22 April 2012

Ki Hadjar Dewantara: Pergerakan Nasional Lewat Pendidikan dan Kebudayaan

Bapak pendidikan Indonesia yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini merupakan keturunan dari keluarga keraton Yogyakarta. Namanya berganti menjadi Ki Hadjar Dewantara saat usianya genap 40 tahun. Gelar kebangsawanannya tidak lagi dipakai dengan maksud agar ia lebih dekat dengan rakyat baik secara psikis maupun fisik. Perjalanan hidupnya dipenuhi dengan pengabdian dan perjuangan untuk bangsa Indonesia. Beliau merupakan salah satu perintis dunia pendidikan di Indonesia sehingga tanggal lahirnya (2 Mei 1889) selalu diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Beliau dianugrahi sebagai pahlawan nasional, bapak pendidikan Indonesia sekaligus mendapat gelar doktor honoriscausa dari universitas Gadjah Mada. 

Beliau menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) kemudian melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tetapi tidak sampai lulus karena faktor kesehatan. Ia bekerja sebagai wartawan muda di beberapa surat kabar dan juga aktif dalam organisasi sosial politik. Tulisannya dikenal sangat komunikatif, kritis dan patriotik sehingga mampu menggugah semangat antikolonial pembacanya. 

Tahun 1908, ia aktif di Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian pada tanggal 25 desember 1912, ia bersama Douwes Dekker dan dr. Ciptomangunkoesoemo mendirikan Indische Partij dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka. Indische Partij merupakan partai politik pertama yang beralirkan nasionalisme. Keberadaannya pun ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia sehingga kesatuan dapat ddigerakkan untuk menentang pemerintah kolonial. Pada November 1913, Ki Hadjar Dewantara bergabung membentuk Komite Bumipoetra. Komite ini menjadi tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Sehubungan dengan perayaan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis, kolonial Belanda menarik uang dari rakyat jelata untuk membiayai pesta tersebut. Komite Bumipoetra melewati Ki Hadjar Dewantara segera melakukan kritisi. Melalui tulisannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) ia mengkritik untuk apa pesta pora diadakan jika itu menyusahkan rakyat Indonesia. Tulisan itu dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.

Akibat tulisannya yang pedas itu, ia dijatuhi hukuman dari pemerintah kolonial Belanda tanpa proses pengadilan. Hukumannya berupa hukuman internering (hukum buang). Pulau Bangka adalah sasaran tempatnya. Douwes Dekker dan dr. Ciptomangoenkoesoemo meras rekan seperjuangannya diperlakukan tidak adil sehingga mereka menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara. Tulisan itu juga dianggap sebagai instrumen yang bisa membangkitkan nasionalisme untuk memberontak pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya keduanya juga menerima hukuman internering, Douwes Dekker ke Kupang dan dr. Ciptomangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun, mereka menghendaki dibuang ke Belanda dengan alasan disana mereka dapat mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Sebagai pelaksanaan hukuman, pada agustus 1912 mereka diizinkan ke Belanda oleh pemerintah kolonial.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Tahun 1918, ia kembali ke tanah air dan mengabdi penuh untuk pendidikan. Pendidikan dianggapnya sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan. Tidak lama setelah itu, Ki Hadjar Dewantara dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa) tanggal 3 juli 1922. Pendidikan ini menekankan kepada peserta didik agar mencintai bangsa dan tanah air serta berjuang untuk merdeka. Ia pun masih aktif menulis, tetapi temanya beralih ke nuansa pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah ia berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Beralih ke pendudukan Jepang pada tahun 1943, Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai pimpinan disamping Ir. Soekarno, Drs. Hatta dan KH. Mas Mansur di Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Setelah zaman kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pertama di Indonesia. Selain ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan bapak pendidikan, ia juga ditetapkan sebagai pahlawan pergerakan nasional. Ajarannya yang terkenal adalah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa) dan ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan yang baik). Bahkan semoyan itu sampai saat ini menjadi slogan kementrian pendidikan nasional Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar