30 Agustus 2012

Edisi #Liburan Lebaran

Biasanya tanggal segini udah balik hijrah ke Jakarta tapi edisi tahun ini berbeda. I can spend my whole time in the sweet cold town. Malang. Make a quality time for my lovely family and ofcourse my beloved friends. Sebenarnya pengen segera balik, ngurus segala kepentingan kuliah dan juga yang lainnya. Tapi nggakpapa juga, itung-itung nabung kehangatan karena tahun depan juga tak akan menemukan waktu yang seperti ini. Planning sekaligus prediksiku bilang lebaran tahun depan sudah kerja atau ambil S2. Jadi berlama-lama di rumah merupakan hal langka. Masalah berkarya, disini pun juga bisa. Bukan berarti liburan itu sama dengan bersantai-santai atau waktu jadi tidak produktif. Yang membedakan hanyalah aktivitasnya dilakukan di tempat yang berbeda. Toh berkarya juga bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satu cara berkarya versiku adalah dengan travelling with studying *tetep* karena aku begitu yakin ilmu yang bisa membawaku kemana-mana.

Terima kasih untuk orang-orang terkasih yang sudah mengisi liburan kali ini meski Jakarta sudah menanti. Special for my Ichan yang sudah mengajakku jalan sehat dan visit tour ke Batu Secreet Zoo dan Museum Satwa dengan beraneka senyuman manis. Juga nonton #PerahuKertas yang sudah lama ku nanti-nanti premierenya. My honhon Ipeh yang sudah jauh-jauh datang ke rumah dari tanah garam Madura. Ke Batu Night Spectacular sampe akhirnya flu tingkat dewanya kembali datang. Kata Ipeh “antobodymu rendah sekali, padahal ini di kota sendiri” Hhmm..

Weekend lalu diajak ke tempat yang memang belum pernah ku singgahi. Selecta. Sebenarnya nggak terlalu suka tempat-tempat model seperti ini tapi karena yang ngajak adalah orang-orang terkasih jadi iyaa aja. Cukup menyenangkan dengan kebersamaan keluarga dan rona kebun bunganya Selecta ini. Bisa ketemu temen-temen SMP dan SMK juga salah satu agenda mengisi liburan. Berkawan itu lebih menyenangkan. Beberapa tahun yang lalu seseorang mengirimkannya padaku. Indahnya silaturahmi ini.

Salah satu agenda yang lain dengan aktif ngisi blog ini. Harusnya lebih gencar tulisan yang diproduksi. Logikanya waktu lebih banyak tapi malah belum optimal. Masih sering absen karena jujur saja aku perlu timing yang pas untuk nulis. Tidak asal nulis dan menghasilkan banyak ragam cerita. Aku juga diajak friend mate SMP ke Bromo. Lagi dan lagi soal Bromo. Meski sudah sering kenapa nggak ada rasa bosan untuk menjelajahinya kembali. Dan untuk kali ini aku menolak karena moodynya nggak dapet dan kondisi tubuh tak sepakat dengan perjalanan ini.

Tentunya menjadi hal yang sangat menghangatkan hati ketika jam segini bisa bercengkrama dengan orang tuaku yang super. Disamping liat adek belajar. Jadi ingat jaman SMP ketika aku seumuran dengannya. Pengen banget singgah ke Jember, bertemu orang-orang terkasihku disana. Roomiiee, mbakdee, Edwin, Priyo, Farah, Nia, Yink, Bunbun, Ayiep, Priyo, Ipuls, Risa, pak Boed, tante Rara, Kikii, Ine, Dian, Liem, mas Zaki, mas Rafli and many others. Tapi waktunya sudah dibooking untuk agenda yang lain. Kangen Papuma dan hore-hore sama temen-temen. Pengen juga bertemu kembali dengan temen-temen JFC. Kangen riwehnya bikin kostum, latihan di DF sampai malam, belanja bahan-bahan kostum di Pasar Tanjung. Jember jadi kota yang penuh chemistry.

Yang belum kesampaian di edisi liburan kali ini adalah Sempu. Yaa, Sempu masih sulit dijangkau untuk saat ini. Ada lagi, sowan dan bertemu sahabat terbaikku di SMK. She’s  Clara. Kangen sama bapak ibu di Bunul. Pengen nostalgia waktu jaman kita masih begajulan. Semoga ‘ini’ tidak menjadikanku semakin menjauh.

Senang punya 'saudara' dimana-mana. Really and from travelling with studying. 
*Terima kasih Tuhan*

16 Agustus 2012

Gading Night Carnaval Menjemput Satu Mimpiku

Sejak pertemuan langsung dengan karnaval tahunan di Jember itu, aku tak henti-hentinya mencari informasi tentang Jember Fashion Carnaval. Keinginan untuk bisa terjun langsung menjadi sangatlah besar pasca janji itu terucap di pinggir jalan, di run away fashion terbesar di Indonesia itu. Artikel demi artikel dan foto demi aku susuri. Hanya saja aku memang bukan tipe manusia fanatik sehingga aku tak sampai memajang foto-foto itu di dinding kamar asramaku layaknya anak-anak ABG yang memasang poster foto idolanya.

Tepat di bulan mei kemarin, aku mendapat celah untuk mendekatkan diri ke JFC. Senang sekali bisa mendapatkan kesempatan ini. Minggu pagi hari aku dipertemukan langsung dengan partikel of JFC. Agenda tersebut dilaksanakan di Esmood Jakarta. Setelah naik dua kali kopaja, aku pun sampai di lokasi yang kebetulan berada di daerah Fatmawati ini.  Ternyata aku tak sendiri, di aula tersebut sudah banyak anak muda yang juga memiliki interesting yang sama terhadap JFC. Aku datang dengan penuh kepercayaan diri. Apalagi aku pernah melihat secara langsung show mereka di kota kesayangan Mereka, Jember. Mayoritas yang datang hanya tahu JFC lewat media saja. Hatiku mengembang. Ini adalah agenda untuk menjadi volunteer JFC di beberapa event yang akan dilaksanakan oleh JFCnya. Baik itu di Jakarta ataupun di Jember. Pikirku, ini adalah cara yang paling efektif agar aku bisa menjadi talent suatu saat nanti. Yaa tidak masalah kalau sekarang harus jadi volunteer dulu yang penting suatu saat nanti mimpi itu bisa terwujud.

Hari itu adalah pertama kalinya bisa sharing secara langsung dengan founder JFC, Dynand Fariz. Sosok Dynand Fariz ternyata berbeda dari apa yang ada dalam benakku selama ini. Ia adalah laki-laki sederhana, yaa aku sangat suka dengan kesederhanaannya ini. Dari mataku, Ia seolah menjadi bapak yang sangat hangat untuk anak-anak multitalent bimbingannya. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri teguh dan penuh kharisma, membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan menghormatinya. Tak ada satupun yang memanggilnya bapak, cukup hanya dengan sapaan yang biasanya meluncur untuknya “mas Fariz” Yang lebih menjadi ciri khasnya adalah ia selalu mengenakan celana pendek selutut, kaos polo yang kerahnya dinaikkan ke atas, sepatu sporty, ada dua kalung yang selalu menempel di lehernya dan tentu saja rambutnya di stylis model jabrik. Ntah itu model apa, aku tak begitu paham. Gayanya yang menurutku juga sangat keibuan dan kalem. Jika Ia tersenyum, aku rasa senyumnya penuh misteri.

Siang itu mas Dynand Fariz menceritakan suka duka perjalannya sampai akhirnya JFC bisa terkenal seperti sekarang. Sedikit flashback, ketika dulu Ia masih kuliah, teman-temannya sering tidak tahu kota Jember. Dimana Jember itu? Pertanyaan itu yang sering muncul untuknya. Dari sinilah tekad bulat itu terpatri, Ia ingin menjadikan kotanya dikenal banyak orang. Dikenal karena prestasinya, bukan karena keburukannya. Ia bercerita dengan penuh semangat bagaimana perjuangannya mendirikan wadah bagi anak-anak muda Jember yang idealis dengan fashion dan karnaval ini. Mas Dynand Fariz merintis semuanya dari nol. Berbagai terpaan diterimanya dengan hati lapang dan diteruskan dengan usaha yang gigih untuk mewujudkan mimpinya. Tentunya JFC yang saat ini Anda lihat berbeda dengan 10 tahun lalu. Ada proses panjang yang harus dilaluinya yang menjadikannya sekarang ‘kaya’ dan aku pun bisa berkata bahwa mas Dynand Fariz memang sosok yang luar biasa. Dengan background pendidikan yang dimilikinya, Ia senantiasa membimbing anak-anak yang ingin mengikuti JFC. Tidak ada sedikitpun biaya yang harus dibayar. Ia mampu menjadikan anak-anak Jember menjadi manusia-manusia kreatif sepertinya. Berlenggak-lenggok di catwalk dengan penuh pesona dan kepercayaan diri utuh atas kostum yang mereka buat sendiri.

Sedikit info, talents JFC bukanlah model sungguhan. Mereka hanya anak muda biasa, yang tak memiliki pendidikan khusus modelling. Namun, secara kemampuan mereka bisa disandingkan dengan model nasional bahkan internasional. Banyak keunikan yang membuatnya berbeda. Talents yang masuk ke JFC tidak melalui seleksi khusus mengenai tinggi dan berat badan layaknya model sungguhan yang kita tahu. Semuanya bisa ikut asalkan ada kemauan dan loyalitas tinggi. Anak SMP, SMA, Perguruan Tinggi, mereka yang sudah bekerja dan yang sudah berumah tangga pun banyak yang ikut berpartisipasi. Keunikan lainnya, kostum yang akan mereka pakai adalah kostum yang mereka rancang sendiri. Di desain sendiri dan dikerjakan sendiri. Tentu saja dengan biaya independent. Disini aku akan mengambil kesimpulan, jika tak memiliki passion dan minat yang super jangan sekali-kali mengikuti pola JFC. Pasalnya biaya yang digunakan untuk membuat satu kostum bisa jutaan rupiah. Dulu aku sempat bergumam “Gila. Apa-apaan ini. Untuk apa mereka buat kostum segede dan seribetnya. Apalagi, mungkin kostum itu hanya dipakai sekali saat showtime tiba. Nggak sayang uang apa yaa” tapi itu dulu, tentunya sebelum passionku meninggi. Jadi kalau ingin ikut JFC dipikir-pikir dulu yang matang yaa. Kalau orang yang nggak ada passion di bidang itu mungkin bisa gila sungguhan buat kostumnya. Pola bermake up para talent juga memiliki ciri khas ala JFC yaitu make up karakter sesuai dengan defile yang mereka bawakan. Ini menjadikan wajah lebih hidup, tidak sekadar cantik.

Dari penjelasan mas Dynand Fariz aku tahu satu hal lagi. Keunikan JFC di kalangan internasional adalah JFC bisa menggabungkan dua unsur sekaligus dalam satu waktu performance. Fashion dan Carnaval. Negara lain biasanya hanya unggul dan fokus di satu titik saja, seperti Prancis dan Itali yang terkenal dengan fashionnya. Trinidad & Tobago yang menjadi pelopor karnaval dan bahkan menjadi kota karnaval dunia. Melebihi itu semua, Jember, dari sudut kota di Jawa Timur mampu menggabungkan keduanya. Perpaduan antara fashion dan karnaval yang dikolaborasi dengan cantik. Untuk itu juga JFC mendapat prestasi kembali dari dunia internasional menjadi urutan ke-4 kota karnaval di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil dan Jerman. Fantastic !!!

Hatiku terasa bergejolak ketika melihat video-video JFC  yang diputarkan oleh tim kreatif. Itu adalah video dokumenter beberapa event JFC baik di Indonesia maupun di luar negeri. Melihat hasil kerja sineas tersebut, rasa nasionalismeku tiba membuncah. Bulu kudukku langsung berdiri ketika melihat bendera Indonesia berkibar dengan gagah di London. Apa yang dilakukan JFC bukan hanya menjadikan Jember dikenal banyak orang, tapi Indonesia secara keseluruhan. JFC ingin membawa nama harus negeri ini ke manusia dibelahan bumi lainnya. Hal itu bisa dan akan terus mereka lakukan. Sineas yang memproduksi video tersebut juga hebat aku rasa. Kolaborasi antara video, backsound lagu dan dubbernya bisa membuat perasaan yang ntah itu lebih disebut apa. Yang jelas kami yang melihat semakin mencintai Indonesia. Kami, audiences terharu dengan tayangan itu.

***

Event pertama yang aku ikuti, Gading Night Carnaval. Waktu itu hanya 4 orang yang terpilih sebagai volunteer baru. Aku dan mas dondik dari Universitas Paramadina serta Sizi dan Doni, temanku dari Universitas Indonesia. Jumat sore sepulang kuliah aku berangkat menuju Kelapa Gading bersama mas Dondik. Aku tak mempersiapkan diri penuh rupanya karena aku lupa jika ini weekend. Pasti akan terjadi kemacetan parah dimana-dimana dan kami tak mempersiapkan hal itu. Kami malah berangkat mepet waktu. Kami memilih rute dari Universitas Paramadina menuju Cawang. Mayoritas pasti tahu bahwa itu adalah salah satu rute busway termacet di Jakarta. Setelah menunggu antrian panjang sekitar satu jam, kami pun naik. Berdesak-desakan dengan para karyawan yang pulang kerja. Sampai di titik yang kami tuju, busway malah berhenti beroperasi. Saat itu ada kemacetan parah sehingga puluhan busway yang menuju Cawang tertunda kedatangannya. Kami bingung seketika karena jadwal yang diagendakan untuk volunteer adalah pukul 20.00 di Kelapa Gading. Ini adalah pertemuan pertama kami sehingga kami tidak ingin telat walau hanya satu menit.

Kami mencari jalan alternatif menuju lokasi dengan menggunakan angkot. Dari koridor Cawang, kami keluar dan naik angkot berwarna biru ke arah Pluit. Kemudian transit satu kali lagi. Sampailah kami di daerah Kelapa Gading. Aku kira, ancer-ancer Kelapa Gading yang diberikan panitia sudah cukup menjadi kompas penunjuk jalan. Ternyata Kelapa Gading itu sangat luas. Kami harus mencari titik-titik yang lebih spesifik, yaitu di belakang Hotel Haris. Itu tempat berkumpulnya para volunteer. Maklum saja, meski tinggal di Jakarta beberapa tahun, sekalipun aku tak pernah ke daerah ini. Mau ngapain kesini? Jauh lagi. Aku merasa tak punya kepentingan apapun di daerah Kelapa Gading sehingga aku tak pernah menginjakkan kaki disini. Sebenarnya disini adalah surganya bagi para shopaholic. Namun, aku bukanlah bagian darinya.

Akhirnya kami tiba disana. Ku jelaskan kepada tim managemen yang menyambut kami bahwa kami tidak tahu arah menuju lokasi. Nyasar. Mereka pun memaklumi. Kesan pertama yang kudapat, mereka ramah terhadap orang baru. Kami mulai berkenalan satu sama lain. Melihat-melihat printilan kostum yang terpajang rapi di luar ruangan. Beberapa jam kemudian, aku mengikuti agenda briefing untuk para talent dan personil drumband. 15’ lagi akan dilakukan gladhi bersih di titik run way. Nah, disinilah aku mulai bertanya-tanya. Gladhi bersih jam satu malam. Bayangkan saja. Dengan memakai sayap kostum yang super gede, mereka harus melakukan gladhi bersih di sepanjang titik. Aku mulai terheran-heran. Biasanya jam segini adalah moment tidur pulas. Istirahat untuk mengumpulkan energi karena esok siang perform yang sesungguhnya akan dimulai. Tapi tidak dengan JFC. Mereka melakukannya dengan sangat profesional. Meski aku melihat banyak talent yang sebenarnya merasa capek tapi mereka tetap melakukannya dengan semangat.

Gladhi bersih selesai pukul 05.00 pagi. Semua sudah terlihat loyo karena kecapekan dan tentu saja kurang tidur. Kami harus kembali ke hotel memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk ngecharge energi. Tiba di hotel pukul 06.00 dan jam 09.00 kami harus standby di dining room untuk breakfast. Melebihi dari jam itu, kami tak kebagian jatah makan. Tampak muka ngantuk dan sisa-sisa lemas di tubuh para talent dan personil drumbandnnya. Setelah makan pagi ini, mereka harus bersiap-siap membersihkan diri dan make up. Menunggu giliran mereka make up, tak ada yang bisa ku lakukan untuk membantu mereka. Make up dilakukan secara independent dan tidak membutuhkan bantuan volunteer. Aku pun keluar ruangan.
para peserta lomba fashion Gading Night Carnaval
Di luar juga tak kalah rame. Rupanya ada lomba fashion ala Gading Night Carnaval. Banyak peserta disana. Dan dilihat dari model baju-baju mereka sebenarnya itu terinspirasi dari JFC. Tidak akan tidak. Detail kostumnya juga menyimpan banyak keindahan. Mas Dynand Fariz menjadi salah satu jurinya.
saat grand juri
Dynand Fariz yang mengenakan polo shirt hijau
she's beautiful
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu warga Jakarta sore itu. Para talent sudah menghiasi wajah mereka dengan baluran make up tebal, karasteristik dan penuh pesona. Selanjutnya, mereka akan mengenakan kostum mereka satu per satu. Inilah letupan pertama dalam hati. Aku bisa melihat kostum-kostum JFC itu dengan mata dekat. Waw, it’s awesome. Jika satu tahun yang lalu aku sudah dikejutkan dengan melihat face to face JFC di Jember sekarang dikejutkan kembali dengan kostum-kostum fantastic yang ada di depan mata. Peranan volunteer segera dimulai. Kami membantu para talent untuk memakai kostum tersebut. Baru ku tahu jika kostum itu terdiri dari beberapa unsur. Topi, atasan, bawahan, deker, belt, sayap dan beberapa tambahan aksesoris lainnya. Sayaplah yang paling banyak memakan tempat. Kostum itu juga di rangkai ulang alias bisa dicomot-comot. Luar biasa.
Karina, she's very smart
creative talent, Livo Gery Wijaya
Setelah semua bagian menempel di badan, barulah mereka mencoba berjalan sekilas. Itu dimaksudkan apakah kostum itu sudah nyaman. Jika belum, maka akan dibenahi sehingga saat run way nanti mereka akan menikmatinya. Tidak bingung dengan kostumnya saja. Rasanya semua mata tertuju pada karnaval fashion terbesar di Indonesia ini. Seperti di Jember, audiences juga sangat antusias untuk mendokumentasikan makhluk cantik luar biasa ini. Apalagi saat itu adalah malam minggu, sudah pasti penonton akan penuh sesak.
Ivan Vanani & Ayundavira Intan, master of talent JFC
aku bersama vo yang lainnya
Performance ini selesai malam hari. Rasanya terbayar lunas kerja keras mereka selama mempersiapkan show akbar ini. Setelah kembali ke base camp, muka mereka tak ada sedikitpun yang kecut. Semuanya sumringah. Mungkin yang mereka rasakan saat itu adalah kelegaan bisa menghibur warga ibukota yang datang untuk menyaksikan. Seperti biasa, ini juga menjadi bagian yang paling dinanti-nanti oleh para personil JFC. Evaluasi langsung bersama mas Dynand Fariz. Evaluasi ini menjadi agenda penting untuk mengetahui sejauh apa perform yang mereka lakukan. Hambatan dan kesan-kesan apa yang mereka dapatkan saat show. Karena ternyata yang ikut show ini bukanlah talent yang dipakai secara permanen tetapi ada yang baru saja bergabung di event ini. Ada rasa haru saat beberapa talent mengungkapkan isi hatinya. Tak jarang juga mereka yang bercerita, meluapkan semua perasaan kepada mas Dynand Fariz dengan tetesan air mata bahagia. Moment ini sungguh hangat. Kembali memancarkan aura kebapakannya, mas Dynand Fariz menjadi pengayom makhluk-makhluk dibalik ketenaran Jember Fashion Carnaval. Semoga mas Dynand Fariz senantiasa diberi kesehatan olehNya untuk melanjutkan misi-misi mulianya ini.

*Senang sekali bisa menjadi bagian dari Jember Fashion Carnaval*

9 Agustus 2012

Ada Dewi Fortuna Di Pasar Anak Negeri

Belum menginjak usia satu minggu pasca grand launching, kini Kereta Dongeng kembali memiliki hajatan penting. Satu sms di ponsel mengabarkan bahwa siang itu kami harus ke Tebet untuk briefing. Aku masih sedikit bingung. Briefing untuk apa lagi. Dan setelah datang ke lokasi, tentu saja ini adalah kabar baik untuk Kereta Dongeng. Kami diundang untuk pameran di Pasar Anak Negeri. Tepat di Istora Senayan, 27-29 Juli 2012. Berdegup rasa syukur menyelimuti kegembiraan, aku yakin ini bukan kebetulan. Rasanya bergemuruh rasa senang. Belum genap satu minggu grand launching Kereta Dongeng itu digelar. Buku dongeng “Trimbil, Ayo Bangun!” terbit. Akhirnya satu mimpi yang ku tulis dalam moadboard bisa ku coret. Kereta Dongeng. Dan petang ini senja membawa keindahan tersendiri untukku dan Kereta Dongeng. Hal ini semakin membuatku tersenyum haru. Lagi dan lagi. Ibarat menemukan gula yang kemudian ditambah lagi, menemukan manisnya madu. Rasa syukur itu senantiasa bertambah. Ingin sekali ku ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang sudah membantu. Lidah terasa kelu sehingga keinginan itu hanya terucap lewat doa-doa malamku. Kesenangan ini harus dilengkapi kerja keras nan cerdas. Pameran akbar ini pun harus kami persiapkan dengan matang.

Setelah briefing itu selesai kami segera melakukan meeting kecil untuk koordinasi. Persiapannya tidak terlalu rumit karena pihak penyelenggara sudah mempersiapkan semuanya untuk tim kami dan beberapa tim lain. Kami hanya perlu membawa dagangan kami saja. Yang lain sudah diuruskan. Pameran Pasar Anak Negeri adalah pameran produk UKM yang menyebar di pelosok nusantara. Pesertanya merupakan pengusaha-pengusaha yang sengaja datang dari berbagai kota di Indonesia. Jumat malam itu adalah technical meeting di Istora. Kami pun segera tahu titik lokasi yang akan menjadi stand kami.

Pikiran awal kami hanyalah, ini kesempatan emas. Kereta Dongeng bisa promosi disini. Istilah konvesionalnya adalah mencari nama dulu. Jumat pagi kami datang dengan penuh semangat. Stand-stand yang semalam kosong kini sudah berpenghuni. Mulai dari aneka produk kuliner, fashion, aksesoris, craft sampai jasa ada di pameran yang bersuasana biru ini. Rupanya Kereta Dongeng sedikit berbeda dengan tim yang ‘setara’ dengan kami. Kami mendapat stand khusus di hall Istora Senayan, tepat di stand 54. Akhirnya aku mulai  bertanya dalam hati mengapa dibedakan? apakah perbedaan ini baik atau justru buruk untuk kami?  Jawabannya Cuma satu, tetap semangat untuk apapun yang terjadi. Pasti ada sejuta kebaikan di dalamnya. Kami tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami pun mulai menata produk Kereta Dongeng, yang tentu saja sangat berbeda dengan hamparan produk yang ada di sekeliling kami. Buku dongeng. Itu produk unggulan sehingga kami pun mendapat tempat yang sedikit lebih istimewa dibandingkan tim ‘setara’ yang lain. Kata mentor tim kami ”produk makanan sudah membanjiri pameran ini, produk kalianlah yang unik”

Menuju sore hari, hall tersebut semakin penuh sesak oleh pengunjung. Berbeda dengan pagi hari yang lebih terlihat sepi. Pemilihan waktu pameran menurutku juga sangat membantu. Weekend menjadikan pengunjung lebih ramai untuk sekedar jalan-jalan atau sengaja ingin mengunjungi dan membeli produk yang ditawarkan oleh pameran skala nasional ini. Saat itu, tiba-tiba saja langsung terbesit sedikit penyesalan. Kenapa tidak mencetak dalam jumlah yang lebih banyak. Kalau saja invitation pameran ini dikabarkan seminggu sebelumnya, tepatnya sebelum kami mencetak buku, pasti kami akan mencetak lebih banyak. Pikirku. Stok buku diperbanyak meski aku sendiri belum tahu dengan cara apa lagi. Pasalnya modal kami sudah kandas untuk cetakan pertama. Rupanya nasi telah menjadi bubur. Menyesal tentu tidak ada gunanya. Manuver pola berfikir pun terjadi. Bagaimana caranya stok buku dongeng yang tersisa bisa habis di pameran ini. Kereta Dongeng lebih menggema namanya. Hanya itu.

Kebetulan stok yang tersisa hari itu sekitar 70 buku. Padahal pembukaan pameran baru dilakukan besok, sabtu sore. Kami optimis bahwa usaha di titik ini akan berhasil. Berbekal kartu nama, buku dongeng, Xbanner dan stiker, stand Kereta Dongeng ramai. Ada yang sekedar melirik, menanyakan dan tidak jarang juga yang langsung membeli. Buku dongeng ini dipatok harga Rp 25.000/item. Target audiences Kereta Dongeng saat itu tepat sasaran karena yang datang ke pameran mayoritas ibu atau bapak yang tentunya memiliki buah hati di rumah. Dengan penuh senyum riang dan semangat, aku mempromosikan karya terbaik kami.

Pasar Anak Negeri ini memang menunjukkan keberagaman Indonesia dalam hal produk lokal. Di sekeliling stand Kereta Dongeng ada produk kuliner dari Pacitan dan Blitar, fashion dan craft dari Jakarta dan tepat di belakang kami adalah stand yang menjual kain batik tulis asal Jawa Tengah. Kembali menemukan tempat teduh ketika banyak manusia berkumpul disini, dari latar belakang yang berbeda, logat dan budaya yang juga berbeda. Indonesia lebih baik, itu satu tujuannya. Dari sudut tempat dudukku, ntah kenapa selalu ada yang ingin dilihat dari stand UKM Mentari Blitar. Ku telusuri lebih lanjut. Aku pun ingat, Blitar pernah menjadi kota romantismeku dulu. Selain itu, ada yang terasa eyecatching. Tiwul dan gatot instan. Hatiku akan selalu bergemuruh ketika melihat dua jajanan semi tradisional ini. Langit biru yang dulu memperkenalkannya padaku waktu kami travelling ke Blitar. Tidak heran karena kalau soal kuliner, bisa dibilang Ia adalah rajanya selera. Sempat ingin membeli tapi kesempatan itu tak ada. Kebahagiaan sore itu menjadi lebih teduh karena kenangan kecil itu. Sekejap ingin rasanya Ia hadir disini, menyaksikan apa yang dari dulu selalu Ia support bisa terealisasi. Terima kasih yaa.

            Menjelang waktu berbuka rombongan Ir. Hatta Rajasa datang dengan penuh semarak. Beliau berkeliling hall untuk melihat pameran tersebut dan mengecek produk-produk yang dipamerkan dan juga menyapa orang yang berjaga di balik stand-stand mungil itu. Menteri perekonomian ini juga sempat memberikan sambutan kecil bahwa perekonomian Indonesia harus terus dimajukan, salah satunya dengan memunculkan dan membina UKM-UKM dan pengusaha-pengusaha muda layaknya kami saat ini. Flash kameran dan bunyi jepretannya semakin menjadikan suasana lebih hidup. Banyak pengawal yang berjaga di sisi-sisi beliau. Tumpah ruah pengunjung mengikuti jalannya orang tersohor di negeri ini. Dan momen itu datang juga. Aku sedikit gugup ketika harus berbincang dengan beliau. Menjawab pertanyaan-pertanyaan singkatnya membuatku seperti bukan Ika yang sesungguhnya. Ini bukan gugup karena bertemu orang penting tapi lebih kepada soal kesiapan Kereta Dongeng di hadap putih yang juga menjadi cendekiawan yang dimiliki bangsa ini. Setelah tanya jawab yang penuh keakraban, beliau sempet bilang kepada rombongannya bahwa produk buku dongeng kami sangat bagus. Ini adalah produk kreatif untuk mencerdaskan anak bangsa. Ditanya stoknya tinggal berapa, aku pun menjawab dengan asal-asalan. Akhirnya sore itu Ir. Hatta Rajasa memborong lebih dari 50% produk kami. Stafnya langsung membayar dalam jumlah besar dan berdalih bahwa buku ini akan dibagikan ke anak-anak di sekitarnya. Alhamdulillah, ilmu itu tersebar.

            Hari kedua pameran berjalan mulus sesuai bayangan. Kami berdampingan dengan produk Jarichata, Juragan Jamur, Dents, Abon lele Srikandi. Jika menjelang berbuka, stand akan selalu dipenuhi pengunjung yang memesan produk es jago. Es itu memang enak, murah dan juga higienis. Berbahan buah segar, susu, fanta, sirup. Semua langsung jatuh hati kepada es segar itu. Kami pun membantu si empunya dalam memenuhi pesanan. Meraciknya satu per satu. Luar biasa, anak Indonesia (memang) kreatif pikirku. Setiap hari pameran yang dimulai jam 10.00 – 20.00 ini ini semakin seru. Sebelum beres-beres pulang, aku bersama teman-temanku menghitung omset penjualan. Hari itu satu lagi yang ku tahu. Jadi pengusaha itu seperti ini awalnya.

            Inilah hari terakhir pameran kreatif. Banyak hiburan dan artis kondang ikut meramaikan. Juga hadiah yang dibagi-bagikan ke pengujung serta berbagai jenis perlombaan digelar hari itu. Harapanku semoga tahun depan acara yang sangat bermanfaat ini kembali diselenggarakan. Satu lagi yang ku tunggu-tunggu bersama Kereta Dongeng. Hari ini ternyata menjadi momen khusus untuk pembagian modal. Modal sebesar Rp 5.000.000 untuk Kereta Dongeng dan beberapa tim lain yang lolos verifikasi dari lomba Wirausaha Mapan. Ah, senangnya. Tuhan memberikan banyak keberuntungan bagi kami lewat Pasar Anak Negeri. Hari itu juga buku dongeng “Trimbil, Ayo Bangun!” sold out. Tak ada yang tersisa. Hari-hari terasa warna orange. Warna yang menjadi filosofisku ketika aku senang tak kepalang. Itu berlaku untuk semua hal. Tak heran kan jika Kereta Dongeng juga didominasi warna orange. Terima kasih orange. Terima kasih untukMu pencipta, membuatku semakin mencintai pekerjaan ini. Membuatku terus belajar, belajar dan belajar. Terus menebarkan ilmu pengetahuan kepada sesama, seperti komitmen yang aku buat bersama langit biru dulu.

6 Agustus 2012

Langit Biru Membawaku Bertemu Jember Fashion Carnaval


Ceritanya, ini adalah kali pertama bagiku bisa join di Jember Fashion Carnaval. Senang sekali rasanya. Really. Setahun belakangan ini aku memang menggandrungi sesuatu yang sering disebut orang dengan JFC ini. Tentunya bukan tiba-tiba jika sekarang aku menjadi bagian darinya. Everything happens for a reason. Akan ku ceritakan sedikit flashback mengapa dan ada apa di balik JFC.  Sampai-sampai beberapa teman terdekatku pernah bilang bahwa aku seperti ‘tergila-gila’ dengan pelopor karnaval di Indonesia ini.
***

Berawal dari langit biru, passion ini dibangunkan. Juni 2011, kami travelling dari Malang, Banyuwangi, Bali dan akhirnya berakhir di sebuah kota singgahnya, Jember. Tak akan mengira jika sekarang aku seperti ditempeli magnet alam dengan kota ini. Pertama kali menginjakkan kaki di Jember adalah ketika kami usai dari Bali. Berangkat dari terminal Ubung, Denpasar. Tepat pukul 03.00 dini hari kami tiba. Aku masih ingat, kami turun di Gladak Kembar. Yaa, itulah ingatan pertama yang akan aku sebutkan ketika ke Jember. Pagi itu, Ia sengaja mengajakku untuk sarapan di warung tenda yang sepertinya memang dibuka sejak tengah malam. Dengan senyuman, aku cukup melihatnya makan dengan lahap. Jujur saja itu terlalu pagi untuk sarapan dalam agenda pagiku. Aku menghangatkan badanku dengan teh manis di sebelahnya. Aku akhirnya sampai di kota Jember yang selalu Ia puja-puja.

Waktu itu aku memperkirakan bahwa Jember sedang memasuki musim dingin. Itu pun menurutku musiman karena dingin bekunya hanya di malam hari. Menginjak siang hari, panasnya tak ketulungan. Tak seperti Jakarta, panas di Jember sangat mirip dengan Bali. Sangat menggigit kulit. Usai sarapan,  kami bergegas menuju kos temannya untuk istirahat sejenak. Sebelum meninggalkan warung itu, dengan gayanya yang khas Ia bilang  “makanan disini itu mantap jaya. Selalu cepat habis saking larisnya” Melewati jalan Sumatra, kami menuju perumahan mastrip menggunakan jasa ojek. Pantas saja, itu masih sangat pagi sehingga tidak ada angkot yang beroperasi. 15’ kemudian kami sampai. Rupanya langit biru harus menggedor-gedor pintu kosan karena temannya masih sembunyi dibalik dinginnya hawa. Tidur pulas.

Momen ini adalah kali pertama aku benar-benar dipertemukan dengan satu per satu teman langit biru. Yaa meski yang satu ini masih terlihat ngantuk, tapi dia sangat welcome terhadapku. Ia menyuruhku istirahat sebelum akhirnya melihat perhelatan akbar kota Jember nanti siang. Jember Fashion Carnaval X. Akhirnya. Sebenarnya agenda utama yang sudah kami rencanakan beberapa bulan sebelumnya memang untuk melihat langsung JFC di kotanya, bukannya travelling ke Bali. Namun, seiring berjalannya waktu agenda itu luntur oleh romantisme Bali. Untung saja langit biru mengingatkanku bahwa tujuan awal adalah Jember. Ok, aku siap sekarang.

Pukul 10.00 aku diajak berkumpul bersama teman-temannya. Teman-teman yang sebelumnya sudah diperkenalkan via twitter dan facebook oleh langit biru. Sebenarnya kami pun sudah saling akrab, sungguh tak asing ketika melihat mereka. Berbagai sapaan untukku mulai terdengar langsung ditelinga siang itu. Bude. Bu ani. Dan yang paling sering muncul dari mereka adalah kalimat semacam ini “Oo, ini toh orangnya” aku sedikit tahu maksudnya. Kami pun berkenalan secara face to face. Suasana lebih mencair karena seperti dugaanku, mereka orang yanag sangat humoris. They’re nice people that I’ve ever meet. Hati mulai mengembang. Sebelum menuju alun-alun kota Jember, kami menyempatkan diri untuk breaklunch di sekitar Unej. Gudeg dan ayam bakar menjadi pilihan yang tepat bagi 6 orang yang sedang lapar.

Siang itu akhirnya aku menyaksikan sendiri sesuatu yang dimataku menjadi spektakuler. Dari kampus Unej langit biru mencari jalan alternatif menuju alun-alun. Jalanan sudah sangat ramai. Angkot sudah offline. Ribuan manusia ada disini. Prediksiku, semua warga Jember sedang meluncur ke tempat ini, ikut menyaksikan acara tahunan terbesar kota Jember ini. More than crowded i think. Yang selalu menjadi kenangan manis adalah untuk menuju alun-alun itu, kami harus melewati rel kereta api. Hampir mirip jembatan gantung. Dan kami melewatinya berdua. Kami sepakat momen itu dibilang romantis.

Sepanjang jalan aku gembira tak terkira melihat run away dan para model yang tumpah ruah di jalanan dengan kostum unik mereka. Ratusan model ada disini. Bermacam-macam kostum dengan temanya masing-masing. Dan aku baru tahu kalau penggolongan tema di JFC itu disebut defile. Mulai dari yang kecil sampai yang tua ikut menjadi talentnya. Semua menyunggingkan senyuman lebar kepada audiencesnya. Seperti model yang sudah terlatih. Peran yang mereka lakukan benar-benar all out dengan tambahan karakter yang mereka mainkan. Saat itu aku hanya berpikir “bagaimana bisa mereka melakukan semua ini” Kostum yang mereka kenakan bukan hanya unik tapi juga sangat memakan volume. Kok bisa kuat yaa bawanya. Dulu aku juga pernah melakukan parade kostum dan budaya ketika di Polandia, tapi itu hanya kostum tarian tradisional yang bisa dibilang ringan. Meski memakainya kadang sangat rumit. Aku benar-benar masih heran, di tengah siang yang sangat terik ini mereka melakukan ini semua. Untuk apa? Setelah itu aku mendengar kasak kusuk bahwa kostum itu dibuat sendiri dan dengan modal sendiri. What is it? Habis berapa ya? Kembali berputar pemikiran-pemikiran itu di kepalaku. Gila. Benar-benar menakjubkan. Catatan khusus, make up yang mereka pakai adalah make up karakter sehingga muka para talent itu serasa lebih hidup. Dipenuhi permata kecil menjadikanku tak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.

Langit biru dan teman-temannya sempat kegirangan saat salah seorang talent berjalan di depan mereka. Mereka mencoba menggoda gadis cantik itu. Diceritakannya bahwa dia adalah adik angkatannya di kampus. Waw, aku langsung berpikir mungkin ini jalannya. Ntah itu jalan apa yang ku maksud. Aku memintanya untuk mempertemukanku dengan gadis mungil itu, yang memang sebelumnya sudah ku kenal. Ia juga pernah berkunjung ke Malang bersama rombongan langit biru di bulan mei lalu.

Rupanya kami berpencar. Setelah berjalan di sepanjang run away tersebut, ternyata yang tersisa hanya tinggal aku dan dia. Rasa senang, kasihan, terharu bercampu menjadi satu. Sesekali aku melihat langit biru di belakang, tak lagi menemaniku di samping. Semakin jauh perjalanan, ia lebih menunggu di belakang. Aku tahu dia lelah harus mengikuti kegiranganku ini. Aku cukup maklum. Pasalnya kami tidak statis menonton karnaval ini melainkan berusaha mengikuti jalannya para talent ke arah GOR. Anehnya, semakin lama raut mukanya juga semakin menciut. Aku baru ingat, sebelum berangkat ke Jember dia pernah bercerita. Meski tinggal di Jember beberapa tahun, Ia belum pernah melihat JFC dengan alasan keramaian yang dimuntahkan jalanan kota Jember membuatnya tak nyaman. Nah, kali ini tentunya menjadi hal yang pertama untuknya. Satu lagi kegiranganku datang.

Aku rasa kegiatan ini membawa begitu banyak manfaat. Selain manfaat yang diperoleh para talent dan JFC tentunya. Jelas sekali bahwa banyak perputaran kegiatan ekonomi dilakukan disitu. Banyak orang yang berjualan dengan beraneka ragam dagangan. Penonton yang memadati jalanan menjadi objek yang dituju sebagai pembeli. Mulai dari minuman, payung, makanan, topi, souvenir dan lain sebagainya. Acara ini menjadi acara hiburan gratis bagi warga. Banyak yang menyaksikan bersama keluarga lengkapnya, ibu ayah dan anaknya. Semuanya memancarkan senyum senang. Tukang parkir juga ikut merayakan kemenangan ini. Belum lagi toko-toko di areal Pasar Tanjung yang menjual berbagai macam bahan untuk kostum mereka. Rasanya kota Jember saat itu memanen. Hotel dan penginapan juga full booked saat JFC digelar. Peminat acara ini bukan hanya warga Jember tetapi berbagai penonton yang datang dari Madura, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dll. Dan  jangan salah, banyak turis yang juga meramaikan kota Jember saat itu. Hampir semua yang melihat selalu menenteng kamera masing-masing. Mulai dari kamera HP, Pocket maupun DSLR.

Menjelang sore performance mereka masih berlangsung. Sejak saat itu, aku mengutuk dalam hati. Aku harus bisa menjadi bagian dari JFC. Ntah kapan waktu itu menunjukkannya padaku. Tekadku sudah bulat. Apalagi melihat JFC sebagai fenomena budaya dimana topik ini akan selalu berbusa-busa untuk ku bahas dan ku pelajari. Really love it. Dalam satu hari, JFC bisa mengumpulkan ribuan manusia dari berbagai kota untuk datang. Melihat mereka berinteraksi menjadi pemandangan orange bagiku. Culture yang ia persembahkan juga tak kalah penting. Kostum yang mereka buat adalah bagian dari culture yang sangat fantastic dan perlu dipelajari lebih dalam. Aku ingin tahu seperti apa rasanya. I’m in Jember Fashion Carnaval.

Esoknya, aku diajak ke rumah adik angkatan yang sudah disebutkan di awal tadi. Kami mengunjungi rumahnya ramai-ramai. Aku sharing dengannya mengenai beberapa beberapa hal JFC. Dia pun antusias dalam bercerita. Dan diujung pembicaraan, aku sengaja untuk meminjam kostumnya. Aku benar-benar ingin mencobanya. Tentu saja dia mengizinkan. Mulailah dipasangkan satu per satu bagian kostum Athena itu. Sampai semua terangkai menjadi satu kesempurnaan kostum yang didominasi warna kuning keemasan. Sayangnya dokumentasi foto itu lenyap. Ibarat tamu agung, semua teman-teman menyaksikanku dengan penuh keheranan. Mereka yang sudah lama stay di Jember saja tidak terlalu interest dan tidak seheboh ini dengan JFC. Justru aku yang baru menginjakkan kaki disini langsung jatuh hati. Kali ini Jember benar-benar membuatku tersenyum lebar.