26 Januari 2012

Part of Jakarta Biennalle#14.2011

Jakarta Biennalle  merupakan perhelatan seni rupa dua tahunan yang saat ini sudah dilaksanakan ke14 kalinya. Karya-karya yang dipamerkan berasal dari seniman dalam dan luar negeri. Kali ini tema yang diangkat yaitu Maximum City. Jakarta menjadi kota yang penuh paradoks. Kota ini terus tumbuh dan menjadi penuh sesak. Sikap-sikap masyarakatnya membuat mereka cenderung harus bertahan dalam dinamika Jakarta. Berbagai persoalan pun mulai bermunculan, mulai dari masalah ruwetnya tata kota, kriminalitas, kemacetan, gaya hidup, sampai masalah ruang publik yang kian terkikis. Namun, berbarengan dengan itu semua ada fenomena unik ketika banyak hal yang sebenarnya bertentangan tetapi ternyata dapat hidup berdampingan, contoh kecilnya semangat orang-orang komunal dengan individualis yang terjadi di kampung-kampung kumuh padahal justru bersebelahan dengan orang kaya di apartemen. Kota menjadi sumber inspirasi bagi kreativitas seni.

salah satu karya yang dipamerkan di Jakarta Biennalle#14.2011
        Selanjutnya karya yang akan saya bahas kali ini merupakan karya seniman kontemporer Li Hui dari Cina, ia-lah yang akan menjadi salah satu Head Line Bienalle. Ia membuat sebuah karya dengan sinar laser untuk merefleksikan bahwa ia tertantang dengan problem kekerasan di Jakarta.

 
Karya di atas relevan dengan tema Jakarta Biennalle#14.2011 bahwa seni mempunyai semangat yang melebur dalam denyut kehidupan masyarakat. Seni bukan lagi sesuatu yang sudah selesai, tetapi sebuah proses yang akan terus berlanjut. Penyajiannya cenderung lintas media, memadukan teknologi terkini, dan bersifat interaktif. Sebagian seniman bergerak dengan berbasis komunitas. Dan kehadiran mereka bukan semata mata hanya untuk menghadirkan karya seni, tetapi lebih pada pernyataan akan kehadirannya di satu kota sebagai individu ataupun kelompok. Tidak ada yang ingin dimarjinalkan di kota besar, yang di mana-mana mendengungkan kata be your self atau you are special tetapi sekaligus menghadirkan budaya masa yang menghilangkan satu orang dalam kerumuman masa yang akhirnya kembali ke satu paradoks.
Karya ini menegaskan kembali bahwa seni adalah sains. Seni tidak dapat berdiri sendiri sebagai maha karya para senimannya. Seni bukanlah sesuatu yang ada di zaman berpuluh-puluh abad yang lalu yang kedengarannya sangat jauh untuk bisa dipahami masyarakat awam. Seni mengikuti gerak perkembangan zaman sehingga dikatakan bahwa ia bukanlah sesuatu yang selesai bahkan usang. Saat ini, teknologi sangat dekat dengan seni. Kita bisa melihat bahwa karya seni di atas adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kebaruan atau modern. Karya ini merupakan instalasi sinar laser dari beberapa titik yang dihubungkan yang diposisikan di dalam ruang hampa yang gelap. Untuk memunculkan cahaya kilauan lasernya perlu adanya gas atau asap yang disemprotkan ke dalam ruangan ini. Jika gas habis maka nyalanya laser berwarna merah ini akan semakin menghilang.
Karya (instalasi laser) di atas sesuai dengan tema Maximum City, ibaratnya sinar laser itu saling bertumpukan, penuh sesak dan tidak teratur seperti kota Jakarta. Namun, di sisi lain kumpulan titik dari sinar laser ini menghasilkan suatu keindahan yang nyata. Itulah yang dimaksud dengan seni. Paradoks tersebut benar-benar memberikan gambaran yang nyata bahwa sesuatu yang bertentangan pun bisa duduk berdampingan untuk membentuk suatu harmonisasi. Teknologi elektronik dipakai dalam pembuatan karya seni. Hal ini juga menyangkal pendapat lama yang menyebutkan bahwa seni sangat jauh dari sesuatu yang baru, seni harus diletakkan dalam ruang dimana jarang orang bisa menyentuhnya. Kita juga bisa melihat bagaimana saat ini elektronik dan teknologi menjajah kehidupan manusia, bahkan manusia sudah tidak bisa lari dari jeratan teknologi karena kehidupan sehari-hari pun sudah sarat akan penggunaan teknologi baik untuk masyarakat tingkat bawah maupun tingkat atas. Teknologi sudah menjadi santapan sehari-hari.
Karya instalasi laser ini pun menggunakan warna merah yang sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam Jakarta Biennalle kali ini. Merah melambangkan sesuatu yang bergerak dinamis, penuh semangat dan berani layaknya kota Jakarta yang juga dinamis perkembangannya dan semangat pertumbuhan dan persainganpun juga tinggi. Bentuknya yang sengaja disusun menyerupai kota Jakarta yang tidak teratur dan saling bertumpukan, dari sisi yang satu ke sisi yang lain dihubungkan sinar laser tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa antara individu yang satu dan yang lainnya juga dihubungkan oleh yang namanya teknologi. Ruang gelap yang dihadirkan untuk memperindah dan secara rasional laser itupun akan muncul di kegelapan. Kaitannya bahwa Jakarta juga dipandang gelap oleh orang-orang awam yang tidak mampu bersaing di dunia global tetapi untuk mereka yang sudah melek teknologi, hal itu bukan lagi masalah besar. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar sebagai masyarakat individu atau kelompok dapat survive di kota Jakarta yang penuh paradoks ini.
          Sebuah perhelatan senirupa seperti ini harusnya memang menjadi bagian dari kegiatan kota di berbagai penjuru negeri untuk mengajak masyarakatnya merayakan kotanya sendiri. Disamping itu, sekaligus berkaca dan mengkritisi diri serta berkontemplasi melalui tontonan dan kegiatan seni budaya. Selain sebagai bentuk perayaan dan kritik (melalui kesenian), tetapi Jakarta Biennalle ini juga merupakan upaya kota Jakarta menjadi bagian dari jajaran kota-kota budaya serta kesenian kontemporer di dunia. Seni tidak lagi hanya untuk keindahan tetapi bagaimana seni tersebut dapat mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan menyuarakan pikirannya. Seni diharapkan semakin membumi, sementara kota bisa semakin menyenangkan bagi warganya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar