukan semata-semata mencari hasil jadi yang instan. Menjadi berbeda bukanlah penghalang untuk saling bersama. Mengambil jalan ‘kiri’ pun bukan jalan yang harus dimusnahkan. Dengan perbedaan itu, justru aku tahu banyak kekayaan yang beragam diantara kita. Kita bisa hidup berdampingan dan saling mendukung karena adanya toleransi yang penuh akan suatu pilihan.
Semoga ghirah belajar ini akan tetap menyala seperti semangatnya ayam yang berkokok membangunkan pagi. 

Love the process and respect the result of it
*Senyum dan semangat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar