1 Februari 2012

Bromo on Vacation

Nah, kali ini aku ingin berbagi cerita tentang apa yang aku lakukan selama ke malang kemarin, khususnya #EpisodeBromo. Dulu aku sering di ajak ke Bromo waktu masih kecil karena kebetulan pakdeku guru honorer di salah satu daerah terpencil di sana. Bercerita tentang Bromo akan selalu mengesankan karena pada dasarnya aku menyukai dunia alam dan budaya. Biasanya perjalanan ke Bromo selalu dibarengi dengan singgahnya ke Ranupane dan Ranukumbolo. Pemandangan yang selalu menyejukkan mata dan pikiran. Mulai dari budaya masyarakat, angin, daun, ranting, kabut dan dinginnya cuaca yang bisa membuat mulut selalu menguap hangat saat berbicara. Dan aku baru ingat, terakhir kali aku kesana adalah waktu akhir masa SMK.
 Sayangnya pada perjalanan kali ini aku tak sempat singgah di Ranupane karena waktu memang terbentur masalah waktu. Seharusnya bisa saja tapi aku memilih untuk tidak kesana agar benar-benar dapat menikmati perjalanan, tidak terburu-buru waktu. Hal ini tetap menyenangkan. Kali ini, cuaca sangat buruk karena Malang diguyur hujan setiap hari. Perjalan pun diiringi kabut tebal. Menyenangkan karena kali ini aku mendapat asupan yang cukup akan vitamin hijau. Siapa yang tahu vitamin hijau? Tentunya Langit Biru disana juga tahu karena dulu kita pernah melakukan perjalanan ke Blitar bersama yang benar-benar melewati hamparan vitamin hijau. Dan satu hal lagi, sepertinya rona orange kembali bersorak sorai di sini. Aku pernah mengatakan hal ini kepada Langit Biru, mungkin ia juga masih ingat dengan  filosofi orange :)

 Kabut tebal juga menghalangi view landscape sabana yang menghampar luas, tapi tetap saja tak mengurangi keindahan dari pesona Bromo yang memikat.
Aku kesana bersama beberapa teman-teman di Malang, tepatnya teman-teman yang dipertemukan dalam dunia kerja. Yaa, ceritanya sedikit diedit dengan reunian karena memang kita lama nggak ketemu. Beberapa sepeda motor membawa kami sampai di tempat tujuan. Meski sering kesini, tak pernah sekalipun aku bosan, yang ada justru senang.senang.senang. Tentunya juga bersyukur karena bisa melakukan travelling - di kota sendiri- dengan keadaan sehat.
 Menurutku, waktu itu tidak begitu dingin karena memang aku pun tahan tidak memakai jaket, hhee..
Ada pemandangan menarik yang disajikan Bromo. Perjalanan kesana haruslah melewati lautan pasir atau yang sering disebut dengan segoro wedi. Lautan pasir ini menghampar luas. Namun, ada yang berbeda kali ini, lautan pasir ini sudah tidak seperti dulu ketika aku sering mengunjungi bromo. Permukaannya sudah lebih merata sehingga tidak menyulitkan pengendara. Dulunya, sangat sulit untuk melewati lautan ini karena sering kali ban sepeda atau mobil akan tergelincir oleh hamparan pasir yang menggunduk di banyak sudut. Adanya curah hujan lebat juga menyebabkan lautan pasir ini terlihat seperti sungai yang membelah sisi barat dan timur. Jika tidak berhati-hati maka sepeda motor pun akan tergelincir.
 Kebetulan, hari itu adalah sabtu. Sudah bisa dipastikan banyak turis domestik maupun asing yang juga ingin mengunjungi tempat menakjubkan ini. 
  Yang lebih menarik lagi yaitu pura yang berada di tengah-tengah lautan pasir tersebut. Pura ini akan selalu menjadi poin of interest apalagi ketika kegiatan-kegiatan seremoni dilakukan di daerah Bromo, seperti layaknya upacara Kasodo.

 Mayoritas masyarakat tengger memang memeluk agama hindu. Ketika berangkat, tepatnya di daerah kecamatan Tosari, pasti kita akan menjumpai pura-pura kecil di pinggir jalan atau tikungan yang benar-benar mengingatkanku waktu pertama kali ke Bali. Dua daerah yang sama dalam hal ini. Rasa senang yang muncul ketika melihat pura-pura itu juga sama ketika aku dengan girangnya melihat, penasaran bahkan ingin melihat-lihat seluruh detail dari pura di bali. Waktu itu aku sengaja mengambil rute yang berbeda, berangkat memilih rute Tumpang dan pulangnya mengikuti rute Nongkojajar, Pasuruan. Eits, ada juga yang seru. Badai pasir tidak hanya terjadi di Dubai lho. Di Bromo pun ada badai pasir. Aku merasakannya dan tiba-tiba langsung teringat film Mission Impossible yang dilakoni oleh Tom Cruise. Yang terpenting saat badai pasir datang yaitu diam di tempat, tutup hidung dan mata agar pasir tidak sampai masuk dan mengganggu pernafasan serta penglihatan kita.
 
Pastinya hal yang juga ditunggu-tunggu ketika ke Bromo adalah perjalanan melewati tangga seribu ketika menuju kawahnya. Mitos unik yang muncul dari tangga seribu ini adalah ketika kita sama-sama menghitung dengan teman yang lain, hasil hitungan berapa jumlah tangganya pasti akan berbeda. Sejujurnya, aku sendiri belum pernah menghitung.

Banyak jasa-jasa penyewa kuda yang mengantarkan kita menuju lokasi Tangga Seribu dari kawasan Pura yang ada di bawah kawah. Dan senang rasanya melihat budaya warga Tengger yang berdampingan dengan turis-turis sebagai pelanggannya. Kostum, bahasa, etika yang berbeda tapi bisa menampilkan suatu keharmonisasian. Ketika mereka mengobrol, ini adalah hal yang suka aku perhatikan. Tak jarang aku pun menyapa mereka dan mulai berbincang-bincang sedikit tentang perjalanan mereka menuju kawasan ini. Akhirnya, sampai juga di atas kawah gunung bromo. 
Melihat poros kawahnya yang bercampur asap hangat, aku mulai berandai-andai bagaimana kalau aku jalan ke bawah yaa. Ide yang cukup gila. Tentunya ketika upacara Kasodo berlangsung, kawah gunung Bromo ini tidak akan begitu jelas terlihat karena tertutup oleh sesajen-sesajen yang ditumpahkan ke kawah. Souvenir unik yang dijual di kawasan Bromo adalah rangkaian bunga dari berbagai macam species bunga yang dirangkai dalam satu vas bunga, dari berwarnai hijau sampai ungu tua. Tak jarang orang-orang membelinya dan justru dibuang ke kawah karena itu sudah menjadi semacam ritual kalau memang bunga itu tidak dibawa pulang. 


Meski liburan kali ini cukup singkat, travellingnya pun juga singkat *di kota sendiri* Namun, selalu menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar