27 Maret 2012

R.A. Kartini Hidup Sebagai Pemikiran

RA. Kartini menjadi sosok ikon perjuangan wanita, kaitannya dengan hal-hal yang mengedepankan emansipasi wanita, kesetaraan gender dan feminisme di Indonesia. Ia menjadi pendobrak kemajuan kaum wanita. Wanita kelahiran Jepara ini hidup dalam kondisi yang berkecukupan, ditambah lagi bapaknya adalah seorang bupati. Kartini mengenyam pendidikan bersama orang-orang keturunan Eropa sebelum ia berhasil di pingit oleh keluarganya sehingga ia banyak bergaul bersama mereka. Setelah lulus dari sekolah ELS, Kartini kemudian dipingit oleh keluarganya. Ia merasa dikekang dan haknya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi juga dibatasi. Sedangkan diluar sana, warga Eropa dapat bersekolah dengan bebas. Artinya, pendidikan (hanya) diperuntukkan warga Eropa dan warga pribumi justru dibatasi bahkan ada yang sampai tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, meski sama-sama berada dalam satu wilayah negara Indonesia. 
 
Kartini sering bergaul dengan orang-orang Eropa, misalnya J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri yang berasal dari Belanda. Mereka sering melakukan korespondensi melalui surat. Ia menyampaikan kegelisahan batin, pemikiran dan ide-idenya melalui surat-surat tersebut. Dan karena konektifitas inilah, Kartini mendapat masukan ide-ide mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Surat-surat dari Kartini tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul ”Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh Ny. Abendanon. Pemikiran Kartini yang sangat pluralisme itu saya rasa juga dipengaruhi oleh pergaulannya dengan kalangan elite Eropa. Ia memiliki paham bahwa semua agama sebenarnya tujuannya sama, yaitu mencapai tujuan kebenaran. Ia juga tidak menyetujui bahwa agama dan keluarga ningrat menjadikan wanita-wanita di zamannya terkekang oleh banyak aturan yang dianggap tidak rasional. Saya sangat setuju dengan argumen tersebut bahwa religi kita (baca :agama) bukanlah halangan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Religiusitaslah yang harus dimainkan untuk menciptakan toleransi antar umat beragama karena pada dasarnya harus dibawah satu payung “meskipun berbeda-beda religi hendaknya religiusitas kita tetap sejalan dan bersatu” Perilaku beragama yang membuat seseorang itu terlihat bertuhan, bukannya simbolisasi agama yang mereka pakai seperti kerudung dan baju muslim.

Dari sini saya tahu bahwa pemikiran-pemikiran modern Kartini juga berasal dari pengaruh barat. Saya tidak mengecam itu buruk atau anti kebaratan karena justru itu jalan baik untuk kaum wanita di Indonesia. Patut membedakan antara sumber-sumber pemikiran dan efek sampingnya karena seperti yang sudah diketahui nasional bahwa Kartini merupakan tokoh yang benar-benar memperjuangkan kaumnya. Hal ini juga mirip yang dilakukan oleh Soekarno terhadap pemerintahan Belanda. Ia mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari Belanda yang kemudian ilmu tersebut dimanfaatkan dan dishare kepada rakyat untuk kebutuhan perjuangan kemerdekaan. Yang dilakukan Kartini juga sama, ia mengambil ilmu dan ide-ide dari barat tetapi kemudian dia gunakan untuk memajukan kaumnya.

Wanita bukan hanya keindahan tubuh semata yang difungsikan pada urusan domestik rumah tangga saja tetapi ia juga memiliki pemikiran-pemikiran layaknya kaum pria. Namun, pada zaman Kartini, wanita tidak memiliki kebebasan untuk merasakan indahnya ilmu pengetahuan sehingga pemikiran-pemikiran itu tentunya seperti dipenjarakan karena adanya hirarki gender dan status sosial. Menurut saya, wanita adalah aset bangsa. Bukan hanya pria yang bisa melakukan pergerakan dan kemajuan bangsanya. Wanita adalah sosok ibu, istri sekaligus putri yang berpengaruh pada kelangsungan generasi bangsanya. Generasi-generasi berkualitas akan terlahir dari wanita-wanita yang berkualitas. Seperti pada artikel saya yang sebelumnya, yang menyebutkan bahwa sosok laki-laki yang hebat juga tidak terlepas dari dukungan istri yang hebat layaknya Soekarno pada kisah yang saya tulis bersama Inggit Garnasih. Tentunya, seorang ayah akan merasa sangat bangga jika memiliki putra putri yang berhasil.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memajukan kaum wanitanya, memberikan akses yang sama antara wanita dan pria karena tidak ada beda beda antara keduanya. Wanita yang maju juga bisa memimpin bangsanya, dan tentunya pemikiran Kartini sangat bermanfaat untuk hal ini. Ia mengajarkan wanita untuk terus berkarya dan bangkit. Wanita bukanlah sosok yang lemah, pemikirannya terletak pada hati nurani dan kepalanya. Kartini percaya bahwa wanita Indonesia dapat membuat bangsanya lebih baik lagi atas perjuangan-perjuangan yang sanggup dilakukannya. Tentunya ia juga didukung oleh banyak pihak sehingga perjuangannya dapat mengubah nasib bangsa. Kartini tidak berjalan sendiri sebagai tokoh emansipasi wanita. Ada tokoh lain yang juga bergerak dibidang yang sama, misalnya Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Mereka  juga berinisiasi untuk memajukan pendidikan kaum wanita. Mereka juga sama seperti Kartini, mendirikan sekolah, pergerakan menyeratakan gender dan meningkatkan pendidikan kaum wanita. Pemikiran monolistik terhadap sosok Kartini juga harus direvisi karena Kartini tidak akan mampu berjalan seorang diri untuk melakukan perubahan besar ini.


Nah, ada sedikit tambahan review mengenai Kartini bahwa sejarah tokoh nasional perempuan jarang disinggung bukan hanya krn faktor gender tapi juga berkaitan dengan sumber yang tidak memadai. Keberhasilan Kartini adalah dapat mencitrakan kehidupan pribadinya yang kemudian menjadi gambaran umum kondisi perempuan di Indonesia saat itu. Terlepas dari pergolakan batin karena ia adalah anak pingitan keluarga priyayi jawa. Magisnya, bulan april memang selalu identik dengan sosok ibu pertiwi yang menjadi inspirasi Indonesia ini. Surat-surat Kartini mengisahkan tentang cerita perempuan di masanya, kondisi pendidikan dan peradaban. perempuan memang mempunyai posisi penting sebagai pendukung peradaban, terlepas dari fungsi domestiknya yaitu yang sering disebut dengan istilah macak, manak, masak


Perempuan yang mendidik anaknya untuk pertama kali dan pemikir-pemikir bangsa juga lahir dari rahim seorang perempuan. Yang lebih mendukung argumen ini, saya ingat di buku Ku Antar Kau ke Gerbang yang mengisahkan Soekarno dan Inggit Garnasih. Buku itu juga bercerita bahwa perempuan (Inggit) adalah pendukung peradaban, serta mendukung berdirinya peradaban yang dibangun oleh Soekarno saat itu. Emansipasi yang dikenalkan Kartini bukan hanya emansipasi wanita tapi lebih luas dari itu. Kartini memasuki konsep wacana modern sehingga ini menjadi bahan untuk diskusi dengan elite eropa dan parlemen Belanda, tentunya ia menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kalangan tersebut.


Argumen yang mendukung adalah ketika berdialog dengan JJ Rizal (sejarawan Indonesia), ia juga mengatakan bahwa sejarah tidak dapat berandai-andai tapi sejarah bisa memberikan kita ruang untuk menimbang aksi seorang tokoh bangsa. Tentunya tokoh sejarah memiliki ciri khas masing-masing dan berada dalam eranya masing-masing pula. Yang perlu dicermati, tidak semua tokoh sejarah memberikan artefak untuk anak cucunya sebagai peninggalan. Akibatnya sebagian dari mereka tidak mengetahui dengan pasti apa sejarah bangsanya. Dalam kasus ini, sebagai contohnya tokoh-tokoh perjuangan wanita yang lainnya tidak diketahui keberadaannya. Istilahnya kerennya tidak lebih booming dari yang lain. Sebut saja Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Tjut Nyak Dien. 


Kontradiksinya, Soekarno & Karto Marcodikromo (sebagai contoh) langsung merespon gejala-gejala persoalan sejarah dengan tulisan-tulisannya. Tulisan itu kemudian yang dapat dibaca oleh generasi selanjutnya. Maka bisa dikatakan disini bahwa artefak itu sangat penting dalam sejarah. Ada cerita lain yang menarik, Pramoedya justru melawan pergolakan sejarah yang maskulin dengan menempatkan ide-ide feminisme. Pramoedya mencoba mendekatkan sejarah dengan cerita yang berbentuk roman/novel sejarah sehingga itu lebih mudah diakses oleh banyak orang.


Kartini berani melawan kolotisme dan mengubah tradisi kebodohan. ia hidup sebagai pemikiran, bukan hanya sebagai pejuang wanita. Ia mengingkinkan kondisi 'sadar dr tidur’. Surat-surat Kartini bukan hanya wujud kesadaran akan wajah suram adat kuno melainkan suatu rumusan tajam atas situasi yang sedang dialami oleh kehidupan gelap karena terbelakang. Mengapa begitu? Yaa karena saat itu kaum terpelajar adalah komunitas minor kreatif. Saya yakin kalau sebenarnya setiap generasi harus menuliskan sejarahnya masing-masing. Yang saya pelajari selama ini, sejarah itu multi tafsir. Semangatnya didasarkan pada keresahan-keresahan akan keadaan yang ada di zamannya. Kartini menunjukkan bahwa masyarakat pribumi dapat setara dengan kalangan elite eropa. Kartini juga bukan orang yang besar hanya karena membaca buku tapi ia langsung terjun ke lapangan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Faktor pendukung lain juga karena pergaulan intelektualnya dengan kalangan eropa. Nah, karena itu juga ia bisa dikatakan sebagai intelektual participant.

13 Maret 2012

Marco Kartodikromo : Jurnalisme Sebagai Media Untuk Mengkritik

Awal mula Marco Kartodikromo memulai pergerakannya, pers belumlah menjadi barang yang familiar di periode tersebut. Ia memulai karirnya menjadi jurnalis yang sangat kritis, tajam dan sangat memihak kaum pribumi. Ia menyampaikan pemikirannya melalui tulisan yang terkenal sangat pedas terhadap rezim Belanda. Ia bergabung dengan pers yang masih baru hingga sudah memiliki nama besar seperti Medan Prijaji, Doenia Bergerak, Sinar Djawa, Sinar Hindia, Medan Muslimin, dan Hidoep. Dari titik-titik inilah ia terus melakukan pembaharuan dan perjuangan terhadap hak rakyat pribumi. Kritik sosial yang sering dilakukan menjadikannya sebagai sosok yang fenomenal di Indonesia, ia sering keluar masuk penjara akibat pemikiran liar yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut. Ia menjadi jurnalis yang sangat tangguh, berani terhadap apa yang dilakukan meski ia tahu bahwa resikonya berhubungan langsung dengan Belanda. Ia juga senantiasa menularkan ghirah ini kepada sesama jurnalis-jurnalis rekan kerjanya untuk tetap “berteriak” terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kolonialisme.

            Ia bersuara melalui tulisan dan juga syair. Ia bukan saja seorang jurnalis namun juga seorang aktivis yang membentuk jiwa kebangsaan Indonesia awal abad 20. Marco menganggap bahwa karirnya sangat menunjangnya dalam menyebarkanluaskan pemikirannya. Strategi yang dipakai sangat menarik karena ia menggunakan bahasa melayu pada sebagian besar karyanya, bukan menggunakan bahasa indonesia, Belanda atau Tionghoa. Saat itu, bahasa melayu menjadi semacam bahasa nasionalis yang dapat dimengerti oleh banyak kalangan. Apa yang akan ditulis di media akan dibaca banyak orang, bukan hanya warga pribumi tetapi juga pihak kolonialisme Belanda. 

Pendiri organisasi wartawan pertama, Indlandsch Jounalistn Bond (IJB) ini sangat membela kaum kecil (krama). Marco yakin bahwa kesetaraan derajat harus dibangun di Indonesia. Dalam tulisannya, ia tidak pernah menggurui pembaca atau menampilkan sosok pahlawan dengan patriotismenya. Ia lebih sering mengangkat kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya dengan melihat apa yang terjadi dalam setiap perjalanannya. Karena itu pula, ia sering menggunakan istilah “jalanan” dalam karyanya. Ia mengajarkan kepada sesama jurnalis dan rakyat pembaca untuk berani maju melawan, bukan menunggu kebijakan-kebijakan yang akan diberikan oleh Belanda. Ia meyakini bahwa pergerakan haruslah dilakukan oleh warga pribumi itu sendiri.

Dalam perjalanan karirnya, ia berhasil mengajak jurnalis-jurnalis dari daerah lain untuk bersatu menyuarakan pemikiran kritis mereka. Ia menganggap bahwa apa yang ia lakukan adalah tugas yang intelek, terdapat unsur mengedukasi masyarakat melalui tulisan. Jurnalisme menjadi suatu forum untuk melancarkan ‘perang suara’ melawan kekuasaan kapitalisme. Dengan alasan ini juga, Marco berusaha menggaet kaum terdidik untuk melakukan hal yang sama demi menyuarakan perjuangan. Semakin banyak bersuara, pemerintah Belanda juga akan semakin terusik. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern. Melalui pers inilah, ia juga berhasil bertemu dengan Ki Hajar Dewantara. 

Fokusnya pada rakyat kecil dan krama mendorongnya untuk menulis sebuah artikel yang menyebutkan bahwa banyak kaum petani yang mengerjakan ladangnya tetapi tidak bisa menghasilkan materi untuk membayar pajak. Akibatnya para petani tersebut akan terjerat hutang dan berujung pada penyerahan lahannya kepada pihak kolonialisme. Petani-petani tersebut seterusnya hanya akan menjadi buruh pada orang lain. Disini, Marco benar-benar melakukan observasi lapangan tidak melihat referensi dari buku. Ia meyakini adanya sistem yang tidak benar terhadap terpecahnya dua kategori, miskin dan kaya. Miskin dan kaya bukanlah ditentukan karena pelakunya rajin sehingga menghasilkan kekayaan yang berlimpah sedangkan yang malas akan jatuh miskin. Perlu dicermati bahwa penguasa melakukan kesalahan pada sistemiknya, tentunya ini disengaja agar menghasilkan keuntungan. Sistem negara saat itu memang berpihak penuh terhadap kolonialisme.

            Karena adanya arus yang radikal, Marco juga melakukan diversifikasi dengan fokus mempelajari sejarah dan geografis Jawa. Ia ingin menyadarkan masyarakat bahwa pribumi pun bisa menjadi seorang intelektual. Selama ini perubahan hanya terjadi dari kalangan sarjana atau priyayi sehingga jika warga pribumi yang memulainya akan menjadi tonggak pembaharuan. Marco turut membangun bangsanya melalui tulisan dan juga perilaku. Ia menginginkan kemerdekaan berpikir dan bergerak positif untuk warga pribumi, tidak ada campur tangan kolonialisme.

5 Maret 2012

Review Film Negeri 5 Menara

Malam ini agenda nonton saya lakukan bersama sahabat karib saya. Kita sengaja mencari bioskop baru -yang belum pernah kami kunjungi berdua- ntah apa alasannya sehingga kami memutuskan untuk ke Planet Hollywood. Selama 3 hari ini, kita selalu jalan bareng mulai dari ke Bazar Mega Komputer di JCC, Kompas Gramedia Fair di Senayan sampai nonton *Negeri 5 Menara* malam ini. Funtastic day, i think. 

Awalnya memang mengikuti arus yang sedang gencar ketika novel ini berhasil divisualisasi dalam bentuk film. Saya pun tergerak untuk menyimaknya karena novelnya pun juga sudah saya baca. Selesai nonton film ini, rasanya ghirah hidup disemarakkan oleh A. Fuadi sebagai pengarangnya. Apresiasi dari masyarakat pun sangat tinggi terhadap film ini. Dan tentunya (hastag) kembali ke jalan yang benar semakin membuat hati ini tersenyum.
Awal dari tayangan film ini, kita akan disuguhkan oleh quote yang memang menurut saya right. Jalani dulu, barulah kita tau mana yg paling baik. Dan ingat, jangan melihat sesuatu cuma liat dr sarungnya (luarnya). Saya juga sangat suka dengan opening filmnya an benar-benar menyuguhkan nuansa dan budaya Padang, dari logatnya, lingkungan dan etnisitasnya. Kebetulan tadi pagi saya melihat berita yang menyebutkan bahwa Habibie pun nonton bareng film ini bersama pemain-pemainnya. Dan tidak jarang cerita yang mengalir di film ini menyebutkan tentang Habibie yang dipuja sebagai sosok yang senantiasa menginspirasi kaum muda. Jika melihat Baso yang berasal dari Sulawesi itu, pikiran saya akan selalu tertuju pada sosok Habibie. Kecil tapi jenius. 

imaginasi yang muncul ketika membaca novel memang cenderung lebih luas jangkauannya daripada ketika menonton sebuah film, tapi film Negeri 5 Menara ini cukup jeli dalam membungkus ceritanya sehingga imaginasi yang ditimbulkan dari dua sisi itu juga tidak jauh beda. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa sering kali cerita yang dibayangkan di film-film biasanya tidak sama dengan novelnya. Kecenderungan yang terjadi yaitu cerita di novel lebih hidup daripadaketika difilmkan. Menurut saya itu hal yang wajar karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, ketika membaca novel jangkauan imaginasi tentunya tak terbatas. Sisi lainnya ketika novel itu difilmkan, penerjemah novel ke dalam bentuk film akan berbeda dengan penulis aslinya karena memang akan dirancang oleh berbagai tumpuan otak. Bukan digarap sendiri sehingga argumennya juga akan beragam.

Kebetulan saat ini bacaan saya tiba pada buku Membaca Nurcholish Madjid karangan Budhy Munawar Rachman. Disana ada penjelasan-penjelasan tentang bingkai pondok madani. Di film ini pula, bingkai tersebut semakin tercerahkan. Film ini membuat terharu, ada banyak nilai persahabatan yang juga ditonjolkan apalagi kasusnya sama dengan saya yang notabenenya merantau untuk studi. A. Fuadi mampu membangkitkan berbagai suasana sehingga audiences bisa langsung tertawa terpingkal-pingkal juga bisa menangis sesenggukan.

Bingkai kota ponorogo juga disajikan dengan apik, meski munculnya hanya sedikit. Yang jelas saya langsung ingat dengan teman saya yang asli Ponorogo, pasti dia sangat senang dengan background asalnya. Namun, yang juga perlu dicermati disini kalau bukan based on film saya rasa sebagian audiences juga tak akan mengingat atau mengenal kalau lokasi yang digunakan adalah salah satu daerah di Ponorogo. Tidak ada sesuatu yang menonjol disitu tentang Ponorogo tapi point of viewnya memang lebih mengarah ke pondok madaninya. Menurut teman saya yang asli Ponorogo tersebut, hanya ada tiga kota kecil yang dipakai. Dan pandangan saya yaitu ketika perjalanan dari Bukit Tinggi ke Ponorogo yang memang melewati daerah vitamin hijau, ketika beli es balok di sebuah toko dan perjalanan pulang dari membeli es balok tersebut. 

"Apa yg kau cari?" ini menjadi pertanyaan yang mendasar dari hidup dan ini pula yang diajarkan pada film ini. Ia juga mengajarkan kita untuk melakukan teknik persuasi yang kreatif, ini saya lihat ketika Alif dkk mempersuasi ustadz yang sangat suka terhadap dunia tenis dan mendorongnya untuk mengizinkan santri nonton bareng Thomas Cup di pondok. Pesan moral yang lain yaitu ketika mengkritik sesuatu maka alangkah baiknya jika dibarengi dengan solusinya. Maksudnya bukan hanya asal mengkritik keadaan. Dan itu yang dilakukan para sahibul menara pada kasus genset yang sering mati.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari film ini. Banyak pesan moral yang dapat dicerna dan dicermati. Secara visual, film ini bagus untuk dijadikan referensi karena tata cahaya, kamera dan juga artistik yang digarap dengan "berkilau". Film ini juga mengajarkan bahwa menjadi pendidik bukan lagi mengacu pada pencarian materi dan berorientasi terhadap diri sendiri, tapi lebih ke titik perjuangan seperti yang dicontohkan ustadz Salman. Ia ingin tetap berada di Pondok Madani tersebut, padahal Fitri sebagai calon istrinya sudah menanyakan kapan ia akan melamarnya. Dedikasi yang dilakukan oleh ustadz Salman sangatlah banyak sehingga Kyai pun menyuruhnya untuk kembali ke tanahnya,  meminang calon istrinya. Ia menyebutkan bahwa apa yang kau lakukan untuk pondok ini sudah banyak, itu hanya untuk orang lain. Sekarang saatnya kamu untuk memikirkan dirimu sendiri. Pulanglah.
Kritiknya ada di ending film, seperti ada logika yang terputus ketika sebagian dari sahibul menara tiba-tiba bertemu di London dan sebagian lain di Jakarta. Bagi yang belum baca novelnya pasti mereka akan bertanya-tanya mengapa mereka langsung berada di London. Ini yang membuat gregetnya berkurang.

Ada guyonan yang serius ketika kalimat itu muncul dari Baso, makanya Lif, perempuan itu jangan dijadikan taruhan, yang ada malah kau dapat cucian selama satu minggu. Dan kalau melihat Abdul Madjid, saya akan teringat pada sahabat tercinta saya yang juga berasal dari daerah yang sama, tanah sate Madura (based on logat). Ada kepuasan tersendiri ketika nonton film ini. Tidak sia-sia meski novel Negeri 5 Menara saya ini sekarang sudah rusak akibat ulah yang tidak disengaja oleh salah satu member perpustakaan saya. Novel itu hilang pada halaman-halaman akhir sehingga akan memutuskan cerita yang sedang membacanya. Ini merupakan pengalaman yang menarik karena perpustakaan saya waktu itu juga baru berdiri. Ada kemiripan yang terjadi pada kisah Baso dan Lintang di film Laskar Pelangi, mereka berdua sama-sama cerdas tapi tidak bisa melanjutkan studi formalnya karena kendala keluarga. Baso berhenti karena harus mengurus neneknya yang sakit dan Lintang karena ia harus mengurus adiknya.

Film ini juga mengingatkan saya pada ibunda tercinta di rumah. Yang dilakukan ibunya Alif di ending film ini sama dengan yang dilakukan ibu saya dulu ketika menghadapi suatu masalah. Ibu menyerahkan pilihan mutlak kepada saya karena memang yang tahu kondisinya adalah saya sendiri, tentunya ada syarat dan ketentuan yang berlaku disini. Tidak asal mengiyakan kemauan anaknya tapi memang ada kondisi yang mendesak.

Tempat belajar itu berpengaruh tapi yang lebih lagi adalah kesungguhan hati terhadap apa yang dijalani. Ini akan lebih berpengaruh terhadap proses belajar sesorang. Rezeki bisa mudah dicari tapi bagaimana dengan ilmu? kalau tanpa niat dan minat, bagaimana? ini yang diajarkan ayah Alif dalam meyakinkan anaknya agar mau bersekolah di Pondok Madani yang ada di Ponorogo tersebut karena ayah Alif sampai menjual kerbaunya untuk biaya Alif sekolah. 

Untuk mengejar ketinggalan, umat islam juga harus melakukan rasionalisasi dan modernisasi. ini terlihat dari sebagian latar yang ada di pondok madani. Ada keinginan seseorang untuk mengubah umat, bukan hanya mengubah diri atau keluarga sendiri. Ini yang diinginkan oleh ibunda Alif dan ini juga yang menjadi alasan mengapa Alif dikirim ke Pondok Madani bukannya SMA reguler seperti Randai. 

Yang dilakukan sahibul menara terhadap mimpinya hampir sama dengan apa yang saya lakukan dengan seseorang disana, tentang mimpi yang dibangun bersama. Kita menyebutnya sebagai #RoadtoOSU. Tapi mungkin itu dulu, sekarang sepertinya berbeda. Yaa, saya paham. Saya juga tidak menyalahkan siapapun karena ibarat daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Ingat pesan film ini man jadda wajadda itu tidak dilihat semata-mata hanya dari ketajaman otak seseorang. Selalu semangat dengan apa yang ada di depan dan terima kasih telah menularkan ghirah itu yang sampai sekarang masih gemerlap. Ini saya tujukan pada #langitbiru. Seperti yang juga disampaikan salah seorang teman dekat saya meskipun sekarang ia jauh, tapi ilmu atau ajarannya masih dekat sama kamu yaa. Saya senang untuk ini. Tuhan menunjukkan keindahan dengan jalan lain. 

*keep fight for future*
*life is colourfull*

Science Film Festival 2012

I really liked the film, either from pre production to post-production phase. In my opinion, a very interesting to be a young filmmakers. I will learn many things when making the film. Moreover, my educational background ranging from vocational high schools until now is a multimedia and visual. Of course my interest is in the field of cinematographic. So Sciene Film Festival will be a container of hoby and my interest although I'm not going to make a direct film here. I also often follow the championship in the field of cinema.

I also love the natural world so that when entered into voluntary SFF, I will continue to learn about living or biology. My principle, I will continue to learn. Learn from anything and anywhere. Certainly Science Film Festival will be my learning media for what I like. When I learned, there would be a lot of experience and new knowledge that will I get. Moreover, flora and fauna is something that is not foreign to us. It’s very familiar in our ears because both are integral of nature and human is a part of this. Especially if I see my friends who had been volunteers, they also learn the details biology of animals that may have not I got in junior high school. Unfortunately, sometimes we often forget what actually is near us and just looking for something away from the eyelid.

I know the SFF was 2 years ago when the SFF also organizes screenings of his films in Paramadina. I had come to watch. Actually, my desire to join the SFF has existed since last year but the obstacles, I do not know about the application to become a volunteer on this activity. Suddenly there was a list of voluntary SFF 2011 and was one-sided assessment of the campus team. Currently I'd love to be part of the SFF 2012 and contribute positively in it. Moreover, the system used today is the selection so I can try to enroll. I am confident of being able to provide the best for SFF 2012 and Paramadina, considering the field of SFF is something that I like. Something to do with feelings of pleasure, of course will be easier to get through it. 

One more reason that attracted me to learn and meet new people. Working teams will not be avoided both within the college and when it works later. Great way to train is follow the activities of this kind. This way, I'll meet new people, learn how communications and learn their behaviour. This is to create an optimal working environment. In other words when I follow the activities of the SFF, then I would get a lot more science. Hopefully I can contribute to the SFF 2012.