12 April 2012

Me'nyepi' di Bali

Semester 6 telah dilalui uts yang begitu singkat bergeliat. Aku bersama kawan yang lain ikut terpacu menyelesaikannya dengan benar, tentunya dalam waktu yang begitu singkat. Hari terakhir uts aku lewati dengan rasa khawatir sekaligus menyenangkan, setelah semalaman begadang di asrama putra fellowship. Agenda di hari terakhir uts ini adalah dengan mengumpulkan softcopy hasil ujian mata kuliah Animasi dan Desain Multimedia. Yaa, semuanya selesai digarap dengan perasaan “ayo cepat, ayo cepat. Keburu ketinggalan kereta ke Malang”

Aku memang sudah membuat agenda ini sejak bulan juli lalu, ketika aku ke Bali. Aku harus kembali kesini di nyepi tahun depan. Itu bisikku dalam hati. Seperti biasa, perjalanan pulang aku tempuh dengan kereta api bersama mas Dondik dan Oim.  Aku memutuskan untuk ke Malang terlebih dahulu untuk bertemu bapak ibu serta adikku yang smart, adek Rara. Melewati beberapa hari di rumah sempat membuatku malas untuk beranjak. Bahkan memikirkan untuk membatalkan perjalanan ke Bali. Rumah memang tempat yang paling hangat diantara yang lainnya, dengan keluarga yang juga paling membahagiakan. Apalagi jika dihitung matematis, liburan semester 5 kemarin hanya berlangsung kurang lebih dari 1 minggu sehingga waktu di rumah pun juga sangat singkat.

Sebelum berangkat ke Bali, ‘keluarga mungil’ di Banyuwangi menanyakan kabar. Kali itu terjadi conversation yang membuat senyuman dan akhirnya keluarga mungil pun mengetahui rencanaku ke Bali. Beliau dengan hangatnya menyuruhku mampir terlebih dahulu sebelum kembali ke Jakarta nantinya. Sempat bingung karena beberapa alasan yang tak bisa ku jelaskan disini, tentunya masih berkaitan dengan soal yang membuatku berpikir keras sampai saat ini. Yang aku sendiri tak dapat mengerti apa maksudnya dan bagaimana akhirnya. Setelah mendapat persetujuan dari Ibu, aku memutuskan untuk mengiyakan dan singgah di Banyuwangi nantinya.

Malam itu aku berangkat ke Bali via bis dari terminal Arjosari, Malang. Sedikit paksaan sebenarnya. Pertama karena Ibu yang menyuruhku berangkat. Ibu selalu  mengingatkanku agar selalu menepati janji, terhadap siapapun. Meski janji itu juga dibuat untuk diri sendiri. Ibaratnya presentasi faktor yang menjadikan aku berangkat kesana adalah ibu 70% dan aku sendiri hanya 30%. Kedua, aku tidak suka naik bis. Dan kalian bisa bayangkan, naik bis dari Malang ke Bali membuat bayangan yang ada di depan seperti suram karena jauhnya jarak antara kedua kota tersebut. Namun, aku tetap beruntung karena bis yang aku tumpangi adalah bis malam, tidak terlalu memusingkan kepala sepertinya.

Sepanjang perjalanan pasuruan, probolinggo, jember, banyuwangi aku terus dibayang-bayangi oleh suatu kenangan. Mengingat perjalanan ke tanah dewata yang sebelumnya, sungguh ironis. Dulu kesana dengan semangat untuk membangun canda embun bening tetapi kali ini semua terasa damai untuk dilepaskan. Ntah artinya itu apa, tapi aku meyakini semua bearah pada kedamaian hati.

Aku tiba di Bali sekitar pukul 10.00, tepat di H-1 Nyepi tahun ini. 22 Maret 2012. Finally, i can reach it. Menyenangkan sekali ketika kembali menyaksikan masyarakat Bali melakukan ritual, memakai kostum adat mereka dengan partikel-partikel ornamen budaya yang selalu menjadikan Bali memiliki ciri khas tersendiri. Banyak ogoh-ogoh di sepanjang perjalanan Jembrana sampai ke Denpasar. Dari terminal Ubung, aku langsung ke Puputan tempat dimana parade ogoh-ogoh terbesar di Bali ini dilangsungkan. Hati terasa lentur mengikuti suasana masyarakat Bali yang sedang bersuka cita.
Ogoh-ogoh
 Sempat aku ingin mencicipi sate babi yang ada di sudut-sudut Puputan. Banyak orang yang mengerubungi dagangan dengan asap yang mengepul ini. Hheee, tapi keinginan ini tidak terealisasi karena doktrin agama yang masih kuat. Bagi orang Bali, sate babi memberikan sensasi tersendiri. 

Aku rasa waktu itu semua orang Bali sedang berkumpul di Puputan. Sangat ramai oleh warganya sendiri. Aku berfikir bahwa esok adalah nyepi sehingga semua hasrat mereka diluapkan hari ini sebelum pada akhirnya mereka harus ‘berpuasa’ seharian penuh menahan kama. Di bagian tengah lapangan Puputan tampak acara peribadatan yang hampir usai. Aku mendekat untuk melihat lebih detail apa yang dilakukan warga hindu ini. Ini hal yang paling menyenangkan, melihat upacara adat dengan segala pernak pernik budaya Bali. Dari dulu aku bermimpi ingin memakai baju yang dikenakan mereka dengan riasan yang juga sangat identik dengan Bali. Apalagi jika mengingat kejadian di Ubud juni lalu, ketika aku mencoba melihat banjar lebih dekat. Aku ditegur oleh pemuda Bali karena aku seorang muslim dan mengenakan jilbab. Hhmm, tapi karena ini juga, aku semakin penasaran dengan adatnya.

 
 Sebenarnya, hampir semua banjar membuat ogoh-ogoh ketika nyepi akan berlangsung. Namun, tak semuanya bisa mengikuti parade yang diadakan di Puputan tersebut. Hanya ogoh-ogoh yang paling unik yang berhasil lolos seleksi. Dengan diikuti pemuda-pemudi di banjarnya, mereka datang untuk merayakan. Ogoh-ogoh pun dipercaya memiliki nilai tersendiri dengan berbagai karakter yang diciptakan oleh manusia. Biasanya pemuda di suatu banjar akan bekerjasama membuat ogoh-ogoh tersebut beberapa bulan sebelumnya. Dana untuk membuatnya juga berasal dari banjar beserta iuran warganya. Jika dihitung total, harga ogoh-ogoh cukup melambung. Tak heran jika bisa sampai puluhan juta karena memang pembuatannya yang sangat rumit disertai bahan-bahan yang cukup mahal. Seniman Bali mengeluarkan segala jurus kreatifnya untuk bersama menciptakan ogoh-ogoh yang paling spektakuler. Aku rasa bukan hanya aku yang suka menjeprat jepret setiap karakter ogoh-ogoh yang dipamerkan di pinggir jalan itu. Semua warga Bali yang ada di Puputan juga melakukan hal yang sama sehingga jalan di daerah gedung walikota Denpasar itu macet.
Sekitar pukul 16.00 wita, acara dimulai. Semua penonton sudah menempati tempat yang paling dianggap strategis untuk menyaksikan acara yang digelar satu tahun sekali ini. Pecalang dan juga polisi turut merapikan baris-baris ribuan masyarakat yang datang agar parade berjalan dengan lancar. Ini merupakan pertama kalinya aku menyaksikan parade ogoh-ogoh secara langsung di Bali setelah sebelumnya hanya dapat menyaksikannya melalui youtube. Terik matahari sore itu tak membuat warga menepis, mereka menyaksikan acara ini dengan perasaan yang mungkin sama sepertiku. Senang.


Rupanya sore sudah dijemput malam dengan perlahan. Banyak pecalang yang hilir mudik untuk persiapan nyepi tahun ini. Semakin mendekati pukul 00.00 di tanggal 23 Maret, dimana nyepi akan berlangsung. Sungguh suasana dan pengalaman yang benar-benar baru. Pagi itu aku terbangun dengan rasa yang berbeda. Heii, aku ikutan nyepi disini. Bisik kata hati. Suasana benar mencekam sunyi. Tidak ada lagi orang yang berlalu lalang di luar selain pecalang. Tak ada rumah yang terbuka. Tak ada listrik yang dinyalakan. Benar-benar tak ada aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Bahkan banyak perusahaan atau lembaga bisnis yang berdomisili disana sudah melumpuhkan kegiatannya sebelum tanggal 22 Maret 2012 sehingga banyak karyawan yang juga diliburkan. Akibatnya, sejak kemarin pelabuhan gilimanuk diserbu orang-orang yang ingin keluar Bali, kebetulan long weekend juga. Banyak dari mereka yang ingin menghabiskan liburannya di Jawa. Hhmm, ini rasanya benar-benar nyepi.

Nyepi tahun ini bertepatan pada hari jumat sehingga berbarengan dengan sholat jumat yang selalu dilakukan oleh orang muslim. Umat hindu dan islam saling bertoleransi. Peraturan hindu menyebutkan bahwa tidak seorang pun diperbolehkan keluar rumah kecuali para pecalang yang memang bertugas menjaga keamanan saat itu. Namun, karena umat muslim harus melaksanakan kewajibannya, umat hindu mempersilahkan mereka ke masjid asalkan tidak membunyikan speaker-speaker masjid untuk melakukan ritual peribadatan. Umat muslim juga dianjurkan pergi ke masjid dengan berjalan kaki atau sepeda ontel, dilarang menggunakan sepeda motor. Pecalang juga dibantu oleh warga yang muslim saat berjaga-jaga. Saat itu aku sengaja keluar sebentar untuk sekedar tahu bagaimana suasana di luar rumah. Yang membuat perbedaan pecalang dari hindu dan muslim terlihat dari pakaiannya. Jika hindu lengkap dengan atribut adat Bali, biasanya menggunakan semacam sarung kotak-kotak hitam putih dan semacam udeng sedangkan yang muslim hanya memakai sarung saja.

Yang lebih terasa adalah malam hari. Tak diperbolehkan ada kilatan cahaya barang sedikitpun terlihat di luar rumah. Bahkan channel TV dan radio pun dimatikan dari pusatnya (regional Bali) sehingga tak akan ada siaran. Yang ada hanyalah bintik hitam putih atau layar biru yang menghiasi layar TV. Tidak ada kegiatan apapun, memasak pun tidak. Sebelum nyepi tiba warga Bali memang harus menyiapkan segala perbekalan yang akan digunakan untuk hari sunyi tersebut. Tak akan ada orang jualan saat itu. Mengisi air bak mandi pun dilarang karena menimbulkan suara berisik kran air. Bisa dibayangkan, waktu itu Bali benar-benar seperti kota mati yang juga similiar dengan kota yang aku lihat di kisah film Silent Hill. Akhirnya aku mendapat bayangan jika hidup di kutub utara dimana matahari jarang sekali dilihat, mungkin rasanya seperti nyepi ini.
 ***
Sebelum kembali ke Jawa, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke Tanah Lot. Pasalnya, ke Bali yang sebelumnya, list Tanah Lot terlewatkan lantaran jarak tempuh yang lumayan jauh dari kota Denpasar. Dengan menggunakan sepeda motor, aku sampai di Tanah Lot dengan melewati rute yang justru mengarahkan ke Bedugul. Kawasan wisata yang terletak di kabupaten Tabanan ini terkenal dengan puranya. Ada dua pura disana, pertama terletak di atas bongkahan batu besar dan satunya terletak di atas tebing. Pura yang satu ini mirip dengan pura Uluwatu, bahkan untuk meraihnya kita harus melewati jembatan yang dirancang seperti karang bolong yang ada di Pulau Sempu, Malang. Fantastic yaa. Tanah Lot juga sangat eksotis ketika matahari hendak menuju ke pangkuan ibunya. Banyak turis yang datang di sore hari dengan tujuan melihat sunset indah tersebut. Sayangnya, saat itu aku belum beruntung karena harus meninggalkan Tanah Lot sebelum sunset tiba. Aku memutuskan untuk kembali ke Jawa, pulang.
 
 Nah, berbicara masalah kepulangan aku memang masih bingung. Harus ku akui waktu itu aku memang dirundung galau tingkat dewa. Awalnya, sebelum berangkat ke Bali,  aku sudah mengatakan ‘iya’ untuk ke Lumajang. Namun, justru saat kepulangan dari Bali hati mengatakan ‘tidak dulu’. Perasaan enggan muncul seketika dan aku segera memberi kabar untuk menunda perjalanan kesana. Di lain sisi, keluarga mungil di Banyuwangi sudah menanti. 

Sekitar maghrib aku tiba di pelabuhan Gilimanuk, Jembrana. Aku melanjutkan perjalanan via laut menggunakan kapal fery. Angin malam yang berhembus semakin menjadikan penumpangnya terasa terombang-ambing di laut lepas. Keluarga mungil rupanya sudah menunggu di Ketapang. Dengan senyum sederhananya, bapak melambaikan tangan dan adik pun sama, Hisyam namanya. Rasanya pertemuan kali itu sungguh mengharukan. Rindu sudah bertepi karena pertemuan itu. Dengan ekspresi senang akhirnya aku bisa berjumpa kembali dengan mereka yang sangat dirindukan. Aku masih ingat dengan detik itu, “mbak Ika gimana kabarnya juga?” sapa adik mungil kepadaku. Kami makan dulu di warung sebelah Alfamart Ketapang sebelum ke rumah.

Dalam perjalanan pulang, bapak bercerita tentang banyak hal. Seperti bapak yang merindukan anaknya, itulah suasana Banyuwangi saat itu. Bapak bercerita bahwa beliau sering mengajak adik untuk jalan-jalan di tempat yang penuh ilmu agar wawasan adik luas dan juga sebagai media refreshing. Kali itu, bapak mengajak kami singgah sejenak di pelabuhan Tanjung Wangi untuk melihat kegiatan bongkar muat barang-barang di pelabuhan internasional tersebut. Aku justru baru tahu kalau ada pelabuhan seperti ini di Banyuwangi. Kebetulan waktu itu ada beberapa kapal besar, yaa layaknya kapal pesiar yang mengelilingi lautan dunia. Bongkar muat beras impor, ikan tuna, bahkan sampai semen pun ada disana. Dalam satu kapal, kegiatan yang menjadi mata pencaharian sebagian penduduk ini bisa berlangsung berminggu-minggu saking banyaknya muatan. Hanya satu kapal yang ku ingat dengan jelas waktu itu, Indian Panama. Kapal berwarna coklat muda tersebut sedang dioperasi organ dalamnya oleh warga Banyuwangi. Di dalamnya terdapat berton-ton beras raskin impor dari luar negeri. 

Tidak jauh dari pelabuhan tersebut terdapat bongkar muat semen gresik. Disana bukan tempat produksinya melainkan hanya menjadi tempat mengepak butiran semen menjadi 1 karung. Kemudian yang kita tahu bahwa karung-karung semen gresik itu didistribusikan ke daerah-daerah untuk dikonsumsi masyarakat. 

Kami tiba di rumah sekitar pukul 21.00. Seperti biasa, aku tidur di kamar Langit Biru. Sedikit terharu ketika bapak bilang “nduk, kamarnya dibersihkan dulu yaa. Kan nggak pernah ditempati, pasti banyak nyamuk. Lah wong yang punya kamar malah nggak pernah pulang” hhmm, rasanya ingatan di bulan juli lalu langsung menyerang memoriku dengan cara kejang-kejang.

Kami pun sadar, sudah lama jarak telah memisahkan fisik kami untuk tidak saling bertemu. Kami menghabiskan malam dengan berbincang di ruang tengah sedangkan adik mungil tertidur dengan pulasnya. Dialog malam itu semakin membuka cakrawalaku tentang pandangan hidup, mulai dari sisi keluarga mungil, Langit Biru sendiri dan masa depan. Aku memang sengaja tidak menghubungi Langit Biru ketika itu. Yaa tentunya karena beberapa alasan yang hanya bisa dimengerti oleh kami berdua. Bahkan bapak yang saat itu ada di hadapanku juga tak tahu. Nostlagia semalaman ini seperti mengembalikan memori di bulan juli lalu. Ya Tuhan, apakah ini kesedihan atau justru menyenangkan.
Esoknya aku memutuskan pulang dulu ke Malang sebelum balik ke Jakarta untuk study. Setelah sarapan, bapak mengantarku sampai di daerah Bajul Mati untuk mendapatkan bis ke arah Probolinggo. Ohyaa, ada catatan sedikit yaa. Bis dari Banyuwangi yang langsung ke Malang memang tidak ada disana sehingga aku harus transit dulu di Probolinggo. Aku kembali ke rumah bahagiaku di Malang dengan melewati Taman Nasional Baluran yang berada di perbatasan kabupaten Situbondo dan Banyuwangi. Dulu aku pernah mengunjungi hutan luas ini bersamanya, sampai melihat pantai Bama dan hamparan luasnya vitamin hijau ini dari atas mercusuar. Berdua, yaa hanya berdua. I think it’s the real vitamin hijau. Dan di sepanjang perjalanan Situbondo, melewati Paiton dan pantai pasir putih yang cukup terkenal di daerah tersebut. Kembali ke masa SD, dulu aku juga pernah ke dua tempat itu yang aku rasa alasannya juga karena travelling with studying. Jadi aku berfikir bahwa taglineku itu memang sudah ku bangun dari aku masih duduk di bangku SD *the power of serendepity* Aku bisa sampai kesana lantaran guruku memberi hadiah dengan cara boleh mengikuti rekreasi anak kelas 6 SD, yang waktu itu memang ditujukan ke pantai Pasir Putih dan Paiton, Situbondo. Gratis. Itu karena kau selalu juara kelas. Hheee...
Setelah tiba di terminal Probolinggo, aku transit bis ke arah Malang. Harga tiketnya hanya Rp 12.000 dan yang menjadi catatan perjalananku waktu itu, hampir 85% penumpangnya adalah mahasiswa yang berasal dari Banyuwangi, Situbondo, Jember, Lumajang, Prolinggo yang kuliah di Malang. Pasalnya, waktu itu adalah hari minggu, tentunya itu adalah masa balik bagi mahasiswa rantauan daerah Jatim yang harus kembali ke Malang karena kewajiban belajarnya. 

Aku rasa, menyepi di Bali tahun ini memang menjadi  jurus jitu untuk berdamai. Berdamai dengan apapun yang sedang membuat hati bergejolak. Terima kasih untuk keluargaku tersayang di Malang, Ibu, Bapak, Adik Rara dan juga keluarga besarku. Terima kasih juga untuk keluarga mungil yang selalu memberi senyuman. Embun Bening dan Langit Biru yang juga akan tetap menjadi pencerah untuk hidupnya ghirah belajarku. Aku tidak mencoba membuangnya tetapi menepikannya dengan rasa yang sama. Terima kasih untuk episode pelepasan yang membahagiakan. Ntah apa yang dilepaskan, aku pun tak tahu. Kalimat itu muncul saja dan menggerakkan pointer untuk menuliskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar