25 November 2012

Rintik Senja

Rintik hujan kali ini mengingatkanku pada senja
Senja yang memerah dari kejauhan mata
Terlihat jingga yang sangat mempesona
Ia seakan-akan bermanja-manja ingin selalu dipuja

Sedari dulu..
Aku suka senja
Aku suka sore
Lirih Senja di Kereta Progo
Memandang senja berlama-lama
Itu hanya membuatmu semakin menawan
Sangat menawan

Senja.. Semburan warnamu
 membuat mataku tak ingin tergerak ke sudut manapun

Lembayung senja..
Ntah sampai kapan kau akan tetap berseri
Indahmu sebanding dengan sunrise di pagi hari
Langit biru pun luruh karenamu
Senja di ujung Jogjakarta
Senja..
Kau selalu mengajakku terbenam
Menyambut malam dengan asmara yang tak kelam
Ku sebut kau asmara senja

Malam tak lagi datang mencekam
Karena kau selalu mengantarnya dengan matahari terbenam
Berharap aku selalu bisa menyambutmu
Menutup sore dengan keindahan magicmu

22 November 2012

Telepon Semalam

Kamarku sudah terlampau sepi. Rupanya penghuninya sudah tertidur pulas dibalut dinginnya malam. Ada limat wanita disana. Mereka adalah teman seperjuanganku dalam menuntut ilmu di kota ini. Lebih tepatnya mereka adalah keluarga bahagiaku disini.

Kamar ini selalu ramai ketika kami masih ‘hidup’. Tempat ini lebih terasa seperti arena hiburan yang selalu menghasilkan banyak gelak tawa. Aku rasa poin penting disini bukan terletak pada nilai kamarnya tetapi pada penghuninya. Selain aku, ada Dhillaz, Luti, Ema, Klorofil dan Asri. Mereka yang membuat kamar ini terasa seperti surga kecil di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Bahkan efeh ‘hiburannya’ melebihi kapabilitas Dufan yang selama ini diagung-agungkan banyak orang. Dufan kalah. Tak perlu jauh-jauh kesana untuk mendapat hiburan dan rasa senang. Berkumpul dengan mereka, di tempat ini, selalu membuat penuh riang senyuman dan canda tawa. I love they’re.

Lalu.. malam itu hanya tinggal dua bola mataku yang belum terpejam. Aku belum bisa tidur. Mataku masih tergerak lebar dan berbinar-binar di tengah kesunyian. Seperti biasa, aku memang sering menjadi penghuni terakhir di kamar ini. Tidur terakhir karena jam terbang yang juga terus mencair. Hheee..

Tiba-tiba saja, malam itu ponsel mungilku bergetar. Lama sekali. Ku lihat di layarnya yang menyala, tertulis nama ‘Unyil Risa’ memanggil-manggil. Dengan gesit telepon itu langsung ku angkat.

Risa adalah manusia unyil yang juga sama energiknya. Dia sudah ku anggap seperti adikku sendiri. I really love her. Sosoknya selalu membuat hari-hariku ketika di Jember terus dibanjiri tawa. Dia ibarat manusia yang sengaja dibangun dan hidup atas rasa gembira. Kebanyakan orang menilai bahwa rasa sedih mungkin tak mau singgah ke tubuh imutnya. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang akan tahu dimana Ia bingung, sedih atau galau. Bukan hanya tahu ketika Ia terus tertawa pada dunia.

Telepon malam itu masih sama seperti telepon-telepon sebelumnya. Dia bercerita tentang banyak hal. Risa memang orang yang paling sering menelponku dari radius kejauhan Jakarta-Jember. Sampai detik ini. Dia pun sudah menganggapku seperti kakaknya sendiri. Kami berdua adalah kakak adik yang dibentuk tanpa pertalian darah. Namun, kami sangat kompak.

Panggilan khasnya untukku adalah ‘budhe’ Dalam istilah jawa, budhe adalah sosok yang dituakan. Sebenarnya bukan hanya Risa yang memanggilku dengan sebutan ini tetapi banyak teman-teman Jember yang memanggil dengan cara yang sama. Rasanya ‘budhe’ itu sudah melekat kuat di diriku. Teman-teman Jember lah yang mencetuskan ide brilian mengenai ‘budhe’ ini. Sampai saat ini semuanya masih tetap sama sumringahnya memanggilku ‘budhe’ Oh iyaa, ada satu orang di Jember yang tidak memanggilku dengan ‘budhe’ tetapi ia malah memanggilku ‘bu ani’ dia adalah Rezel.

Setiap kali Risa telepon, mendengar suaranya, gelak tawanya, rasa kangenku terhadap seluruh isi Jember juga kian menggelembung. Kota itu memang penuh chemistry, setidaknya itu bagiku. Orang-orangnya yang ku kenal, yang selalu menyambutku dengan tangan manisnya, selalu membuatku rindu. Rindu jalan bareng, rindu tidur bareng, rindu makan bareng, rindu hahahihihiii bareng mereka. Ah, aku benar-benar merindukan kalian. Ingin bertemu gelak tawa kita bersama, riuh renyah canda tawa kita. Aku juga rindu cara kalian ngebully sekawanannya sendiri. Hancur-hancuran. Selain Risa, ada Roomiie, mbakdee, bunbun, ayiep, edwin, bubuu, nia, sukma, farah, happy, mas rafli, mas zaki, mas dida dan masih banyak yang lain. Tak akan bisa ku sebutkan satu per satu namanya karena banyak orang yang ku kenal dengan hangat. Kalian benar-benar berbeda. Mengenal kalian satu tahun yang lalu membuatku selalu ingin mengunjungi Jember. Bukan karena apa? Yaa karena ada kalian semua disana. Kalian menunjukkan kasih sayang dengan cara kalian masing-masing, yang semua cara itu mengandung tawa.

Hhmm.. menceritakan Jember nggak akan ada habisnya. Merindukan kalian semua, my lovely friends. Kembali ke Risa, panjang lebar dia bercerita. Banyak hal yang ia sampaikan malam itu. Salah satu obrolan kami adalah karena ternyata Risa bingung menentukan arah baik mana yang harus ia pilih. Sejenak aku memberikan saran, dengan tiba-tiba. “Diambil saja, itu kesempatan baik sayang” Namun, aku tahu jawabannya bukanlah kalimat yang penuh semangat. “Aku nggak mau budhe” Hhmm.. aku pun mulai menanggapi serius, “Lalu maumu apa nak? Kamu pengen jadi apa?” Dengan cepat ia menyambar, “Aku mau jadi seperti kamu budhe. Travelling iya, akademik iya, kerja iya, pacaran juga iya” Spontan saja, hening seketika. Aku tak mampu membalas kalimatnya dengan cepat. Mensyukuri nikmat Tuhan yang baru saja turun ke telinga. Rasa nano-nano beradu jadi satu. Kaget, seneng, terharu, bingung dan seakan banyak pertanyaan lanjutan yang ingin segera dilontarkan, “Mengapa harus aku?”

Terlebih lagi, ada hal yang selalu membuatku berseri ketika bercakap dengan Unyil Risa. Di setiap teleponnya, dia selalu bilang dengan gembira. Penuh semangat, “budheeeee.. aku pengen ke Jakarta lagi” Aku tahu, pasti dia bicara dengan gaya manja dan kangen. Aku selalu membalas ceria “Kesini sayang, i’ll always waiting for your coming here. Main-main sini. Kangen jalan-jalan lagi” Senangnyaa.. pasti suatu saat kau akan kembali kesini, menginjakkan kaki di kota ini. Aku sangat percaya karena aku punya satu keyakinan kuat ‘orang yang sudah pernah ke Jakarta, pasti akan kesini lagi. Pasti’ Ntah fakta apa yang mendukungku, aku memang percaya itu. Buktinya aku sendiri. Hheee.. Dulu aku pertama kali kesini ketika aku masih duduk di kelas VIII SMK dan apa hasilnya.. Lulus SMK aku menetap di kota yang sekarang memberikan banyak pelajaran kehidupan untukku.

Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Risa bukanlah orang pertama yang mengatakan hal yang serupa. Sebelumnya, teman-teman sebaya, kakak kelas dan yang paling banyak kuantitasnya adalah dari adik-adik sepupuku sendiri. Maklum saja. Dari keluarga ibu, aku adalah cucu yang paling tua. Bisa dikatakan aku lahir sebagai pionernya. Sudah selayaknya jika aku harus memberikan teladan yang baik untuk adik-adik yang ku sayangi ini. Ada sepuluh pasang mata adikku yang mencoba mencari tempat pijakan. Mereka melihat sosok ada di kakak tertua mereka. Dan itu aku.

Dari serangkaian ini, aku pun bilang bahwa tanggung jawabku itu besar. Tanggung jawab moral agar bisa menjadi teladan yang baik untuk mereka. Untuk keluarga besarku dan masyarakat sekitar. Ketika aku sekarang berkarya di kota ini, hidup di perantauan yang selalu memberikan banyak kejutan dan warna yang berbeda disetiap harinya, aku bukan hanya membawa identitas nama personalku sebagai Ika Fitri Mustikasari. Namun, aku juga membawa identitas keluarga besarku, tempat tinggalku, sekolahku (dari SD hingga SMK). Banyak identitas yang melekat di hidupku. Dan aku harus memberikan yang terbaik untuk semuanya.

Aku tak henti-hentinya selalu mengucapkan kalimat ini ketika bertemu dengan keluarga besarku di Malang, “terima kasih banyak yaa. Contoh dari mbak yang baik-baik saja. Yang buruk jangan ditiru”

Risa memang salah satu orang terdekat. Dia cukup tahu perjalanan panjang hidupku sampai akhirnya menginjak titik yang sekarang. Rasanya telepon malam ini membuatku semakin bersyukur, mawas diri dan selalu introspeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setiap hari. 

19 November 2012

Soundtrack Paling Romantis


Ada satu lagi yang menurutku unik dari Toko Oen. Soundtrack lagu yang mengiringi perjalanan kami. Lagu-lagu zaman dulu, dari penyanyi-penyanyi populer di masanya. Bahkan aku rasa sampai sekarang. Ketika di Toko Oen, aku hanya bisa menebak-nebak “lagu ini judulnya apa yaa? Siapa yang nyanyi?” tapi ternyata pengetahuanku tidak cukup tahu tentang lagu-lagu itu. Aku hanya suka mendengarnya. Rasanya seperti berada di 4-5 dekade yang lalu ketika alunan musik itu menggema ruangan. Sangat merdu. Ramah di telinga. Sangat klasik. Aku juga sangat yakin bahwa musik-musik yang diputar ini dirilis ketika kakek nenekku masih muda. Mungkin waktu beliau berdua juga masih pacaran seperti kami. Hheee..

Setidaknya ada dua lagu yang mengganjal di telinga dan hati. Itu karena aku sudah sering mendengarnya, bahkan dari dulu. Seperti kebiasaan burukku yang sebelumnya, aku pun nggak tahu itu lagu siapa. Akhirnya googling pun dilakukan. Aku menemukan jawabannya.

            Mungkin akan sedikit lebay kedengarannya. Soundtrack paling romantis itu bukan karena penyanyinya yang memang menunjukkan romansanya, tetapi lebih dikarenakan lagu-lagu tersebut yang mengiringi romantisme kami berdua. Right Here Waiting. Dengan melankolisnya dibawakan sang empunya, Richard Marx.


Right Here Waiting
Oceans apart day after day
I slowly go insane
I hear your voice on the line
But it doesn’t stop the pain
If I see you next to never
How can we say forever

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I took for granted, all the times
That I thought would last somehow
I hear the laughter, I taste the tears
But I can’t get near you now

Oh.. can’t you see it baby
You’ve got me going crazy

 Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

I wonder how we can survive
This romance
But in the end if I’m with you
I’ll take the chance

Wherever you go
Whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes
Or how my heart breaks
I will be right here waiting for you

            Yang kedua adalah lagu yang sebenarnya sudah ku kenal sejak SMK. Dulu lagu ini sering diputar ketika berada di kelas bahasa inggris. Lagu ini selalu dijadikan sebagai bahan tes listening. Aku pun hafal liriknya karena saking seringnya diputar di kelas.  That’s Why – Michael Learn To Rock.


That’s Why
Baby won’t you tell me why
There’s sadness in your eyes
I don’t wanna say goodby to you
Love is one big illusion
I should try to forget
But there’s something left in my head

You’re the one who set it up
Now you’re the one to make it stop
I’m the one who’s feeling lost right now
Now you want me to forget
Every little thing you said
But there’s something left in my head

I won’t forget the way you’re kissing
The feeling so strong were lasting for so long
But I’m not the man your heart is missing
That’s why you go away I know

You were never satisfied no matter how I tried
Now you wanna say goodby to me
Love is one big illusion
I should try to forget
But there’s something left in my head

I won’t forget the way you’re kissing
The feeling so strong were lasting for so long
But I’m not the man your heart is missing
That’s why you go away I know

Sitting here alone in the middle of nowhere
Don’t know which way to go
There ain’t so much to say now between us
There ain’t so much for you
There ain’t so much for me anymore

            Selain sangat ramah di telinga dan juga di hati, lagu ini juga selalu mengingatkanku dengan guru bahasa inggris terbaik di SMKN 4 Malang. Beliau adalah Bu Wiwik. Dengan logat britishnya yang fasih, dulu beliau sering menyanyikannya di depan kelas dengan penuh penjiwaan. Teman-teman sekelas pun akan trenyuh jika sudah mendengarnya melantunkan lagu ibarat penyanyi idola. 

Aku pun tersadar, pasti beliau juga sangat menyukai lagu ini, seperti aku yang juga menyukainya. Rasanya lagu ini begitu memorable. Mengingatkan masa-masa SMK yang penuh warna. Apalagi, lagu ini juga yang pada akhirnya mengiringin romantisme kami berdua di Toko Oen.

Sampai saat ini, semuanya akan tetap sama. Jika mendengar dua alunan musik yang begitu memikat hati, yang teringat hanyalah Toko Oen, ice cream dan romansa kami berdua.

Romantisme Sore di Toko Oen

Malam itu kau mengajakku untuk merasakan kembali hingar bingar kasih senja. Dengan untaian senyum manis, kau menjemputku di rumah. Rasanya sore itu terasa lebih segar dengan harumnya parfum maskulin yang kau pakai. Ntah parfum apa itu, sampai saat ini aku juga belum tahu.

Kau pamitkan aku ke bapak ibu dengan sopan. Lalu kita beranjak keluar, menikmati sejenak udara sore di kota terindah kita. Malang. Aku suka. Bahkan sangat suka. Senja itu memang lebih romantis daripada terik siang.

Melewati alun-alun, kami selalu singgah terlebih dahulu di Masjid Jami’ Malang. Berdoa untuk segala kebaikan di waktu maghrib tiba. Rutinitas itu memang selalu kami lakukan bersama.

Kemudian setelah selesai berdoa, salah satu dari kami, yang selesai duluan sengaja menunggu di luar. Aku suka momen ini. Menurutku, detik-detik itu adalah romantisme yang terjadi dengan caranya sendiri. Cara yang biasa nan berbeda. Cara yang sederhana tetapi menghidupkan banyak makna. Mengingatnya hanya akan membuatku tersenyum lega. Bahagianya.

Lalu, dengan penuh semangat, aku mengajakmu menyusuri kawasan heritage kota Malang. Ada gereja tua di sebelah Masjid Jami’ Malang,  GBIP Immanuel. Bangunan tua itu berdiri kokoh sampai saat ini. Pernah aku menceritakan tentang sedikit yang mengganjal di kepala ketika kita melewati gereja ini. “Aku ingin masuk gereja ini. Dari dulu. Namun, sayangnya belum kesampaian juga” tuturku lembut. 

Di usia yang sudah menginjak 21 tahun ini, aku memang belum pernah melihat bangunan bersejarah ini dibuka. Mungkin aku saja yang belum beruntung. Tak pernah mendapati gereja tua ini dipenuhi orang-orang nasrani yang melakukan ritual religiusitasnya. Bertemunya selalu ketika bangunan ini tertidur pulas dengan kemegahan visualisasi vintage gedungnya. Aku pun sempat berpikir apakah gereja ini hanya untuk pajangan saja tanpa melakukan sisi fungsionalnya dengan baik. Tapi jelas ku tahu, pertanyaan ini tak membutuhkan jawaban. GBIP Immanuel masih berfungsi dengan baik.

Berdua. Jalan kaki dengan suka cita. Aku selalu menyempatkan diri untuk ke Gramedia jika sudah berada di kawasan pusaran Kayu Tangan. Sepanjang jalan ini memang memiliki rasa tersendiri. Dalam bahasa kunonya, Kayu Tangan masih sering disebut dengan ejaan 'Kajoe Tangan'

Aku juga selalu mengajakmu mampir sejenak, untuk sekedar refreshing atau benar-benar membeli beberapa item di Gramedia. Dari dulu Gramedia atau toko buku sejenisnya seperti Togamas dan Gunung Agung adalah tempat yang selalu ada di list tripku untuk dikunjungi. Kalau bicara soal tempat refreshing paling nyaman, aku bisa menyebutkan tempat-tempat inilah juaranya.  Ke tempat-tempat ini selalu membuatku lebih bersemangat. Membuat otak terasa lebih fresh. Aku juga bisa melakukan banyak hal di tempat ini. Selain membaca, memilih, belajar, ada satu lagi kegiatan wajib yang selalu aku lakukan saat kesana. Observasi, mengenai desain dan visualisasinya. Toko buku merupakan tempat yang paling update untuk soal ini.

Bergeser sedikit dari Gramedia, inilah grand design  yang sesungguhnya dari perjalanan sore kami. Toko Oen Malang. Yeaaaayy.. siapa yang tak mengenal tempat legendaris yang dimiliki kota pelajar ini. Aku sangat menyukai tempat ini. Tempat yang memiliki bangunan unik, environment yang khas dan product knowledges yang juga sangat fenomenal. 

Toko Oen Malang selalu identik dengan es krim. Pasalnya es krim legendaris kota Malang hanya ada di tempat indah yang satu ini. Bangunannya lebih banyak didominasi warna putih dan hijau tua selain warna-warna vintage yang khas seperti tone kecoklatan. Tempat yang menjadi landmark kota Malang ini sudah menyedot perhatianku semenjak  masih duduk di bangku SMK. Suasananya full romansa Belanda dan sangat vintage.

Toko Oen Malang merupakan tempat yang sangat romantis. Bersejarah bagi kota Malang, juga bagi kami berdua. Selain menyajikan environment yang memang berbeda dari toko-toko konvensional yang ada, produk-produk yang dijual disana juga sangat ‘tua’ Banyak jajanan yang ternyata sudah ada dari zaman nenekku masih kecil. Jajanan itu berbentuk kue kering dengan ciri khas toples kaca jadul sebagai wadahnya. Namun, sekarang aku tidak akan menceritakan dengan detail produk apa saja yang ada di Toko Oen. Tunggu artikelku yang selanjutnya saja yaa..

Tulisan kali ini lebih banyak menceritakan kisah romantisme. Romantisme manusia, ice cream dan kasih senja. Kami menikmati dua ice cream yang berbeda. Salah satu alasannya adalah agar kami bisa saling mencicipi rasa yang berbeda.   

Banyak cerita yang mengalir dari kami berdua. Tentang flashback hidup, tentang komitmen yang dibangun bersama, tentang masa depan yang lebih cerah. Ditambah canda tawa, rasanya ice cream itu melebihi manisnya sendiri. Aku sangat suka dengan ice cream. It’s more than taste, but its about soul and happiness. Itu juga salah satu alasan terbesarku, mengapa tempat ini begitu spesial di ruang hati. Karena ice creamnya.

Menikmati ice cream, denganmu, di tempat yang sangat aku sukai. Hhmm.. ini perpaduan yang magic. Toko Oen Malang menjadi surga kecil sore itu. Bahagia rasanya.

Ice cream itu semakin mencair. Membuat cerita kami juga semakin mengalir ke hulunya. Rasanya tak ingin beranjak dari tempat indah yang dimiliki kota apel itu. 

Ice creamnya, environmentnya, orang-orangnya dan tentu saja kita berdua. Semua begitu mempesona.

18 November 2012

Cerita Pagi


 Good morning sayang.. Pagi ini terasa, rindu yang kian berwarna. Menggunung dan ingin jumpa. Rindu dan sayang yang beraduk jadi satu, membuatku ingin bicara pada tetes hujan di pagi ini. Aku merindukannya. Merindukannya yang jauh, terpisah jarak dan waktu. Namun, ada yang tetap. Hati kami bersimpul jadi satu.

Pagi-pagi membayangkan, membangunkannya, menunggunya mandi. Lalu dengan harus segarnya, kami sarapa berdua di satu meja. Setelah itu kami keluar rumah, jalan kaki menikmati udara pagi. Sengaja kami lakukan agar otak lebih fresh dari seluruh aktivitas di hari sebelumnya.

Kami punya rumah di desa yang rimbun bunga. Tanpa menggunakan alas kaki, kami berjalan menuju hamparan vitamin hijau di sekeliling rumah. Bergandengan tangan. Hhmm.. hangatnya pagi ini.

Kami saling sapa dengan warga disana. Kami ucapkan salam ramah kepada mereka, ibu-ibu yang sedang menggendong putrinya di pelataran rumah. “Selamat pagi bu” sapa kami berdua. Salah satu Ibu tersebut menjawab dengan raut sumringah, “Selamat pagi juga Mbak, Mas. Gimana kabar kalian berdua? Aku doakan langgeng dan terus menjadi keluarga yang harmonis yaa” Kami pun menjawab balik dengan ramah. Berbincang-bincang sebentar dengan ibu-ibu ini.

Kami terus berjalan. Terdengar lentingan suara canda tawa anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengisi hari minggu paginya dengan suka cita, bersama teman sebayanya. Gundu, petak umpet dan dakon adalah permainan tradisional yang selalu mereka mainkan bersama. Mereka sangat terlihat ceria meski rupanya belum ada yang sarapan pagi. Terlihat juga para bapak yang membawa peralatan kuncinya. Mereka menuju ke sawah masing-masing dengan semangat yang menyala.

Tiba-tiba saja perjalanan kami dihentikan oleh sapaan Ibu yang satu lagi. “Hhmm.. pasti anaknya nanti mirip ayahnya yaa” Lalu dengan senyum lebar aku pun segera menjawab, “mirip kami berdua bu”

Kami melanjutkan kembali, menuju taman kecil yang dimiliki oleh desa yang indah ini. Taman mungil nan hijau berseri. Udara sangat sejuk. Rona hangatnya pagi karena sinarnya mentari membuat kami hangat. Disitulah, dia membisikkan sesuatu ditelingaku. “Sayang, aku sangat menyayangimu. Semoga kita bisa menjaga semuanya dengan baik” Dia langsung memelukku dengan erat. Seolah tak mau kehilangan seorang wanita yang telah dititipkan olehNya untuknya. Dia sangat mensyukuri hadirnya, yang selalu ada disampingnya.

Rasanya pagi ini terasa lebih dekat dengannya. Dengan dia yang ku cinta. Seolah tak ingin melepas dekapan hangatnya, aku pun menikmati setiap detik pelukannya. Sangat hangat. Damai dirasa hati. Aku pun membalas dengan senyum bahagia. “Aku pun tak ingin rasa ini berkesudahan. Aku tak bisa mencintaimu dengan cara lain. Aku percaya, kau memang yang terbaik. Yang sengaja dikirimNya untuk menjagaku, menjaga keluargaku kelak. Dan aku pun percaya, semua akan baik-baik saja di tangan kita. Tetap melakukan yang terbaik sembari berdoa untukNya”

Ku rasakan setiap partikel nikmatMu. Dengan penuh syukur dan suka cita. Berharap Kau akan terus memberkahi kami dan rasa cinta kami. Melipatgandakan kenikmatan yang terus kau beri. Terima kasih Tuhan atas rasa indah yang masih kau peruntuukan untuk kami.

17 November 2012

Pagi di Kutoarjo


Lokomotif keretaku masih menderu
Berjalan mengikuti alur rel yang kaku
Sesekali ku lihat
Ada asap yang mengepul disana
Keretaku setia menemaniku
Menemani manusia lain yang juga satu visi denganku

Dingin yang dirasa menukik kulit
Lalu aroma harus segarnya embun pagi
Ku rasa pagi ini sangat segar
Tetes embun pagi menghiasi
Membuat pagi semakin berseri
Aku pun terbangun dari lamunan pagi

Ku lihat Kutoarjo yang ramah
Sepanjang mata memandang hanya ada vitamin hijau
Sangat luas dan tak terbatas mata
Inilah nikmat Tuhan yang tak terkira harganya

Aku ingin menghambur keluar
Berlarian di pematang sawah, main air sampai puas
Meninggalkan sejenak keramaian kota
Membayangkan saja membuatku bahagia
Sama damainya ketika menyambut Jogjakarta

Pagi ini lebih berseri
Ku dapati dua pengamen yang sedang menyambung hidup
Melaju dari lokomotif ke lokomotif selanjutnya
Banyak manusia yang penuh semangat menyambut kami
Mengharapkan kami membeli
Tak terkecuali si pengamen ini
Kali pertama menatap mereka
Mengatakan ‘tetap semangat’ untuk kami semua
Tak seperti cara yang lainnya
Mereka semangat menyambut pagi cerah

Tinggal dua titik lagi
Lempuyangan sebentar lagi akan ku raih
Jogjakarta lagi
Menuju kota yang tak akan terganti
Meski sudah berkali-kali

15 November 2012

Seperti Kami

"Jodoh, barangkali semacam percakapan yang terhubung di telepon genggam" - Fahd Djibran

12 November 2012

Kembali Ke Daerah

Siang ini terasa seperti pagi yang segar. Meski Jakarta diliputi mendung tebal yang berhawa panas. Saya sengaja datang ke kampus siang ini untuk bertemu Mbak Hene, pembimbing akademik saya di Paramadina. Mbak Hene adalah wanita yang sangat energik. Mungkin saya meniru beliau yaa kalau soal ini. Hheee.. Beliau juga yang tahu saya mulai pertama kali, bahkan sebelum saya masuk kuliah di Paramadina.

Dulu, beliau adalah salah satu tim panel yang menjadi juri Paramadina Fellowship saya di Surabaya. Mbak Hene yang menarik saya untuk keluar dari batas ‘canggung dan malu’ sehingga saya bisa total saat penilaian waktu itu. Beliau juga yang berhasil membuat saya menangis tersedu-sedu saat proses wawancara fellowship. Saya juga masih ingat, dulu beliau meminta saya untuk menarikan satu tarian jawa yang saya bisa. Dengan spontan saja saya mengiyakan dan langsung menuju panggung, disaksikan banyak pasang mata anak muda yang mempunyai visi sama. Kuliah di Paramadina. Saat itu yang ada di otak saya hanya, “Mbak Hene itu juri fellowship ini jadi saya harus menuruti semua permintaannya agar saya bisa mendapatkan poin plus” meski terlihat agak klasik tapi itu saya lakukan dengan jujur. Padahal waktu itu saya tidak ingat betul gerakan tariannya, apalagi musiknya karena saat ke Surabaya saya tidak prepare sejauh itu. Saya tetap menari dengan percaya diri, tanpa musik dan alat yang lain. Tentu saja.

Terima kasih banyak Mbak, kalau diingat dan dikenang-kenang, rasanya semua itu membuat hati tersenyum lega. Rasanya tagline yang selalu saya jadikan pegangan hidup itu benar-benar berjalan dengan baik, melihat kondisi saat ini. Love the proses and respect the result of it. Tiga tahun silam, 9 Juni 2009 saya dipandu oleh Mbak Hene untuk bisa bercerita. Tentang proses, desain dan tujuan hidup di masa mendatang setelah saya lulus SMK.

Tujuan primer saya bertemu beliau siang ini adalah minta tanda tangan. Ada satu berkas penting yang memang harus mendapatkan persetujuan darinya. Nah, masuk ke ruangan beliau rasanya seperti flashback beberapa tahun silam. Mbak Hene, sampai sekarang, tetap dengan personality brandnya seperti waktu pertama kali saya bertemu. Tepatnya momen paling mendebarkan yang terjadi di Hotel Surabaya. Saya suka itu. Beliau mengenakan celana jins casual.  Sepatu yang  saya tidak tahu merknya apa tapi saya sangat suka jika Mbak Hene yang memakainya. Di pikiran saya, sepertinya yang cocok dengan sepatu model tersebut cuma Mbak Hene. Ditambah lagi kemeja cantik motif bunga-bunga. Mbak Hene sempurna dengan dandanan semacam ini.

Saya kira saya hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15’ di ruangan beliau. Ternyata salah besar. Template ‘kangen’ sepertinya memenuhi ruangan mungilnya. Saling menanyakan kabar masing-masing menjadi pengantar menuju topik selanjutnya. Kami berdua bercengkrama mengingat momen-momen 2009 itu dulu. Sambil tertawa renyah, muncullah statement dari wanita cantik berparas dewasa sempurna ini “nggak nyangka yaa.. cepet amat lulus. Perasaan baru kemarin masuk kuliah” Saya pun menjawab dengan nada sumringah “iyaa ya mbak, perasaan baru kemarin Mbak Hene ngetes saya di Surabaya sampe saya nangis, bicara jujur soal cita-cita dan keluarga” Tapi ada satu hal yang berubah dari saya kalau kata Mbak Hene. Katanya saya tambah gemukan, beda waktu awal masuk kuliah dulu. Yeaay, itu artinya saya menjalani hidup dengan senang. Korelasinya, berat badan saya naik. Meski jika dilihat detailnya, sebenarnya badan saya tetap kecil.

Siang itu saya merasa menemukan oase. Oase yang menjadi tempat sharing soal akademik. Tentunya selain orang tua saya pribadi dan (alm) pakde saya. Tidak lain dan tidak bukan, sosok itu adalah Mbak Hene. Saya mencoba share tentang kesibukan saya belakangan ini. Tentang kantor, tentang riset dan yang beberapa hal lain. Sampai pada akhirnya, saya merasa harus cerita tentang apa yang lama terpendam dan terasa belum menemukan jawaban yang tepat karena saya dilanda bimbang. Itu tentang ‘pinangan’ dari seorang guru terkasih di bulan april lalu. Ini merupakan kabar bahagia sekaligus kabar yang menjadikan saya harus berpikir matang-matang, tidak asal bilang tidak atau iya. Tetapi bagaimana efek selanjutnya dengan keputusan yang saya ambil. Tentang selanjutnya, apa yang harus saya lakukan dengan datangnya kabar ini.

Topik siang itu langsung berganti. Kami membahas masalah yang saya rasa cukup kompleks. Pasca lulus dari Paramadina, saya dipinang untuk mendidik murid-murid di Malang. Guru, itu sebutan yang paling saklek untuk soal kali ini. Awalnya guru saya meminta bulan oktober ini agar saya sudah mulai mengajar di Malang, tetapi dulu saya belum bisa menjawab apa-apa karena saya masih semester 6. Belum skripsi.

Saya bercerita tentang bimbangnya hati untuk memilih atau menutup telak ajakan mulia ini. Mbak Hene, dengan gaya yang saya suka menjabarkan banyak hal. thesisnya adalah jelas disitu bahwa beliau mendukung total agar saya menerima pinangan tersebut. “Menjadi akademisi itu panggilan hati. Kalau jadi desainer, itu sebenarnya bisa kamu lakukan kapan saja, malam hari atau pun hanya di waktu weekend. Kerjaan di dunia desain itu lebih tidak mengikat waktu kita secara formal. Dan menjadi guru itu akan lebih menyenangkan. Banyak hal yang akan kamu temukan disana”

Lalu saya membalas “Iya mbak, saya sangat paham kalau soal ini. Tapi saya sepertinya masih belum pantas jadi guru. Ilmu saya sangat minim, saya mengakui itu” Hhmm, sejenak kami mengambil nafas secara bersamaan. Kemudian beliau menjawab dengan sangat bijak, ditambah dengan gayanya yang khas, “Namanya manusia, dia memang nggak akan pernah puas. Percayalah sama saya, bahwa pasti ada sesuatu yang kamu dapatkan selama kamu kuliah. Nggak seminim yang kamu kira begitu. Setidaknya jika kamu bilang ilmu masih kurang, justru dengan menjadi guru kamu pasti akan banyak belajar. Dan kamu harus paham bahwa pasti banyak hal yang bisa kamu share ke anak didikmu nanti soal pengalaman kamu yang luar biasa di Paramadina ini. Saya sangat percaya, Ika pasti bisa!” dengan muka paling sumringah dan bersemangat yang saya tahu, beliau menuturkan semuanya panjang lebar, seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.

Saya hanya mendengarnya setiap detail kalimatnya yang membuat merinding sambil terus mencerna. Apa yang harus saya lakukan. Saya juga menambahkan bahwa saya memang memiliki cita-cita itu. One day, saya pasti akan kembali ke kota saya. Membesarkan kota saya sendiri yang selama ini menjadi pijakan saya berdiri. Yaa, mungkin jalannya adalah dengan memilih untuk menjadi akademisi ini.

Obrolan kami terus berlanjut. Semakin dalam dan terus mengakar “dari semua yang saya sampaikan ke kamu, itu sedikit menjadi alasan mengapa saya ada disini sekarang. Menjadi dosen di universitas” saya merasa diberi amunisi ampuh untuk meledakkan segala bom yang ada di dalam diri saya selama ini. Tentang semua ini. Saya cukup kaget dengan respon mbak Hene karena saya kira mungkin beliau akan mendukung saya bekerja di industri kreatif. Menetap di Jakarta. Tapi ternyata saya kalah telak dalam permainan tebakan kali ini. Beliau justru kontras dengan pemikiran yang selama ini saya kubur dalam. Beliau mendukung saya secara total untuk kembali ke daerah, untuk berkarya disana. ”Banyak hal yang bisa kamu lakukan disana, daripada hanya menjadi desainer yang dimonopoli oleh keuntungan satu instansi saja” kata mbak Hene lagi. Saya sendiri sangat mengakui itu.

Saya berpikir bahwa saya akan jauh lebih bermanfaat untuk banyak orang dan banyak lingkungan dengan jalan ini daripada hanya berdiri di titik desain. Setidaknya itu pemikiran yang memang masih duduk rapat di otak saya sampai detik ini. “Dengan boomingnya Indonesia Mengajar yang ada di media belakangan ini, banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk lolos menjadi pengajar mudanya. Namun, kamu harus tahu Ika, bahkan ketika kamu menerima pinangan dari sekolah itu, kamu sudah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Indonesia Mengajar. Kamu tak perlu jauh-jauh ingin menjadi bagian dari Indonesia Mengajar tersebut karena apa yang kamu lakukan nantinya similiar dengan jalan Indonesia Mengajar. Bedanya kamu justru mendapat yang lebih enak, di kotamu sendiri, dengan fasilitas yang tentunya lebih banyak mengalir karena daerahmu juga termasuk daerah yang sangat berkembang. Apalagi kamu sangat mengetahui medan yang akan kamu hidupi. Siapa yang tidak mengenal Malang” Rasanya denyut nadi ini hampir terputus, tapi nggak jadi. Rasanya campur aduk. Hari ini mbak Hene benar-benar menjawab apa yang sebenarnya saya tanyakan pada alam dan hati. Dan seketika saya menyimpulkan obrolan panjang kami. Saya akan kembali dalam waktu dekat. Tidak perlu menunggu lama.

Awalnya memang terlihat lebih tertata dan sistematis. Saya memang ingin bekerja di industri kreatif dulu di Jakarta untuk beberapa tahun sembari menyiapkan amunisi terbaik untuk beasiswa S2. Lalu setelah itu saya berkarya di Malang, membesarkan kota saya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang saya tulis dalam janji “Cita-cita saya di masa mendatang” di berkas fellowship. Berkas yang cukup menentukan jalan saya sampai saya menjadi manusia yang sekarang ini. Janji itu bukan hanya diucap, tetapi juga direalisasikan. Harus! 

Saya masih ingat bahwa saya dulu menuliskan kalimat ini di salah satu form berkas fellowship tersebut “Nantinya, ketika saya sudah sukses, saya akan membangun foundation untuk anak-anak yang bernasib yang sama dengan saya, yang memiliki mimpi serta semangat yang tinggi untuk apa yang diyakini. Karena saya disekolahkan ‘orang’ (re: dari beasiswa” nantinya saya juga akan melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah memberikan jalan untuk saya menuntut ilmu di Paramadina. Saya akan balik menyebar kebaikan yang harusnya lebih banyak dari apa yang dilakukan oleh donor beasiswa saya sekarang” Dan sekarang saya menambah kalimat itu dengan, Saya tisak sukses secara instan tapi ada proses yang mengikuti dan menjadi saksi.

Sejenak saya terdiam hanya untuk flashback dan terus mensyukuri nikmatNya. Hening dan tersenyum simpul. Support dari mbak Hene membuat saya merubah jalur planning yang sudah dibuat matang. Mana yang lebih baik, antara bekerja di industri kreatif lalu tetap tinggal di kota ini atau kembali ke daerah untuk menyebarkan apa yang selama ini saya dapat di Jakarta. Sekali lagi, mana yang lebih baik? Who know’s? Itu jawaban penutup yang selalu Ajahn Brahm ajarkan kepada para pembaca setia bukunya. Keputusan 80% sudah bulat.

8 November 2012

Kami Milikmu? Bukan!

Nyoba bikin script film yang kemudian saya aplikasikan ke program Celtx. Program yang mempermudah kinerja movie maker. Semuanya berhubungan dengan Audio Visual.


Introduksi
Rangga, Rara dan Gastar adalah  tiga sahabat yang sudah lama kenal bahkan menjadi orang terdekat. Rara memiliki sifat bunglon, suka mempermainkan laki-laki tapi Rangga dan Gastar tidak mengetahuinya. Dan saat ini Rara sedang menjalin hubungan dengan keduanya. Suatu hari ketika mereka mengetahui sifat asli Rara, mereka balik membalas dengan mempermalukan Rara di depan umum.


Scene 1 : Taman kota denpasar (Long Shot)
Taman kota yang sangat asri. Disana banyak pasangan pemuda yang terlihat pacaran. Harum bunga di sekelilingnya, lembayung senja yang khas turut mengindahkan suasana. Semilir angin berhembus menguraikan dedaunan yang berjatuhan di tanah dewata tersebut.

Gastar
"Sayang, sabtu ini ada acara pesta ulang tahun sahabat baikku ketika SMA. Kita datang kesana yaa"
(Duduk di bangku taman, tepat disebelah Maria. Ia sambil tersenyum)

Maria
"Hhmm.. pengen dateng sih sayang, tapi lihat nanti ya. Aku belum tahu sabtu ini jadi lembur atau nggak di kantor"
(Sambil mengerutkan alisnya, ia mencoba mengingat - ingat apakah ia juga ada agenda bertemu dengan Rangga)

Gastar
"Yaah.. diusahain dong sayang. Kan itu moment penting buat aku. Sekalian, aku juga pengen ngenalin kamu ke sahabat-sahabatku waktu masih SMA"
(Saat itu sebenarnya Gastar sudah tahu kalau sabtu nanti Maria memang ada kencan dengan Rangga)

Maria
"Iya deh, aku usahain bisa.."
(Ia pun luluh dan wajahnya terlihat memelas)

Camera Movement : Medium Shot


Scene 2 : sudut Taman Kota Denpasar (Long Shot, Pan Right)
Maria mencoba berjalan ke arah sudut taman. Tidak lama kemudian HP Maria pun berdering. Ia berusaha melirik layar HP nya. Ternyata itu adalah telepon dari Gastar

Gastar
"Kenapa nggak diangkat sayang?"
(Sambil berjalan di belakang Maria. Terlihat muka usil Gastar sambil tersenyum kecil)

Maria
"Ah, nggak penting. Dari temen kantor kok. Paling-paling mau nanyain kerjaan yang tadi sayang. Nanti bisa aku telepon balik"
(Mukanya yang suram sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya)

Gastar
"Ohya, aku pinjam HP dong buat sms temen kantorku biar ngesave data di komputerku"
(sambil senyum - senyum usil)

Maria
"Yaa.. Pulsaku habis!"
(Ia sudah mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah laku Rangga yang curiga)

Gastar
'Hhmm.. yaudah, kalau gitu kita pulang aja. Udah sore juga"
(sambil menarik tangan Maria dan mencoba mengajaknya jalan)


Scene 3 : Jalan Keluar Taman (Long Shot, Zoom Out)
Mereka bergandengan tangan, berjalan beriringan. Cuaca sore hari yang begitu hangat terkena silauan cahaya senja matahari.

Maria
"Sayang, kita ke Metro Mall dulu yuk. Ngadem bentar gitu sambil jalan-jalan"
(Merasa belum mendapatkan barang apapun sore itu, Maria mencoba berpikir keras tentang bagaimana caranya agar Gastar mau diajak ke Mall)

Gastar
"Oh pengen kesana? Yaudah, ayo jalan.."
(Mereka kemudian jalan ke Metro Mall)


Scene 4 : Jalan Raya Menuju Metro Mall (Long Shot, Medium Shot)
Jarak antara Taman Kota Denpasar dan Metro Mall cukup dekat. Mereka bergandengan tangan dengan mesra, berjalan menuju Metro Mall


Scene 5 : Metro Mall (Long Shot)
Baru saja mereka masuk ke dalam area Mall tersebut. Maria terlihat kegirangan. Banyak lalu lalang orang yang bertujuan sama dengan Maria dan Gastar, ingin jalan-jalan atau membeli kebutuhan mereka.

Maria
"Sayang, kita jalan kesana yuk. Ada butik bagus lho. Barang-barangnya cantik-cantik"
(sambil menarik tangan Gastar dengan manja)

Gastar
(Tak mengatakan apa-apa. Hanya mengikuti Maria dengan rasa malas yang tertuang di bahasa tubuhnya)


Scene 6 : Butik Gabrielle (Long Shot )
Butik gabrielle terlihat sangat eksklusif. Dari luar saja sudah keliahatan bahwa barang-barang yang dijual disana adalah barang branded mahal luar biasa.

Close Up :
Barang-barang yang ada di Butik Gabrielle

Maria
"Waah, banyak barang yang baru datang nih sayang"
(Seperti bertemu surganya, Maria sangat senang dan tersenyum lebar. Baru masuk butik tersebut, Ia langsung memilih barang-barang)

Gastar
"Iyaa.."
(dia mulai menunjukkan bahwa ia sudah mulai tidak interest)
Close Up : Wajah Gastar yang acuh

Maria
"Bagus nggak sayang? Cantik nggak kalau aku pakai ini?"
(sambil bergaya bak foto model dan senyum sana sini)

Gastar
"Waah, bagus kok. Semakin cantik deh kamu.."
(Dengan memasang mukanya cuek. Rangga sudah tahu akal bulus Maria yang memang selalu morotin uangnya. Rangga mulai pasang strategi agar tidak terjebak lagi)

Maria
"Udah sayang ini aja. Gaun sama  dua tas yaa.. Setelah bayar kita pulang aja nggakpapa biar ngga kemalaman nyampe rumahnya"
(Dengan wajah sumringahnya, Maria berjalan menuju kasir sambil menenteng barang - barang belanjaannya)


Scene 7 : Kasir Butik Gabrielle (Long Shot, Zoom Out)
Biasanya Rangga langsung mengikuti Maria dari belakang untuk menuju kasir. Namun, kali ini tidak. Ia pura-pura tidak mendengarkan perkataan Maria dan masih tetap berdiri di dekat kamar ganti.

Maria
"Sayang.. Ini belanjaannya sudah selesai dihitung"
(Mukanya mulai garang. Ia berteriak untuk kesekian kalinya)

Gastar
'Yaudah.. Kan tinggal dibayar. Susah amat"
(Sambil berjalan mendekat, dengan memalingkan muka)

Maria
"Kok kamu gitu sih. Kan biasanya kamu yang bayarin!"
(Sambil marah, teriak – teriak dan barang-barang belanjaannya langsung di taruh dikasir dengan kasar)

(Tak lama kemudian Rangga datang)

Rangga
"Oh.. Jadi selama ini Gastar juga yang biasa bayarin barang-barang belanjaanmu?"
(Rangga yang tetap stay cool di depan banyak orang. Gayanya yang kharismatik membuat pembeli seperti dihentikan waktunya. Semuanya mlongo)

Maria
"Hah.. Hhmm.. Anu.. Kok kamu bisa disini?"
(Dengan ekspresi yang kaget setengah mati. Antara bingung, gugup dan masang muka bodoh)

Rangga
"Aku memang sengaja buntutin kamu mulai dari rumah tadi sampai akhirnya aku datang kesini. Aku dan Gastar sudah tahu tingkahmu yang memang suka mempermainkan kami"
(Dia bicara dengan tenang, tanpa ada rasa marah yang mendalam karena sudah dibohongi)

(Tiba-tiba saja Gastar bangkit dan mendekati mereka berdua)

Gastar
"Sudah puas kan kamu menghabiskan uang kami berdua selama ini?"
(Mukanya mulai berubah menyeramkan)


Scene 8 : Kasir Butik Gabrielle
Lalu petugas kasir menyela pembicaraan mereka. Ia mengingatkan Maria untuk segera membayar barang belanjaannya karena jumlah orang yang antri di kasir semakin banyak.

Maria
"Maaf mbak, saya tidak jadi beli semua barang-barang ini"
(Dengan tertunduk malu, pasrah dan mukanya merah padam)

(Kemudian terdengar sumpah serapah dan cemooh dari pembeli-pembeli yang sedang antri dibelakang Maria)

Gastar dan Rangga
"Tau rasa deh.. Akhirnya kalau udah dibikin malu seperti sekarang. Kena batunya kau. Emangnya, kami milikmu? Bukan!"
(Dengan muka satir yang dicampur rasa lega serta tertawa)

Zoom In : Wajah Maria yang sedang menangis (Long Shot, Pan Right)

Tanpa menjawab, Maria langsung lari dari butik tersebut. Ia meninggalkan Gastar dan Rangga sambil menangis terisak-isak.