19 Desember 2012

Dongeng Pertama

Disuatu hari yang indah, dikisahkan ada sebuah hutan lebat yang dihuni oleh bermacam-macam hewan. Ada rusa, gajah, tupai, kuda, kura-kura, angsa dan sebagainya. Mereka selalu rukun dan hidup berdampingan. Seringkali mereka mencari makan bersama, mandi bersama dan bersenda gurau di bawah riimbun pohon-pohon besar di hutan itu.
Pada suatu hari, salah satu dari mereka yaitu singa yang sangat ramah dan baik ditarik ke kayangan oleh putri hutan. Singa itu mendapatkan kesempatan langka untuk tinggal bersama paduka raja dan ratu hutan di kayangan karena dia adalah hewan yang paling baik dan selalu membantu teman-temannya ketika hidup di hutan. Paduka raja dan ratu sangat mengapresiasi hal itu sehingga singa hidup di kayangan dengan sangat bahagia dan serba kecukupan.

Lalu, setelah beberapa lama melayani paduka raja dan ratu hutan di kayangan, singa dikembalikan lagi ke asalnya. Ia harus turun ke hutan lagi dan membaur bersama yang lain karena keinginan terbesar raja adalah agar ia bisa mengajarkan kebaikan seperti yang dilakukan oleh paduka raja ke singa itu.

Ketika masuk hutan pertama kalinya, singa bergaya seperti orang borjuis. Memamerkan segala yang ia punya dari hasil mengabdi kepada paduka raja. Ia Awalnya rusa, gajah, tupai, kuda, kura-kura dan angsa sangat bergembira menyambut kedatangan singa. Mereka merindukan singa yang sangat baik itu. Mereka berencana membuatkan makanan dan acara api unggun nanti malam. Namun, sebelum acara itu digelar, teman-teman singa merasakan sesuatu yang berbeda. mereka merasa dia bukan singa yang ia kenal dulu.

Sikap singa berubah drastis, tidak seperti sebelum ia berangkat ke kayangan dulu. Ia menjadi hewan yang sombong dan tamak terhadap apa yang ada di depannya “heii dasar gajah gendut, pergi kau dari hadapanku.. aku tak mau lagi bermain sama kalian. Kalian kan udik” Ia menghina semua teman-teman yang sudah mempersiapkan acara penyambutannya kembali ke hutan.

Semua teman-temannya sangat menyayangkan hal ini. Mereka kecewa terhadap singa. Singa tetap saja sombong. Ia seperti tidak mau menerima sambutan gembira dari teman-temannya. “hai singa.. kami melakukan ini semua buat kamu. Kami senang kamu kembali” celetuk rusa dengan lembut. Bahkan singa menjawab dengan sinis kepada semua hewan yang sedang mempersiapkan api unggun, “ah, seleramu buruk sekali rusa. Aku tak suka semua ini, aku bisa menyiapkan sendiri acara yang lebih mewah” singa itu semakin menjadi-jadi sombongnya.

Dengan sangat kecewa akhirnya rusa mengajak semuanya untuk bubar. Dengan suara lantang ia berteriak “jangan lagi memperdulikan singa sombong ini teman-teman. Mentang-mentang kaya, dia sudah lupa siapa dia sebenarnya. Dia sudah lupa sama kita” Akhirnya rusa, gajah, tupai, kuda, kura-kura dan angsa berhamburan menuju ke gubug masing-masing.

Lalu di hutan rimbun itu hanya tinggal singa sendirian. Dia diam. Tiba-tiba semut merah menghampirinya dari lubang di tanah dan berkata “singa, aku mendengarkan semuanya. Seharusnya kau tak seperti itu kepada teman-temanmu” Singa tetap tidak memperdulikan apa yang dikatakan semut merah. Singa merasa tak pelu siapa-siapa lagi karena dia sekarang sudah cukup kaya. Semua barang-barang berharganya ia letakkan di kantong putih yang ia gendong di punggungnya.

Tidak lama kemudian, terdengar suara air bah menghantam telinga. Rupanya banjir bandang melanda hutan tersebut. Semua hewan yang ada di hutan berusaha untuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Ada yang naik ke pohon, ada yang mengikat dirinya ke pohon dan ada yang membuat pertahanan dengan lari tunggang langgang menuju perbukitan. Namun, singa yang satu ini sibuk menyelamatkan barang-barang berharganya. Ia lupa dengan banjir bandang itu justru akan menyeret tubuhnya jika ia tak segera menghindar. Akhirnya barang-barang berharga tersebut lenyap ditelan air bah bersama pemiliknya. Singa meninggal terseret arus banjir yang sangat dalam.

Ketika banjir sudah reda, jasad singa itu nyangkut di ranting pohon jati yang tumbang. Ia meninggal sambil memeluk kantong putih tempat barang-barangnya. Ketika kura-kura tahu, ia langsung memberitakan hal yang menyedihkan ini ke teman-temannya. Serentak semua berkumpul di sudut tempat jasad singa itu terkapar dingin. Mereka terlihat sedih lalu angsa putih itu berkata “teman-teman.. janganlah kita hidup seperti singa, ketika sudah menerima banyak kebaikan malah ia menjadi sombong” kemudian tupai menambahkan “iyaa.. kita tidak boleh sombong. Kita harus bisa berbagi kepada sesama karena berbagi itu hal yang indah untuk dilakukan” Mereka langsung mengubur singa di hutan rimbun itu dan mereka membagi-bagikan barang itu kepada yang membutuhkan. Semenjak itu, hidup hewan-hewan di hutan itu kembali bergembira dan lebih mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan.

1 Desember 2012

Keluarga Besar GMC

Niatnya langsung tidur untuk melepas lelah setelah seharian have fun dengan segala aktivitas yang rupanya sudah menjadi rutinitas. Di perkembangan jalan menuju pagi, yang ada malah begajulan via twitter. Ini sebenarnya efek rindu sama GMC. Graphic Mountain Climbers, organisasi ekstrakurikulerku waktu di SMK dulu. Share tentang kerinduan petualangan dan orang-orang di dalamnya membuatku tak bisa tidur dalam gelap. Aku harus menumpahkan semuanya, melalui twitt bahkan sampai pada tulisan ini.

Surga kecil malam ini datang tiba-tiba. Aku di telepon kakak kelas SMK, sekaligus senior mbolang bareng di organisasi pecinta alam dulu. Dia adalah mas Inod. Mas yang satu ini memang salah satu yang terdekat, sudah ku anggap seperti mas ku sendiri. Komunikasi kami tetap terjaga sampai sekarang. Dia selalu mengayomi adek-adeknya, apalagi aku pribadi sama dengannya. Tinggal di perantauan.

Satu hal yang menjadi nilai distinctive di keluarga besar GMC adalah para senior yang benar-benar mengayomi juniornya dengan sepenuh hati. Almost with smiley. Atmosfer kekeluargaan benar-benar tumbuh dan dikembangkan dengan baik disini. Senior, yang tak bisa ku sebutkan satu-satu namanya selalu mengajarkan hal ini. Selalu menjunjung tinggi value yang menjadi landasan kami. Juga terhadap seseorang yang menjadi bapak kami di keluarga ini. Beliau adalah Pak Rukhan, yang mengajarkan banyak pengalaman untuk bisa survive.

Mereka selalu support kalau ada event lomba yang berhubungan dengan passion kami disini. Sebut saja lomba climbing di Malang. Sampai sekarang aku akan slalu mengingat detail ini. Ketika diajarin climbing pasti secara reflek langsung memasukkan jari tangan ke lubang wall. Ntah karena apa, tapi aku memang sering melakukannya. Hal ini menjadi bahan becandaan teman-teman karena habbit seperti ini sebenarnya tidak bagus untuk menjadi seorang atlet wall climbing. Event di Jonggring Saloka yang menurutku paling memorable ketika aku masih SMK. Mereka sorak sorai berteriak untuk menyemangati juniornya, menyemangati almamternya untuk bisa mendapatkan kebanggaan.

Happy bareng-bareng, susah juga bareng-bareng. Dulu kami sering mbolang dengan cara gratisan. Hampir setiap minggu kami keluar, bercengkrama dengan ramahnya alam. Jika tidak, kami selalu berkumpul di sekolah setiap hari minggu.  Sering juga bantingan untuk beli makanan. Setelah itu dimakan rame-rame sambil hahahihihiiiii. Saling berbagi ilmu, pengalaman, canda, tawa, terharu dan rasa nanonano yang lain. Tempat yang paling seksi untuk kami di sekolah adalah perpustakaan. Disitulah keluarga besar kami sering berkumpul. Perpustakaan Grafika menjadi tempat struggling yang membentuk kami menjadi manusia yang (bisa) selalu peduli terhadap sesamanya. Area perpustakaan juga bertepatan dengan area wall climbing.

Ketika sekarang mengingat momen-momen itu, yang ada hanya senyum dua jari dan ingin mencoba mesin waktu untuk kembali ke momen itu. Spot mbolangnya sudah pasti alam raya yang dimiliki kota Malang. Sangat luas, indah tak berdetak. Coban Pelangi, Coban Glotak, Coban Jahe, Coban Rondo, Coban Manten, Coban Tengah, Gunung Panderman, Pantai Ngliyep, Kondang Merak, Modangan, Sendang Biru dan yang lainnya menjadi tempat tumbuhnya benih kehangatan keluarga besar GMC. Terlebih lagi, Panderman.  Satu tempat ini sepertinya mengandung banyak sejarah cerita yang jika diulang akan membuat pendengarnya kangen bertubi-tubi.

Selain itu ada satu momentum yang paling dinanti-nanti oleh keluarga besar GMC. Diklat Anggota. Momen ini dianggap paling sakral untuk kami semua. Cara dan pengalaman yang ada di dalamnya benar-benar hanya aku dapatkan disini. Ngebully dengan cara yang logis dan membuat kami lebih tough. Yang jelas, i feel free for this case. Glad it through it all. Momen ini sangat ditunggu, baik untuk junior yang baru masuk maupun untuk senior. Diklat itu menjadi semacam hajatan akbarnya GMC.

Banyak perubahan yang terjadi. Aku yang sekarang nyangkut di Jakarta dan yang lain menyebar luas di beberapa kota untuk mencari ilmu, pengalaman dan penghidupan yang tak berkesudahan. Ketika barusan ngobrol banyak dengan mas Inod, bernostalgia tentang yang lampau, rasanya waktu memang berjalan begitu cepat. Dan sekarang.. berjalan 4 tahun jauh dari GMC karena alasan klasik. Jarak.  Yaa, jarak itu kadang memang bikin ngelus dada (seperti pasangan LDR) hhee.. Tapi justru dengan itu feelnya lebih dapet. Prosesnya lebih terasa dan nikmatnya mbolang juga terasa sampai ke ulu hati.

           Ah.. Benar-benar merindukan kalian. Bukan sebatas rindu dengan orang-orangnya, tetapi juga rindu mbolang dan momen yang lainnya. Mbolang pas jaman itu lebih enak dan natural, apalagi kalau kami semua sedang dalam taraf bokek alias uang pas-pasan. Hhmm.. namanya juga masih anak SMK. Semua terasa lebih sederhana dan feel deeply.

Thank you mas Inod untuk surga kecil malam ini. Share planning for future life be the nice closing. See you there, Malang. Next, reach Sempu with the glory of GMC *hopefully*

Bahagia bisa tumbuh dan berkembang bersama kalian. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga besar GMC menjadi saksi perjalanan panjang hidupku sampai di titik ini, ketika aku mengetik cerita ini.

Sedikit kutipan yang ku ambil dari ayat suci sansekerta Hindu, yang juga ditulis di gedung Parlemen India. sepertinya ini memang untuk kita semua. 

Ayam Nijah Paroveti Ganana Laghu Chetasaam. Udaara Charitaanaam tu Vasudhaiva Kutumbakam” Artinya “pemikiran yang sempit mengatakan ini adalah milikku, itu adalah milikmu, tapi pemikiran yang lebih luas akan mengatakan dunia ini adalah sebuah keluarga”  layaknya kita yang menjadi bagian dari keluarga besar GMC.

25 November 2012

Rintik Senja

Rintik hujan kali ini mengingatkanku pada senja
Senja yang memerah dari kejauhan mata
Terlihat jingga yang sangat mempesona
Ia seakan-akan bermanja-manja ingin selalu dipuja

Sedari dulu..
Aku suka senja
Aku suka sore
Lirih Senja di Kereta Progo
Memandang senja berlama-lama
Itu hanya membuatmu semakin menawan
Sangat menawan

Senja.. Semburan warnamu
 membuat mataku tak ingin tergerak ke sudut manapun

Lembayung senja..
Ntah sampai kapan kau akan tetap berseri
Indahmu sebanding dengan sunrise di pagi hari
Langit biru pun luruh karenamu
Senja di ujung Jogjakarta
Senja..
Kau selalu mengajakku terbenam
Menyambut malam dengan asmara yang tak kelam
Ku sebut kau asmara senja

Malam tak lagi datang mencekam
Karena kau selalu mengantarnya dengan matahari terbenam
Berharap aku selalu bisa menyambutmu
Menutup sore dengan keindahan magicmu

22 November 2012

Telepon Semalam

Kamarku sudah terlampau sepi. Rupanya penghuninya sudah tertidur pulas dibalut dinginnya malam. Ada limat wanita disana. Mereka adalah teman seperjuanganku dalam menuntut ilmu di kota ini. Lebih tepatnya mereka adalah keluarga bahagiaku disini.

Kamar ini selalu ramai ketika kami masih ‘hidup’. Tempat ini lebih terasa seperti arena hiburan yang selalu menghasilkan banyak gelak tawa. Aku rasa poin penting disini bukan terletak pada nilai kamarnya tetapi pada penghuninya. Selain aku, ada Dhillaz, Luti, Ema, Klorofil dan Asri. Mereka yang membuat kamar ini terasa seperti surga kecil di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Bahkan efeh ‘hiburannya’ melebihi kapabilitas Dufan yang selama ini diagung-agungkan banyak orang. Dufan kalah. Tak perlu jauh-jauh kesana untuk mendapat hiburan dan rasa senang. Berkumpul dengan mereka, di tempat ini, selalu membuat penuh riang senyuman dan canda tawa. I love they’re.

Lalu.. malam itu hanya tinggal dua bola mataku yang belum terpejam. Aku belum bisa tidur. Mataku masih tergerak lebar dan berbinar-binar di tengah kesunyian. Seperti biasa, aku memang sering menjadi penghuni terakhir di kamar ini. Tidur terakhir karena jam terbang yang juga terus mencair. Hheee..

Tiba-tiba saja, malam itu ponsel mungilku bergetar. Lama sekali. Ku lihat di layarnya yang menyala, tertulis nama ‘Unyil Risa’ memanggil-manggil. Dengan gesit telepon itu langsung ku angkat.

Risa adalah manusia unyil yang juga sama energiknya. Dia sudah ku anggap seperti adikku sendiri. I really love her. Sosoknya selalu membuat hari-hariku ketika di Jember terus dibanjiri tawa. Dia ibarat manusia yang sengaja dibangun dan hidup atas rasa gembira. Kebanyakan orang menilai bahwa rasa sedih mungkin tak mau singgah ke tubuh imutnya. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang akan tahu dimana Ia bingung, sedih atau galau. Bukan hanya tahu ketika Ia terus tertawa pada dunia.

Telepon malam itu masih sama seperti telepon-telepon sebelumnya. Dia bercerita tentang banyak hal. Risa memang orang yang paling sering menelponku dari radius kejauhan Jakarta-Jember. Sampai detik ini. Dia pun sudah menganggapku seperti kakaknya sendiri. Kami berdua adalah kakak adik yang dibentuk tanpa pertalian darah. Namun, kami sangat kompak.

Panggilan khasnya untukku adalah ‘budhe’ Dalam istilah jawa, budhe adalah sosok yang dituakan. Sebenarnya bukan hanya Risa yang memanggilku dengan sebutan ini tetapi banyak teman-teman Jember yang memanggil dengan cara yang sama. Rasanya ‘budhe’ itu sudah melekat kuat di diriku. Teman-teman Jember lah yang mencetuskan ide brilian mengenai ‘budhe’ ini. Sampai saat ini semuanya masih tetap sama sumringahnya memanggilku ‘budhe’ Oh iyaa, ada satu orang di Jember yang tidak memanggilku dengan ‘budhe’ tetapi ia malah memanggilku ‘bu ani’ dia adalah Rezel.

Setiap kali Risa telepon, mendengar suaranya, gelak tawanya, rasa kangenku terhadap seluruh isi Jember juga kian menggelembung. Kota itu memang penuh chemistry, setidaknya itu bagiku. Orang-orangnya yang ku kenal, yang selalu menyambutku dengan tangan manisnya, selalu membuatku rindu. Rindu jalan bareng, rindu tidur bareng, rindu makan bareng, rindu hahahihihiii bareng mereka. Ah, aku benar-benar merindukan kalian. Ingin bertemu gelak tawa kita bersama, riuh renyah canda tawa kita. Aku juga rindu cara kalian ngebully sekawanannya sendiri. Hancur-hancuran. Selain Risa, ada Roomiie, mbakdee, bunbun, ayiep, edwin, bubuu, nia, sukma, farah, happy, mas rafli, mas zaki, mas dida dan masih banyak yang lain. Tak akan bisa ku sebutkan satu per satu namanya karena banyak orang yang ku kenal dengan hangat. Kalian benar-benar berbeda. Mengenal kalian satu tahun yang lalu membuatku selalu ingin mengunjungi Jember. Bukan karena apa? Yaa karena ada kalian semua disana. Kalian menunjukkan kasih sayang dengan cara kalian masing-masing, yang semua cara itu mengandung tawa.

Hhmm.. menceritakan Jember nggak akan ada habisnya. Merindukan kalian semua, my lovely friends. Kembali ke Risa, panjang lebar dia bercerita. Banyak hal yang ia sampaikan malam itu. Salah satu obrolan kami adalah karena ternyata Risa bingung menentukan arah baik mana yang harus ia pilih. Sejenak aku memberikan saran, dengan tiba-tiba. “Diambil saja, itu kesempatan baik sayang” Namun, aku tahu jawabannya bukanlah kalimat yang penuh semangat. “Aku nggak mau budhe” Hhmm.. aku pun mulai menanggapi serius, “Lalu maumu apa nak? Kamu pengen jadi apa?” Dengan cepat ia menyambar, “Aku mau jadi seperti kamu budhe. Travelling iya, akademik iya, kerja iya, pacaran juga iya” Spontan saja, hening seketika. Aku tak mampu membalas kalimatnya dengan cepat. Mensyukuri nikmat Tuhan yang baru saja turun ke telinga. Rasa nano-nano beradu jadi satu. Kaget, seneng, terharu, bingung dan seakan banyak pertanyaan lanjutan yang ingin segera dilontarkan, “Mengapa harus aku?”

Terlebih lagi, ada hal yang selalu membuatku berseri ketika bercakap dengan Unyil Risa. Di setiap teleponnya, dia selalu bilang dengan gembira. Penuh semangat, “budheeeee.. aku pengen ke Jakarta lagi” Aku tahu, pasti dia bicara dengan gaya manja dan kangen. Aku selalu membalas ceria “Kesini sayang, i’ll always waiting for your coming here. Main-main sini. Kangen jalan-jalan lagi” Senangnyaa.. pasti suatu saat kau akan kembali kesini, menginjakkan kaki di kota ini. Aku sangat percaya karena aku punya satu keyakinan kuat ‘orang yang sudah pernah ke Jakarta, pasti akan kesini lagi. Pasti’ Ntah fakta apa yang mendukungku, aku memang percaya itu. Buktinya aku sendiri. Hheee.. Dulu aku pertama kali kesini ketika aku masih duduk di kelas VIII SMK dan apa hasilnya.. Lulus SMK aku menetap di kota yang sekarang memberikan banyak pelajaran kehidupan untukku.

Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Risa bukanlah orang pertama yang mengatakan hal yang serupa. Sebelumnya, teman-teman sebaya, kakak kelas dan yang paling banyak kuantitasnya adalah dari adik-adik sepupuku sendiri. Maklum saja. Dari keluarga ibu, aku adalah cucu yang paling tua. Bisa dikatakan aku lahir sebagai pionernya. Sudah selayaknya jika aku harus memberikan teladan yang baik untuk adik-adik yang ku sayangi ini. Ada sepuluh pasang mata adikku yang mencoba mencari tempat pijakan. Mereka melihat sosok ada di kakak tertua mereka. Dan itu aku.

Dari serangkaian ini, aku pun bilang bahwa tanggung jawabku itu besar. Tanggung jawab moral agar bisa menjadi teladan yang baik untuk mereka. Untuk keluarga besarku dan masyarakat sekitar. Ketika aku sekarang berkarya di kota ini, hidup di perantauan yang selalu memberikan banyak kejutan dan warna yang berbeda disetiap harinya, aku bukan hanya membawa identitas nama personalku sebagai Ika Fitri Mustikasari. Namun, aku juga membawa identitas keluarga besarku, tempat tinggalku, sekolahku (dari SD hingga SMK). Banyak identitas yang melekat di hidupku. Dan aku harus memberikan yang terbaik untuk semuanya.

Aku tak henti-hentinya selalu mengucapkan kalimat ini ketika bertemu dengan keluarga besarku di Malang, “terima kasih banyak yaa. Contoh dari mbak yang baik-baik saja. Yang buruk jangan ditiru”

Risa memang salah satu orang terdekat. Dia cukup tahu perjalanan panjang hidupku sampai akhirnya menginjak titik yang sekarang. Rasanya telepon malam ini membuatku semakin bersyukur, mawas diri dan selalu introspeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setiap hari. 

19 November 2012

Soundtrack Paling Romantis


Ada satu lagi yang menurutku unik dari Toko Oen. Soundtrack lagu yang mengiringi perjalanan kami. Lagu-lagu zaman dulu, dari penyanyi-penyanyi populer di masanya. Bahkan aku rasa sampai sekarang. Ketika di Toko Oen, aku hanya bisa menebak-nebak “lagu ini judulnya apa yaa? Siapa yang nyanyi?” tapi ternyata pengetahuanku tidak cukup tahu tentang lagu-lagu itu. Aku hanya suka mendengarnya. Rasanya seperti berada di 4-5 dekade yang lalu ketika alunan musik itu menggema ruangan. Sangat merdu. Ramah di telinga. Sangat klasik. Aku juga sangat yakin bahwa musik-musik yang diputar ini dirilis ketika kakek nenekku masih muda. Mungkin waktu beliau berdua juga masih pacaran seperti kami. Hheee..

Setidaknya ada dua lagu yang mengganjal di telinga dan hati. Itu karena aku sudah sering mendengarnya, bahkan dari dulu. Seperti kebiasaan burukku yang sebelumnya, aku pun nggak tahu itu lagu siapa. Akhirnya googling pun dilakukan. Aku menemukan jawabannya.

            Mungkin akan sedikit lebay kedengarannya. Soundtrack paling romantis itu bukan karena penyanyinya yang memang menunjukkan romansanya, tetapi lebih dikarenakan lagu-lagu tersebut yang mengiringi romantisme kami berdua. Right Here Waiting. Dengan melankolisnya dibawakan sang empunya, Richard Marx.


Right Here Waiting
Oceans apart day after day
I slowly go insane
I hear your voice on the line
But it doesn’t stop the pain
If I see you next to never
How can we say forever

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I took for granted, all the times
That I thought would last somehow
I hear the laughter, I taste the tears
But I can’t get near you now

Oh.. can’t you see it baby
You’ve got me going crazy

 Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I wonder how we can survive
This romance
But in the end if I’m with you
I’ll take the chance

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

            Yang kedua adalah lagu yang sebenarnya sudah ku kenal sejak SMK. Dulu lagu ini sering diputar ketika berada di kelas bahasa inggris. Lagu ini selalu dijadikan sebagai bahan tes listening. Aku pun hafal liriknya karena saking seringnya diputar di kelas.  That’s Why – Michael Learn To Rock.


That’s Why
Baby won’t you tell me why
There’s sadness in your eyes
I don’t wanna say goodby to you
Love is one big illusion
I should try to forget
But there’s something left in my head

You’re the one who set it up
Now you’re the one to make it stop
I’m the one who’s feeling lost right now
Now you want me to forget
Every little thing you said
But there’s something left in my head

I won’t forget the way you’re kissing
The feeling so strong were lasting for so long
But I’m not the man your heart is missing
That’s why you go away I know

You were never satisfied no matter how I tried
Now you wanna say goodby to me
Love is one big illusion
I should try to forget
But there’s something left in my head

I won’t forget the way you’re kissing
The feeling so strong were lasting for so long
But I’m not the man your heart is missing
That’s why you go away I know

Sitting here alone in the middle of nowhere
Don’t know which way to go
There ain’t so much to say now between us
There ain’t so much for you
There ain’t so much for me anymore

            Selain sangat ramah di telinga dan juga di hati, lagu ini juga selalu mengingatkanku dengan guru bahasa inggris terbaik di SMKN 4 Malang. Beliau adalah Bu Wiwik. Dengan logat britishnya yang fasih, dulu beliau sering menyanyikannya di depan kelas dengan penuh penjiwaan. Teman-teman sekelas pun akan trenyuh jika sudah mendengarnya melantunkan lagu ibarat penyanyi idola. 

Aku pun tersadar, pasti beliau juga sangat menyukai lagu ini, seperti aku yang juga menyukainya. Rasanya lagu ini begitu memorable. Mengingatkan masa-masa SMK yang penuh warna. Apalagi, lagu ini juga yang pada akhirnya mengiringin romantisme kami berdua di Toko Oen.

Sampai saat ini, semuanya akan tetap sama. Jika mendengar dua alunan musik yang begitu memikat hati, yang teringat hanyalah Toko Oen, ice cream dan romansa kami berdua.

Romantisme Sore di Toko Oen

Malam itu kau mengajakku untuk merasakan kembali hingar bingar kasih senja. Dengan untaian senyum manis, kau menjemputku di rumah. Rasanya sore itu terasa lebih segar dengan harumnya parfum maskulin yang kau pakai. Ntah parfum apa itu, sampai saat ini aku juga belum tahu.

Kau pamitkan aku ke bapak ibu dengan sopan. Lalu kita beranjak keluar, menikmati sejenak udara sore di kota terindah kita. Malang. Aku suka. Bahkan sangat suka. Senja itu memang lebih romantis daripada terik siang.

Melewati alun-alun, kami selalu singgah terlebih dahulu di Masjid Jami’ Malang. Berdoa untuk segala kebaikan di waktu maghrib tiba. Rutinitas itu memang selalu kami lakukan bersama.

Kemudian setelah selesai berdoa, salah satu dari kami, yang selesai duluan sengaja menunggu di luar. Aku suka momen ini. Menurutku, detik-detik itu adalah romantisme yang terjadi dengan caranya sendiri. Cara yang biasa nan berbeda. Cara yang sederhana tetapi menghidupkan banyak makna. Mengingatnya hanya akan membuatku tersenyum lega. Bahagianya.

Lalu, dengan penuh semangat, aku mengajakmu menyusuri kawasan heritage kota Malang. Ada gereja tua di sebelah Masjid Jami’ Malang,  GBIP Immanuel. Bangunan tua itu berdiri kokoh sampai saat ini. Pernah aku menceritakan tentang sedikit yang mengganjal di kepala ketika kita melewati gereja ini. “Aku ingin masuk gereja ini. Dari dulu. Namun, sayangnya belum kesampaian juga” tuturku lembut. 

Di usia yang sudah menginjak 21 tahun ini, aku memang belum pernah melihat bangunan bersejarah ini dibuka. Mungkin aku saja yang belum beruntung. Tak pernah mendapati gereja tua ini dipenuhi orang-orang nasrani yang melakukan ritual religiusitasnya. Bertemunya selalu ketika bangunan ini tertidur pulas dengan kemegahan visualisasi vintage gedungnya. Aku pun sempat berpikir apakah gereja ini hanya untuk pajangan saja tanpa melakukan sisi fungsionalnya dengan baik. Tapi jelas ku tahu, pertanyaan ini tak membutuhkan jawaban. GBIP Immanuel masih berfungsi dengan baik.

Berdua. Jalan kaki dengan suka cita. Aku selalu menyempatkan diri untuk ke Gramedia jika sudah berada di kawasan pusaran Kayu Tangan. Sepanjang jalan ini memang memiliki rasa tersendiri. Dalam bahasa kunonya, Kayu Tangan masih sering disebut dengan ejaan 'Kajoe Tangan'

Aku juga selalu mengajakmu mampir sejenak, untuk sekedar refreshing atau benar-benar membeli beberapa item di Gramedia. Dari dulu Gramedia atau toko buku sejenisnya seperti Togamas dan Gunung Agung adalah tempat yang selalu ada di list tripku untuk dikunjungi. Kalau bicara soal tempat refreshing paling nyaman, aku bisa menyebutkan tempat-tempat inilah juaranya.  Ke tempat-tempat ini selalu membuatku lebih bersemangat. Membuat otak terasa lebih fresh. Aku juga bisa melakukan banyak hal di tempat ini. Selain membaca, memilih, belajar, ada satu lagi kegiatan wajib yang selalu aku lakukan saat kesana. Observasi, mengenai desain dan visualisasinya. Toko buku merupakan tempat yang paling update untuk soal ini.

Bergeser sedikit dari Gramedia, inilah grand design  yang sesungguhnya dari perjalanan sore kami. Toko Oen Malang. Yeaaaayy.. siapa yang tak mengenal tempat legendaris yang dimiliki kota pelajar ini. Aku sangat menyukai tempat ini. Tempat yang memiliki bangunan unik, environment yang khas dan product knowledges yang juga sangat fenomenal. 

Toko Oen Malang selalu identik dengan es krim. Pasalnya es krim legendaris kota Malang hanya ada di tempat indah yang satu ini. Bangunannya lebih banyak didominasi warna putih dan hijau tua selain warna-warna vintage yang khas seperti tone kecoklatan. Tempat yang menjadi landmark kota Malang ini sudah menyedot perhatianku semenjak  masih duduk di bangku SMK. Suasananya full romansa Belanda dan sangat vintage.

Toko Oen Malang merupakan tempat yang sangat romantis. Bersejarah bagi kota Malang, juga bagi kami berdua. Selain menyajikan environment yang memang berbeda dari toko-toko konvensional yang ada, produk-produk yang dijual disana juga sangat ‘tua’ Banyak jajanan yang ternyata sudah ada dari zaman nenekku masih kecil. Jajanan itu berbentuk kue kering dengan ciri khas toples kaca jadul sebagai wadahnya. Namun, sekarang aku tidak akan menceritakan dengan detail produk apa saja yang ada di Toko Oen. Tunggu artikelku yang selanjutnya saja yaa..

Tulisan kali ini lebih banyak menceritakan kisah romantisme. Romantisme manusia, ice cream dan kasih senja. Kami menikmati dua ice cream yang berbeda. Salah satu alasannya adalah agar kami bisa saling mencicipi rasa yang berbeda.   

Banyak cerita yang mengalir dari kami berdua. Tentang flashback hidup, tentang komitmen yang dibangun bersama, tentang masa depan yang lebih cerah. Ditambah canda tawa, rasanya ice cream itu melebihi manisnya sendiri. Aku sangat suka dengan ice cream. It’s more than taste, but its about soul and happiness. Itu juga salah satu alasan terbesarku, mengapa tempat ini begitu spesial di ruang hati. Karena ice creamnya.

Menikmati ice cream, denganmu, di tempat yang sangat aku sukai. Hhmm.. ini perpaduan yang magic. Toko Oen Malang menjadi surga kecil sore itu. Bahagia rasanya.

Ice cream itu semakin mencair. Membuat cerita kami juga semakin mengalir ke hulunya. Rasanya tak ingin beranjak dari tempat indah yang dimiliki kota apel itu. 

Ice creamnya, environmentnya, orang-orangnya dan tentu saja kita berdua. Semua begitu mempesona.

18 November 2012

Cerita Pagi


 Good morning sayang.. Pagi ini terasa, rindu yang kian berwarna. Menggunung dan ingin jumpa. Rindu dan sayang yang beraduk jadi satu, membuatku ingin bicara pada tetes hujan di pagi ini. Aku merindukannya. Merindukannya yang jauh, terpisah jarak dan waktu. Namun, ada yang tetap. Hati kami bersimpul jadi satu.

Pagi-pagi membayangkan, membangunkannya, menunggunya mandi. Lalu dengan harus segarnya, kami sarapa berdua di satu meja. Setelah itu kami keluar rumah, jalan kaki menikmati udara pagi. Sengaja kami lakukan agar otak lebih fresh dari seluruh aktivitas di hari sebelumnya.

Kami punya rumah di desa yang rimbun bunga. Tanpa menggunakan alas kaki, kami berjalan menuju hamparan vitamin hijau di sekeliling rumah. Bergandengan tangan. Hhmm.. hangatnya pagi ini.

Kami saling sapa dengan warga disana. Kami ucapkan salam ramah kepada mereka, ibu-ibu yang sedang menggendong putrinya di pelataran rumah. “Selamat pagi bu” sapa kami berdua. Salah satu Ibu tersebut menjawab dengan raut sumringah, “Selamat pagi juga Mbak, Mas. Gimana kabar kalian berdua? Aku doakan langgeng dan terus menjadi keluarga yang harmonis yaa” Kami pun menjawab balik dengan ramah. Berbincang-bincang sebentar dengan ibu-ibu ini.

Kami terus berjalan. Terdengar lentingan suara canda tawa anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengisi hari minggu paginya dengan suka cita, bersama teman sebayanya. Gundu, petak umpet dan dakon adalah permainan tradisional yang selalu mereka mainkan bersama. Mereka sangat terlihat ceria meski rupanya belum ada yang sarapan pagi. Terlihat juga para bapak yang membawa peralatan kuncinya. Mereka menuju ke sawah masing-masing dengan semangat yang menyala.

Tiba-tiba saja perjalanan kami dihentikan oleh sapaan Ibu yang satu lagi. “Hhmm.. pasti anaknya nanti mirip ayahnya yaa” Lalu dengan senyum lebar aku pun segera menjawab, “mirip kami berdua bu”

Kami melanjutkan kembali, menuju taman kecil yang dimiliki oleh desa yang indah ini. Taman mungil nan hijau berseri. Udara sangat sejuk. Rona hangatnya pagi karena sinarnya mentari membuat kami hangat. Disitulah, dia membisikkan sesuatu ditelingaku. “Sayang, aku sangat menyayangimu. Semoga kita bisa menjaga semuanya dengan baik” Dia langsung memelukku dengan erat. Seolah tak mau kehilangan seorang wanita yang telah dititipkan olehNya untuknya. Dia sangat mensyukuri hadirnya, yang selalu ada disampingnya.

Rasanya pagi ini terasa lebih dekat dengannya. Dengan dia yang ku cinta. Seolah tak ingin melepas dekapan hangatnya, aku pun menikmati setiap detik pelukannya. Sangat hangat. Damai dirasa hati. Aku pun membalas dengan senyum bahagia. “Aku pun tak ingin rasa ini berkesudahan. Aku tak bisa mencintaimu dengan cara lain. Aku percaya, kau memang yang terbaik. Yang sengaja dikirimNya untuk menjagaku, menjaga keluargaku kelak. Dan aku pun percaya, semua akan baik-baik saja di tangan kita. Tetap melakukan yang terbaik sembari berdoa untukNya”

Ku rasakan setiap partikel nikmatMu. Dengan penuh syukur dan suka cita. Berharap Kau akan terus memberkahi kami dan rasa cinta kami. Melipatgandakan kenikmatan yang terus kau beri. Terima kasih Tuhan atas rasa indah yang masih kau peruntuukan untuk kami.

17 November 2012

Pagi di Kutoarjo


Lokomotif keretaku masih menderu
Berjalan mengikuti alur rel yang kaku
Sesekali ku lihat
Ada asap yang mengepul disana
Keretaku setia menemaniku
Menemani manusia lain yang juga satu visi denganku

Dingin yang dirasa menukik kulit
Lalu aroma harus segarnya embun pagi
Ku rasa pagi ini sangat segar
Tetes embun pagi menghiasi
Membuat pagi semakin berseri
Aku pun terbangun dari lamunan pagi

Ku lihat Kutoarjo yang ramah
Sepanjang mata memandang hanya ada vitamin hijau
Sangat luas dan tak terbatas mata
Inilah nikmat Tuhan yang tak terkira harganya

Aku ingin menghambur keluar
Berlarian di pematang sawah, main air sampai puas
Meninggalkan sejenak keramaian kota
Membayangkan saja membuatku bahagia
Sama damainya ketika menyambut Jogjakarta

Pagi ini lebih berseri
Ku dapati dua pengamen yang sedang menyambung hidup
Melaju dari lokomotif ke lokomotif selanjutnya
Banyak manusia yang penuh semangat menyambut kami
Mengharapkan kami membeli
Tak terkecuali si pengamen ini
Kali pertama menatap mereka
Mengatakan ‘tetap semangat’ untuk kami semua
Tak seperti cara yang lainnya
Mereka semangat menyambut pagi cerah

Tinggal dua titik lagi
Lempuyangan sebentar lagi akan ku raih
Jogjakarta lagi
Menuju kota yang tak akan terganti
Meski sudah berkali-kali

15 November 2012

Seperti Kami

"Jodoh, barangkali semacam percakapan yang terhubung di telepon genggam" - Fahd Djibran

12 November 2012

Kembali Ke Daerah

Siang ini terasa seperti pagi yang segar. Meski Jakarta diliputi mendung tebal yang berhawa panas. Saya sengaja datang ke kampus siang ini untuk bertemu Mbak Hene, pembimbing akademik saya di Paramadina. Mbak Hene adalah wanita yang sangat energik. Mungkin saya meniru beliau yaa kalau soal ini. Hheee.. Beliau juga yang tahu saya mulai pertama kali, bahkan sebelum saya masuk kuliah di Paramadina.

Dulu, beliau adalah salah satu tim panel yang menjadi juri Paramadina Fellowship saya di Surabaya. Mbak Hene yang menarik saya untuk keluar dari batas ‘canggung dan malu’ sehingga saya bisa total saat penilaian waktu itu. Beliau juga yang berhasil membuat saya menangis tersedu-sedu saat proses wawancara fellowship. Saya juga masih ingat, dulu beliau meminta saya untuk menarikan satu tarian jawa yang saya bisa. Dengan spontan saja saya mengiyakan dan langsung menuju panggung, disaksikan banyak pasang mata anak muda yang mempunyai visi sama. Kuliah di Paramadina. Saat itu yang ada di otak saya hanya, “Mbak Hene itu juri fellowship ini jadi saya harus menuruti semua permintaannya agar saya bisa mendapatkan poin plus” meski terlihat agak klasik tapi itu saya lakukan dengan jujur. Padahal waktu itu saya tidak ingat betul gerakan tariannya, apalagi musiknya karena saat ke Surabaya saya tidak prepare sejauh itu. Saya tetap menari dengan percaya diri, tanpa musik dan alat yang lain. Tentu saja.

Terima kasih banyak Mbak, kalau diingat dan dikenang-kenang, rasanya semua itu membuat hati tersenyum lega. Rasanya tagline yang selalu saya jadikan pegangan hidup itu benar-benar berjalan dengan baik, melihat kondisi saat ini. Love the proses and respect the result of it. Tiga tahun silam, 9 Juni 2009 saya dipandu oleh Mbak Hene untuk bisa bercerita. Tentang proses, desain dan tujuan hidup di masa mendatang setelah saya lulus SMK.

Tujuan primer saya bertemu beliau siang ini adalah minta tanda tangan. Ada satu berkas penting yang memang harus mendapatkan persetujuan darinya. Nah, masuk ke ruangan beliau rasanya seperti flashback beberapa tahun silam. Mbak Hene, sampai sekarang, tetap dengan personality brandnya seperti waktu pertama kali saya bertemu. Tepatnya momen paling mendebarkan yang terjadi di Hotel Surabaya. Saya suka itu. Beliau mengenakan celana jins casual.  Sepatu yang  saya tidak tahu merknya apa tapi saya sangat suka jika Mbak Hene yang memakainya. Di pikiran saya, sepertinya yang cocok dengan sepatu model tersebut cuma Mbak Hene. Ditambah lagi kemeja cantik motif bunga-bunga. Mbak Hene sempurna dengan dandanan semacam ini.

Saya kira saya hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15’ di ruangan beliau. Ternyata salah besar. Template ‘kangen’ sepertinya memenuhi ruangan mungilnya. Saling menanyakan kabar masing-masing menjadi pengantar menuju topik selanjutnya. Kami berdua bercengkrama mengingat momen-momen 2009 itu dulu. Sambil tertawa renyah, muncullah statement dari wanita cantik berparas dewasa sempurna ini “nggak nyangka yaa.. cepet amat lulus. Perasaan baru kemarin masuk kuliah” Saya pun menjawab dengan nada sumringah “iyaa ya mbak, perasaan baru kemarin Mbak Hene ngetes saya di Surabaya sampe saya nangis, bicara jujur soal cita-cita dan keluarga” Tapi ada satu hal yang berubah dari saya kalau kata Mbak Hene. Katanya saya tambah gemukan, beda waktu awal masuk kuliah dulu. Yeaay, itu artinya saya menjalani hidup dengan senang. Korelasinya, berat badan saya naik. Meski jika dilihat detailnya, sebenarnya badan saya tetap kecil.

Siang itu saya merasa menemukan oase. Oase yang menjadi tempat sharing soal akademik. Tentunya selain orang tua saya pribadi dan (alm) pakde saya. Tidak lain dan tidak bukan, sosok itu adalah Mbak Hene. Saya mencoba share tentang kesibukan saya belakangan ini. Tentang kantor, tentang riset dan yang beberapa hal lain. Sampai pada akhirnya, saya merasa harus cerita tentang apa yang lama terpendam dan terasa belum menemukan jawaban yang tepat karena saya dilanda bimbang. Itu tentang ‘pinangan’ dari seorang guru terkasih di bulan april lalu. Ini merupakan kabar bahagia sekaligus kabar yang menjadikan saya harus berpikir matang-matang, tidak asal bilang tidak atau iya. Tetapi bagaimana efek selanjutnya dengan keputusan yang saya ambil. Tentang selanjutnya, apa yang harus saya lakukan dengan datangnya kabar ini.

Topik siang itu langsung berganti. Kami membahas masalah yang saya rasa cukup kompleks. Pasca lulus dari Paramadina, saya dipinang untuk mendidik murid-murid di Malang. Guru, itu sebutan yang paling saklek untuk soal kali ini. Awalnya guru saya meminta bulan oktober ini agar saya sudah mulai mengajar di Malang, tetapi dulu saya belum bisa menjawab apa-apa karena saya masih semester 6. Belum skripsi.

Saya bercerita tentang bimbangnya hati untuk memilih atau menutup telak ajakan mulia ini. Mbak Hene, dengan gaya yang saya suka menjabarkan banyak hal. thesisnya adalah jelas disitu bahwa beliau mendukung total agar saya menerima pinangan tersebut. “Menjadi akademisi itu panggilan hati. Kalau jadi desainer, itu sebenarnya bisa kamu lakukan kapan saja, malam hari atau pun hanya di waktu weekend. Kerjaan di dunia desain itu lebih tidak mengikat waktu kita secara formal. Dan menjadi guru itu akan lebih menyenangkan. Banyak hal yang akan kamu temukan disana”

Lalu saya membalas “Iya mbak, saya sangat paham kalau soal ini. Tapi saya sepertinya masih belum pantas jadi guru. Ilmu saya sangat minim, saya mengakui itu” Hhmm, sejenak kami mengambil nafas secara bersamaan. Kemudian beliau menjawab dengan sangat bijak, ditambah dengan gayanya yang khas, “Namanya manusia, dia memang nggak akan pernah puas. Percayalah sama saya, bahwa pasti ada sesuatu yang kamu dapatkan selama kamu kuliah. Nggak seminim yang kamu kira begitu. Setidaknya jika kamu bilang ilmu masih kurang, justru dengan menjadi guru kamu pasti akan banyak belajar. Dan kamu harus paham bahwa pasti banyak hal yang bisa kamu share ke anak didikmu nanti soal pengalaman kamu yang luar biasa di Paramadina ini. Saya sangat percaya, Ika pasti bisa!” dengan muka paling sumringah dan bersemangat yang saya tahu, beliau menuturkan semuanya panjang lebar, seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.

Saya hanya mendengarnya setiap detail kalimatnya yang membuat merinding sambil terus mencerna. Apa yang harus saya lakukan. Saya juga menambahkan bahwa saya memang memiliki cita-cita itu. One day, saya pasti akan kembali ke kota saya. Membesarkan kota saya sendiri yang selama ini menjadi pijakan saya berdiri. Yaa, mungkin jalannya adalah dengan memilih untuk menjadi akademisi ini.

Obrolan kami terus berlanjut. Semakin dalam dan terus mengakar “dari semua yang saya sampaikan ke kamu, itu sedikit menjadi alasan mengapa saya ada disini sekarang. Menjadi dosen di universitas” saya merasa diberi amunisi ampuh untuk meledakkan segala bom yang ada di dalam diri saya selama ini. Tentang semua ini. Saya cukup kaget dengan respon mbak Hene karena saya kira mungkin beliau akan mendukung saya bekerja di industri kreatif. Menetap di Jakarta. Tapi ternyata saya kalah telak dalam permainan tebakan kali ini. Beliau justru kontras dengan pemikiran yang selama ini saya kubur dalam. Beliau mendukung saya secara total untuk kembali ke daerah, untuk berkarya disana. ”Banyak hal yang bisa kamu lakukan disana, daripada hanya menjadi desainer yang dimonopoli oleh keuntungan satu instansi saja” kata mbak Hene lagi. Saya sendiri sangat mengakui itu.

Saya berpikir bahwa saya akan jauh lebih bermanfaat untuk banyak orang dan banyak lingkungan dengan jalan ini daripada hanya berdiri di titik desain. Setidaknya itu pemikiran yang memang masih duduk rapat di otak saya sampai detik ini. “Dengan boomingnya Indonesia Mengajar yang ada di media belakangan ini, banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk lolos menjadi pengajar mudanya. Namun, kamu harus tahu Ika, bahkan ketika kamu menerima pinangan dari sekolah itu, kamu sudah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Indonesia Mengajar. Kamu tak perlu jauh-jauh ingin menjadi bagian dari Indonesia Mengajar tersebut karena apa yang kamu lakukan nantinya similiar dengan jalan Indonesia Mengajar. Bedanya kamu justru mendapat yang lebih enak, di kotamu sendiri, dengan fasilitas yang tentunya lebih banyak mengalir karena daerahmu juga termasuk daerah yang sangat berkembang. Apalagi kamu sangat mengetahui medan yang akan kamu hidupi. Siapa yang tidak mengenal Malang” Rasanya denyut nadi ini hampir terputus, tapi nggak jadi. Rasanya campur aduk. Hari ini mbak Hene benar-benar menjawab apa yang sebenarnya saya tanyakan pada alam dan hati. Dan seketika saya menyimpulkan obrolan panjang kami. Saya akan kembali dalam waktu dekat. Tidak perlu menunggu lama.

Awalnya memang terlihat lebih tertata dan sistematis. Saya memang ingin bekerja di industri kreatif dulu di Jakarta untuk beberapa tahun sembari menyiapkan amunisi terbaik untuk beasiswa S2. Lalu setelah itu saya berkarya di Malang, membesarkan kota saya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang saya tulis dalam janji “Cita-cita saya di masa mendatang” di berkas fellowship. Berkas yang cukup menentukan jalan saya sampai saya menjadi manusia yang sekarang ini. Janji itu bukan hanya diucap, tetapi juga direalisasikan. Harus! 

Saya masih ingat bahwa saya dulu menuliskan kalimat ini di salah satu form berkas fellowship tersebut “Nantinya, ketika saya sudah sukses, saya akan membangun foundation untuk anak-anak yang bernasib yang sama dengan saya, yang memiliki mimpi serta semangat yang tinggi untuk apa yang diyakini. Karena saya disekolahkan ‘orang’ (re: dari beasiswa” nantinya saya juga akan melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah memberikan jalan untuk saya menuntut ilmu di Paramadina. Saya akan balik menyebar kebaikan yang harusnya lebih banyak dari apa yang dilakukan oleh donor beasiswa saya sekarang” Dan sekarang saya menambah kalimat itu dengan, Saya tisak sukses secara instan tapi ada proses yang mengikuti dan menjadi saksi.

Sejenak saya terdiam hanya untuk flashback dan terus mensyukuri nikmatNya. Hening dan tersenyum simpul. Support dari mbak Hene membuat saya merubah jalur planning yang sudah dibuat matang. Mana yang lebih baik, antara bekerja di industri kreatif lalu tetap tinggal di kota ini atau kembali ke daerah untuk menyebarkan apa yang selama ini saya dapat di Jakarta. Sekali lagi, mana yang lebih baik? Who know’s? Itu jawaban penutup yang selalu Ajahn Brahm ajarkan kepada para pembaca setia bukunya. Keputusan 80% sudah bulat.