21 Mei 2012

Agus Salim: Cendekiawan Indonesia Untuk Dunia Internasional

Pejuang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim merupakan anak seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat dengan nama aslinya Musyudul Haq. Ia merupakan keturunan pribumi dari kalangan priyayi yang santri. Nama pemberian keluarga itu memiliki arti 'pembela kebenaran' karena ayahnya berharap agar Ia memiliki sifat sesuai dengan nama yang diberikan. Saat masih kecil, Ia selalu diasuh oleh pembantu yang keturunan Jawa sehingga sering dipanggil ‘den bagus’ Semenjak itu pula, teman-temannya di sekolah sering memanggilnya 
dengan ‘Agus’ atau bahkan hanya sebutan ‘gus’.

Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa yang kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Jakarta. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Jawa dalam usia 19 tahun. Saat itu, tak banyak anak pribumi yang dapat bersekolah di tempat kalangan Eropa. Bahkan, Agus Salim menjadi kebanggaan Indonesia dengan nilai yang diraihnya, tentunya mengalahkan murid-murid Eropa sendiri. Setelah proses kelulusan yang menjunjung tinggi namanya tersebut, Ia justru tidak melanjutkan pendidikannya dikarenakan kondisi keuangan yang tak mencukupi. Kartini mulai mendengar gaung namanya. Dan Kartinilah yang mencoba merekomendasikan agar Agus Salim mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah Belanda. Ironisnya, Agus Salim justru menolaknya. Ia menolak beasiswa itu karena pemerintah Belanda memberikannya atas dasar rekomendasi dari tokoh emansipasi wanita Indonesia tersebut, bukan karena kapasitas dan kemampuan yang sesungguhnya ia miliki. Menurutnya ini sama saja dengan diskriminasi. 

Pada umur 22 tahun, Agus Salim  berangkat ke Jeddah. Ia bekerja pada Konsulat Belanda disana. Tak dinyana, Agus Salim bertemu dengan pamannya, Ahmad Khatib yang merupakan syekh dan lebih lama tinggal di Mekkah. Ia banyak menimba ilmu darinya, khususnya untuk masalah agama. Sang paman dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam masjidil Haram ini juga menjadi ilmuwan serta guru terhormat di Universitas Harramain Massajidal. Karena kecerdasannya, dalam waktu 5 tahun ilmu-ilmu Islam itu ia terapkan langsung ke kehidupannya. Di saat yang sama, ia juga belajar beragam bahasa seperti Turki, Inggris, Belanda, Prancis, Arab, Jerman dan Jepang.

Tahun 1915, ia kembali ke Indonesia. Agus Salim sempat terjun ke bidang jurnalistik dan menjadi ketua redaksi. Melalui usahanya yang sungguh-sungguh, Ia pun menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Kemudian Agus Salim bergabung ke Sarekat Islam yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Mereka menjadi partner yang saling membantu demi masa depan masyarakat Indonesia. Melalui organisasi inilah, Ia mengembangkan karier di bidang politik, agama, dan intelektualitas. Agus Salim dipercaya menjadi pemimpin kedua setelah Cokroaminoto. Tahun 1922 sampai 1925, ia menggantikan Cokroaminoto menjadi anggota Volkstraad dan sering melakukan pertemuan dengan pihak Belanda. Dipertemuan-pertemuan itu Agus Salim sering beradu argumentasi. Ia selalu berani dengan apa memang dianggapnya benar. Hal ini juga yang kemudian mengantarkannya sebagai Menteri Luar Negeri. Padahal pada masa-masa kolonial sekitar tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen penduduk Indonesia yang bisa baca tulis. Agus Salim adalah sosok yang cerdas dan langka, yang mampu membanggakan Indonesia di dunia internasional.

Pria yang sering mengenakan peci hitam dan menghisap cerutu ini pernah menempati posisi Menteri luar Negeri dalam beberapa kabinet, yaitu pada masa Sutan Syahrir, Amir Sjarifudin, dan Hatta. Pernah juga pada masa akhir, ia menjadi penasihat Menteri Luar Negeri. Namanya semakin melambung di tahun 1946-1950. Agus Salim seakan menjadi sosok bintang dalam dunia perpolitikan Indonesia saat itu sehingga ia mendapat sebutan The Grand Old Man (orang tua besar). Pemikirannya selalu kritis dan tajam. Agus Salim adalah duta besar Indonesia pertama untuk Britania Raya (sumber: New York Times).


10 Mei 2012

Soekarno: Semangat Nasionalis Indonesia

Soekarno, siapa yang tak mengenalnya. Presiden pertama Indonesia ini lahir di Blitar, 6 Juni 1901. Semasa hidupnya, beliau hanya beberapa tahun saja tinggal bersama orang tuanya di Blitar. Selebihnya, beliau justru mencari ‘kehidupan’ di dunia luar yang membuatnya tangguh seperti yang kita tahu saat ini. Semasa SD, beliau tinggal di Surabaya tepatnya kos di rumah di rumah Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam. Soekarno banyak belajar kepadanya. Dan rumah Tjokroaminoto saat itu dijadikan sebagai rumah dialog bagi Soekarno dan kawan-kawan. Disana selalu ramai dengan ide-ide briliant dan pembahasan yang menyangkut kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, beliau melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Lulus dari HBS tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke THS (Technische Hooge School) atau Sekolah Teknik Tinggi yang sekarang ini bisa kita lihat menjadi Institut Teknologi Bandung. Perjalanan inilah yang semakin menumbuhkan semangat nasionalisnya.

            Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) tanggap 4 Juli 1927 dengan tujuan satu, Indonesia merdeka. Karena kegigihannya, Ia dipenjara oleh Belanda. Tanpa alasan yang jelas, barulah setelah 8 bulan, kasusnya disidangkan. Beliau melakukan pembelaan dengan menulis sebuah artikel yang berjudul Indonesia Menggugat. Soekarno mengkritik habis Belanda akan ketiadaan ‘manusia’ dalam hati mereka sehingga melakukan tindakan yang sangat merugikan rakyat Indonesia secara kolektif. Karena pembelaan yang panas itu, PNI dibubarkan oleh Belanda. Mereka semakin geram dengan ulah Soekarno. Beliau juga sempat dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan ke Bengkulu. Masih dalam alasan yang sama, Belanda mengkhawatirkan semangat nasionalis yang disebar melalui pidato-pidato di beberapa kawasan Indonesia akan meruntuhkan kekuatan Belanda. Selama perjalanan inilah, beliau ditemani istri tercintanya, Inggit Garnasih. Sosok Inggit yang selalu mengayomi dan seperti melindunginya layaknya ibu, kakak perempuan, adik sekaligus menjadi yang menjadi istrinya.

Pembuangan yang di Bengkulu menimbulkan sedikit sayatan di hati Inggit karena disitulah Soekarno akhirnya bertemu dengan Fatmawati. Tidak lama setelah itu, beliau meminta izin kepada Inggit untuk menikahinya. Sungguh kebijakan Inggit tiada taranya untuk mengantar Soekarno ke ‘gerbang’ yang sudah dinantikan banyak warga Indonesia. Saat di Bengkulu tersebut, Soekarno menjadi ketua pengajaran Muhammadiyah.       Soekarno menjadi muslim yang taat. Disela-sela pembuangannya, beliau terus mencari Tuhannya dengan caranya sendiri. Beliau menjadikan rumahnya sebagai wadah untuk berkumpul, belajar tentang islam dan juga mengenai seni. Ada sepenggal riwayat bahwa Soekarno juga senang melukis. Beliau sangat menghormati agama orang lain dan bisa hidup berdampingan dengan warganya.

Tahun 1943 di masa pendudukan Jepang, beliau bersama Ki Hajar Dewantoro, KH. Mas Mansur dan Hatta memimpin Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) sebagai sarana taktis untuk menyusun tenaga dan kekuatan rakyat terlatih dalam persiapan merebut kemerdekaan dari Jepang. Saya suka dengan ajarannya, memandang musuh jangan hanya dari sisi negatifnya, yang bisa menyerang dan merugikan kita. Tetapi ambil sebanyak-banyaknya ilmu dari musuh yang tentunya bisa bermanfaat untuk bekal kita melawan.

            Soekarno yang juga dijuluki dengan sebutan singa podium, sempat diculik oleh pemuda-pemuda yang menuntut agar segera diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Beliau diculik bersama rekannya, Hatta dan dibawa ke Rengasdengklok. Setelah terjadi perdebatan dan persesuaian pendapat, maka keduanya dikembalikan ke Jakarta. Tepat 2 hari setelahnya, Soekarno berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama Muhammad Hatta (17 Agustus 1945) di daerah Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Berita ini disiarkan melalui radio Domei. Melalui perjuangan yang sangat panjang, beliau bersama Hatta merumuskan tentang gagasan negara yang disebut saat ini sebagai Pancasila yang sampai saat ini gunakan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945, Soekarno terpilih secara aklamasi menjadi presiden Indonesia yang pertama dan didampingi oleh Hatta sebagai wakilnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya mereka berdua sering berseteru tentang gagasan masing-masing. Hal itu memicu perdebatan panjang diantara keduanya. Namun, mereka bisa bersatu dengan tujuan yang sama dan dalam himpitan yang sama akan ‘hausnya’ terwujud kemerdekaan Indonesia yang utuh. Dari segi background pendidikan, jelas keduanya juga berbeda. Soekarno besar karena rentetan pengalamannya langsung di lapangan. Menghadapi Belanda yang sangat tidak manusiawi terhadap rakyat Indonesia. Dan satupun Soekarno tidak pernah mengenyam pendidikan di negeri Belanda. Berbeda dengan Hatta, ia besar karena buku. Belajar banyak hal dari buku dan bersekolah di negeri Belanda secara langsung. Beliau merupakan ekonom pertama di Indonesia.

The Children of Srikandi


Bermula dari perkemahan kreatif di sudut kota Jogjakarta april lalu, aku diperkenalkan dengan sebuah film yang ‘tidak biasa’. Film dimana pertama kali melihatnya, ada rasa terkejut karena banyak kisah unik yang diungkapkan oleh film ini. The Children of Srikandi. Inilah judul film yang langsung menancap di otak ketika audiences mengucapkannya.

Awalnya aku menonton film ini bersama teman-teman camp yang juga memiliki pemahaman yang sama, datang kesini untuk belajar dan menghidupkan rasa keingintahuan. Namun, saat itu tidak banyak diskusi yang dilakukan untuk membahas film ini karena keterbatasan waktu. Yang kami tahu hanyalah kenyataan bahwa film ini merupakan garapan beberapa panitia camp, (salah satunya) kak Edit dan kak Imel. Kisahnya pun merupakan pengalaman pribadi mereka yang kemudian dicetak menjadi sebuah ritme skenario film. Aktor-aktornya juga pribadi mereka sendiri yang memiliki cerita tersebut. Singkatnya, film ini digarap oleh orang-orang multitalenta. Mulai dari ide cerita sampai aktor yang memainkan adalah mereka sendiri, juga produksi yang mereka lakukan. Kreatifitas dalam lensa video ini juga berhasil tampil di Berlin Film Festival. Bahkan Berlin ketika itu menjadi lokasi pemutaran premiere film ini (bukan di Indonesia). 
Reunian unyil Young Queer Faith & Sexuality Camp
Mengapa film ini ada di tengah-tengah kehausan kami -para peserta-  akan pengetahuan interfaith & sexuality? Yaa, tentu saja panitia sengaja memasukkannya dalam agenda camp guna menambah wacana peserta. Menunjukkan realita yang menyangkut kaum yang banyak disebut oleh kalangan hetero normatif sebagai kaum minoritas. Segera setelah itu, ada informasi bahwa film tersebut akan diputar di Jakarta untuk pertama kalinya, di Goethe Institute. Bulan Mei yang akan datang. Dan kami yang berdomisili di Jakarta tentu sudah mencatatnya dalam agenda kegiatan masing-masing. Kami akan hadir.
Film maker sharing pengalaman kepada audeinces
Sekitar satu bulan kemudian, waktu yang dinanti-nanti ini tiba. 6 Mei 2011. Aku bersama mas Dondik, Ipeh dan Gomat datang ke acara ini dengan sumringah. Niatan utamanya sebenarnya bukan untuk menonton film. Alasannya karena kami punya satu poin lebih, kami sudah menontonnya sebelum audiences yang duduk disini menunggu pemutaran filmnya. Sedikit tersenyum. Keinginan yang lebih besar adalah reuni unyil bersama rekan-rekan yang terlibat di camp kemarin, baik peserta maupun panitia. Dan niatan ini sudah terwujud malam itu di Menteng, Jakarta Pusat. 

Tak dinyana, banyak sekali audiences yang datang dengan antusias mereka. Ini sebagai wujud apresiasi mereka terhadap keberadaan karya yang dihasilkan oleh ‘mereka yang berani’
Secara teknik perfilman, saya berpendapat bahwa film ini biasa saja. Film yang awalnya diberi label film dokumenter. Harus diakui bahwa di dalamnya banyak sekali fiktif yang jelas terlihat sebagai sebuah skenario, bukan murni dokumenter. Banyak juga logika yang 'loncat' atas cerita yang disajikan. Berproses 'menjadi' akan membantu seseorang menemukan muara-muara baru yang mungkin lebih cocok dibandingkan dengan planning yang sudah dibuat sebelumnya. Namun, yang menjadi poin penting disini, mereka berani mengangkat kebisuan kolektif yang terjadi di masyarakat tentang apa yang sebenarnya mereka yakini dan dipilih menjadi jalan hidup mereka. Ada satu fliyer yang dibagikan ke setiap audiences yang masuk. Dan ada satu statement disana yang membuat hati saya tergugah sekaligus tersenyum lega. Ntah apa yaa bahasa yang bisa mewakili perasaan saat pertama kali membacanya. For the first time, queer Indonesian women breaking the code of silence. 
Congratulation for you !
Dari judulnya, Srikandi dipilih menjadi icon karena Srikandi (khusus di Indonesia) mewakili sosok perempuan yang sangat ‘tangguh’ bukan hanya menonjolkan maskulinitas. Film ini dibubuhi cerita wayang kulit dimana perwayangan tersebut dimainkan oleh Soleh (25) dan Anik (59). Keduanya adalah transgender. Wayang dipilih sebagai media untuk bercerita. Wayang juga dipercaya kuat mewakili karakteristik para tokohnya. Disini, saya yakin siapapun yang melihat kemampuan keduanya akan mengatakan bahwa dalang wayang dan sinden ini sangat berbakat, tanpa melihat identitas seksual mereka apa. Mereka berdua berkarya melalui media perwayangan, tentunya dalam hal ini mereka bisa menghasilkan sesuatu yang mencitrakan manusia utuh yang kreatif. Anggapan bahwa mereka -yang sering dianggap- sampah masyarakat harus segera dihilangkan. Manusia ini berhak untuk hidup, sama seperti yang lain. Terjemahan Anak-anak Srikandi ini ingin mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki cerita ‘hampir sama’ dengan Srikandi juga ada di bumi hijau ini. Srikandi bagi sebagian orang memang dipandang sebagai wanita utuh yang sangat mempesona. Di lain sisi, tidak bisa tidak, Ia merupakan transgender sehingga sosoknya yang kharismatik pun memiliki cerita ‘lain’. Berbeda cerita dengan Srikandi dari asalnya, India. Yang menunjukkan bahwa Ia justru perkasa dan gagah.
Srikandi in Action
Film ini berawal dari workshop yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Peserta yang notabenenya queer diprediksikan hanya dari Jakarta. Namun, karena antusiasme dari pemuda diberbagai daerah, akhirnya peserta pun diexpand. Ada yang dari Jogjakarta dan Bandung. Masing-masing peserta mengirimkan essai kisah pribadinya yang kemudian diseleksi oleh panitia. Hasilnya seperti yang kita lihat saat ini. Film The Children of Srikandi merupakan sequel cerita dari beberapa peserta yang terpilih kemudian dirangkai menjadi menjadi satu keutuhan film dalam durasi 74 menit. Penggarapannya pun mereka mulai sendiri. Menarik lagi, semua adalah wanita. Waktu produksi memakan sekitar 2 tahun.

Beberapa judul sequelnya antara lain Hello World (Imelda Taurinamandala) yang menceritakan tentang mimpi seorang anak perempuan yang menginginkan dirinya menjadi laki-laki. Jlamprong (Eggie Dian) bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di jalanan kota Jogjakarta. Ia mengalami beberapa kali pelecehan seksual akibat dari orientasi seksualnya yang ‘berbeda’. Bahkan pihak yang seharusnya bisa melindungi, Polisi, justru ikut andil membuatnya mengalami masa-masa sulit yang penuh perjuangan.  Ada juga kelompok fundamental islam yang juga menganiayanya secara fisik dan batin. Melalui prosesnya, ia justru meyakini bahwa kehidupan jalanan menjadi keluarga yang hangat di matanya. Acceptance (Oji) mengisahkan seorang wanita yang memilih untuk memulai kehidupan baru di kota yang baru. Pilihan ini diambil sebagai jalan terbaiknya untuk terus berdamai dengan orientasinya. Edith’s Jilbab (Yulia Dwi Andriyanti) menggambarkan kisah seorang wanita yang berpendidikan dengan background agama islam yang kuat. Suatu ketika ia mengikuti kajian-kajian dimana disitulah ia menemukan pertanyaan dasar atas agama dan Tuhannya. A Verse (Winnie Wibowo) menceritakan tentang kisah seorang wanita yang merupakan kakak tertua dari 3 bersaudara. Ia meninggalkan keluarga biologisnya saat berumur 12 tahun karena alasan orientasi seksualnya. Ia mencoba memulai kehidupan yang baru dengan perjuangannya di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Di luar, ia justru menemukan keluarga yang begitu hangat menerimanya. In Between (Hera Danish) bercerita bagaimana seorang wanita yang hidup ‘diantara’ keduanya. Biseksual. Ketika ia mengaku sebagai biseksual, banyak yang menolaknya. Dari pihak laki-laki juga dari lesbian yang lain. Deconstruction (Stea Lim) memberikan wacana dimana banyak sekali gender stereotype yang dibentuk masyarakat, khususnya untuk queer di Indonesia. Dan yang terakhir yaitu No Label (Afank Mariani). Pemilihan label bisa berubah-ubah. Manusia dikonstruksi untuk masuk hanya ke dalam satu kategori saja. Padahal kenyataannya banyak manusia yang bisa masuk ke beberapa label sekaligus. Artinya, menggunakan label atau tidak sebenarnya adalah pilihan pribadi yang harus dihormati.
Salah satu lirik yang saya ingat dari soundtrack film ini mereka tertawa seakan sempurna. Banyak yang menganggap dengan memiliki keyakinan yang ‘tak sama’ berarti berbeda. Parahnya stereotype norma menjadikan ‘mereka’ seperti harus disingkirkan dari permukaan. Seolah-olah yang tertawa merasa benar. Film ini memang tidak memberikan jawaban penuh atas pertanyaan-pertanyaan yang seketika akan muncul dibenak audiencesnya. Film ini lebih ditujukan sebagai pengguliran wacana bahwa fakta ‘ini’ memang ada di masyarakat kita. Jelas sekali bahwa film ini tidak memberikan sebuah jawaban yang mungkin dicari-cari para auidences yang bertanya karena proses itu akan terus berlanjut. 
Menurut saya, cara seperti ini yang justru membuat masyarakat bisa lebih kritis dan akan menggali lebih jauh tentang tema, khususnya pada film ini. Bukan hanya sekedar menerima doktrin-doktrin beku dari stereotype yang sudah berkembang sejauh ini. 
Di akhir acara pemutaran film ini, kami mulai mencairkan suasana dengan bersilaturahmi bareng-bareng. Kembali bergumul dengan memori-memori saat camp yang penuh keakraban dan kisah-kisah seru.

3 Mei 2012

Hatta: Bergerak Menuju Indonesia Merdeka Lewat Pemikiran dan Pembelajaran Politik Ekonomi

Salah satu putra terbaik yang dimiliki negeri ini, Mohammad Hatta. Ia lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Hatta menjadi anak yatim ketika berusia delapan bulan karena ayahnya, Haji Mohammad Djamil wafat ketika itu. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya sebagai anak laki-laki satu-satunya dari enam orang bersaudara. Ia tertarik dengan pergerakan sejak duduk di MULO. Hatta pun masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond, yang memang pada masa itu muncul  banyak perkumpulan-perkumpulan pemuda di berbagai daerah. Antara lain Jong Minahasa, Jong Ambon dan Jong Java dan Jong Sumatranen Bond itu sendiri. Hatta menjabat sebagai bendahara di perkumpulan itu. 

Tahun 1921 Hatta berangkat ke Belanda untuk belajar di Handels Hoge School, Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging yaitu perkumpulan pemuda yang menolak bekerjasama dengan Belanda. Setahun kemudian, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging yang akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia sampai saat ini. Perkumpulan ini memiliki majalah sebagai dasar pengikat antar anggota. Hatta yang mengatur agar majalah Indonesia Merdeka ini terbit secara teratur.
Setelah lulus dari ujian ekonomi perdagangan di tahun 1923, Hatta berniat menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi. Namun karena suatu kendala, ia justru masuk jurusan hukum negara dan hukum administratif. Keinginan ini muncul karena minatnya yang besar di bidang politik. Tahun 1926 sampai 1930, Hatta dipercaya menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Dibawah kepemimpinannya, Perhimpunan Indonesia maju pesat. Dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang dapat mempengaruhi jalannya politik di Indonesia. Hatta pun mendapat pengakuan sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa dari Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI). Perhimpunan Indonesia gencar untuk melakukan propaganda aktif dan sering mengikuti kongres internasional. Berkat Hatta, nama Indonesia secara resmi diakui oleh kongres dan benar-benar dikenal oleh kalangan organisasi internasional. Hatta dan Nehru (India) sempat diundang untuk memberikan ceramah di Gland, Swiss. Ceramahnya berisi tentang perdamaian dan kebebasan dan berjudul Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan

Hatta pernah dipenjara selama lima bulan, dan akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Pengadilan di Denhaag. Dalam sidang bersejarah itu, Hatta melakukan pidato pembelaan yang kemudian diterbitkan dalam buku bahasa Indonesia berjudul Indonesia Merdeka. Ia terus fokus untuk menulis berbagai artikel politik dan ekonomi. Pertengahan tahun 1932, Ia kembali ke tanah air setelah menyelesaikan masa studinya. Ia disibukkan dengan berbagai kegiatan politik di Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Dua tahun kemudian, Hatta kembali ditangkap bersama enam pimpinan partai Pendidikan Nasional Indonesia yang lain. Mereka dipenjara di penjara Glodok dan Cipinang sebelum akhirnya dibuang ke Digoel, Papua. 

Dalam pembuangannya, Hatta rutin menulis artikel-artikel. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-buku pribadinya yang dibawa dari Jakarta. Ia sering memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya seputar ilmu ekonomi, filsafat dan sejarah. Hatta juga sempat dipindahkan ke Bandaneira bersama Syahrir. Disana ia bertemu dengan Cipto Mangunkusumo dan tak jarang memberikan pelajaran kepada anak-anak setempat tentang ilmu sejarah dan politik. Hatta dan Syahrir dibawa kembali ke Jakarta ketika pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Hatta memiliki cita-cita agar Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda maupun Jepang. Menurutnya, lebih baik melihat Indonesia tenggelam di lautan daripada melihatnya sebagai jajahan orang lagi.

16 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menyiapkan proklamasi. Panitia Kecil yang terdiri dari lima orang dengan Soekarno sebagai ketua dan Hatta sebagai wakilnya serta Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menyusun teks proklamasi kemerdekaan. 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.