20 Februari 2012

Antara Globalisasi dan Tradisi

Globalisasi atau yang sering juga disebut dengan modernisasi kian mengikat masyarakat. Hal ini pun tidak dapat dihindari, ibaratnya modernisasi telah menyuntikkan unsur-unsurnya kepada setiap individu manusia. Banyak perubahan yang terjadi dan akibatnya tradisi atau agama semakin dikesampingkan. Arus yang sangat kuat membuat modernisasi inipun tidak dapat dihindarkan. Kata modernisasi sebenarnya juga similiar dengan westernisasi dimana pengaruh-pengaruh modernisasi memang datang dari barat. Dapat dikatakan bahwa di baratlah, awal tumbuhnya modernisasi. 

Saat ini modernisasi ini masuk dengan mudahnya ke timur, tempat kita tumbuh dan berkembang. Modernisasi sudah tidak melakukan pembagian wilayah untuk targetnya tetapi ia memang masuk ke segala penjuru (baca:desa-desa). Dahulu, para petani sering menyimpan hasil taninya di lumbung. Dengan adanya modernisasi, mereka tidak lagi melakukan itu tetapi mulai menjual hasil taninya ke pasar. Alasannya untuk efisiensi karena jika dijual di pasar, maka petani akan mendapat uang langsung yang kemudian uang tersebut dapat digunakan untuk mengolah lahannya kembali. Dapat dicermati bahwa modernisasi sangat dekat dengan efisiensi waktu. Maka manusia era sekarang menginginkan agar segalanya berjalan cepat dan efektif. Dibandingkan dengan menyimpan hasil tani di lumbung, maka ada perawatan-perawatan yang harus dilakukan yang membuat mereka berfikir bahwa cara itu tidaklah efektif. Petani mungkin saja akan berfikir lebih baik mengolah lahan atau dengan mencari uang dengan jalan lain ketimbang harus berlama-lama mengurus lumbungnya. Hal lain yang juga termasuk efek dari serangkaian modernisasi petani yaitu dengan pengalihfungsian bajak sapi dengan menggunakan traktor. Dengan menggunakan traktor mesin, waktu yang digunakan untuk mengolah tanah akan semakin cepat sehingga penanaman tanaman juga bisa dipercepat. Sedangkan jika menggunakan bajak sapi maka petani harus mengeluarkan tenaga berjam-jam untuk melakukannya, belum lagi jika bajak ini harus menyewa ke orang lain. Maka ada tambahan uang yang harus dikeluarkan untuk menikmati jasanya.

Menurut Rich (1999), cita-cita modernisasi bermaksud mengembangkan institusi-institusi dengan cara melakukan trasformasi kultural guna mewujudkan nilai-nilai efisiensi, ekonomis, tepat waktu dan rasional yang terbebas dari tradisi, adat dan ikatan komunalisme. Fakta lain mengenai tradisi yang semakin terkikis oleh modernisasi adalah penggusuran dongeng sebagai media pendidikan anak. Dongeng sangat berguna untuk mengembangkan hubungan yang murni antara orang tua dan anak. Dongeng menjadi media yang membangun kedekatan antara keduanya. Dongeng juga mengamdung aspek hiburan dan pendidikan, berupa sosialisasi kearifan lokal tradisional (Danandjaja, 1982).

Media pendidikan melalui dongeng sudah sangat langka karena adanya TV. Banyak orang tua yang tidak mampu mengendalikan anaknya ketika di depaan layar TV. TV memberikan banyak cerita-cerita kartun yang menarik dan tentunya cerita di dalamnya tidak akan terlepas dari ideologi negara yang memproduksi film-film tersebut. Kebiasaan menonton TV yang berlebihan tidaklah baik untuk perkembangan anak karena kegiatan fisik anak akan berkurang, secara psikologis sifat anak juga akan terpengaruh pada apa yang mereka tonton. Dalam sosial-emosional kegiatan anak-anak untuk bercengkrama dengan lingkungannya juga akan berkurang karena lebih asyik menikmati kartun yang ada di layar kaca.
Satu kasus lagi yang berhubungan dengan pemudaran tradisi yaitu tradisi Med-medan yang ada di Banjar Kaja Sesetan, Denpasar-Bali. Ritual ini dilakukan setiap tahun pada Hari Raya Ngembak (sehari setelah nyepi). Acara ini digelar di ruang publik sehingga setiap orang bebas menyaksikan. Pelaksanaannya dimulai dengan sembahyang bersama di Pura kemudian pemuda-pemudi akan membentuk barisan dan saling berhadapan. Sesuai dengan aba-aba yang diberikan, maka mereka harus bertukar tempat dengan maksud saling melengkapi sehingga terjadi penciptaan dan kehidupan. Kata Med-medan sendiri berasal dari salah satu bagian dari ritual ini yaitu tarik-menarik antara pemuda-pemudi, secara leksikal Med-medan berarti tarik menarik. 

Menurut Freud dalam Marcuse, tradisi Med-medan ini berkaitan dengan keinginan masyarakat Banjar Kaja Sesetan untuk membalikkan keheningan nyepi yang disertai hawa nafsu menuju ke arah kegembiraan yang disertai penyaluran libido, terutama di kalangan pemuda-pemudi. Tradisi (Banjar perlu mengendalikan hawa nafsu ini. Penyaluran libido sangatlah penting (Nengah Bawa Admaja, 2011) mengingat pemuda-pemudi memiliki tingkat libido paling tinggi. Dalam kehidupan sehari hari, mereka bisa sering bertemu yang mengakibatkan mereka bisa saling tertarik. Selanjutnya penyaluran nafsu ini harus dikontrol agar tidak salah arah. Jadi tradisi Med-medan dipandang sebagai kanalisasi penyaluran hawa nafsu secara terlembaga. Mereka bisa sebatas tarik menarik tapi kadang sering terjadi kekacauan yaitu ada pemuda yang sengaja atau tidak menjamah bagian yang sensitif dari lawan jenisnya. Namun, hal ini tetap saja di sahkan karena berada tempat dan ritual yang memang dilegalkan. Mereka merasa bergembira karena nafsunya bisa tersalurkan lewat adegan berangkulan atau peluk dan cium yang dilakukan oleh pesertanya. Ritual Med-medan ini juga sangat dekat dengan upacara penyuburan karena ketika sesudah mereka melakukan ritual ini, mereka akan diguyur air sebagai metodee pembersihan atau penyucian kembali dan air merupakan simbol kesuburan. Mitosnya, jika pemuda dan pemudi yang bisa saling berciuman maka akan menjadi pasangan suami istri.

Ironisnya, modernisasi telah membuat seksualitas dan cinta yang dilakukan di ruang publik yang dulunya tabukini malah  menjadi hal yang biasa. Dalam kasus ini refleksivitas terhadap ritual med-medan akan sulit dihindarkan. Para pemuda-pemudi tidak lagi melihat tradisi ini sebagai tempat menyalurkan nafsu, membangun solidaritas atau kepentingan ritual agama. Lebih dari itu mereka lebih bebas untuk mempraktikkan seksualitasnya yaitu dengan berpelukan dan berciuman. Karena itu ritual Med-medan sudah berubah makna. Tidak sedikit dari mereka yang melakukan kebiasaan berciuman ketika melakukan ritual ini dan hal ini pula dianggap sebagai penyimpangan.

Efek lain dari modernisasi adalah adanya agama baru yang dianut oleh masyarakat yakni agama pasar. Agama ini sangat bergelimang dengan glamorisasi dimana tempat suci bagi agama pasar bukan lagi di tempat beribadah yang disucikan melainkan di pasar. Maka muncul argumen monotheisme yang kemudian digantikan oleh moneytheisme. Agama religius (monotheisme) dengan tuhan sebagai sesuatu yang dipuja lalu agama pasar juga sesuatu yang dipuja-puja yaitu pasar itu sendiri. Di pasar mereka bisa saling bertransaksi memenuhi keinginan dan hasrat akan kebutuhan-kebutuhan barunya. Dalam agama religius, tentunya nafsu harus dikontrol atau dihentikan pada skala tertentu sedangkan pada agama pasar hasrat manusia tidak akan berhenti karena pada dasarnya manusia adalah mesin hasrat (Piliang). Belanja adalah metode sembahyang bagi agama pasar sehingga muncul gagasan bahwa belanja bukan lagi sebuah kebiasaan tapi melainkan sebuah ritual dalam agama.

Tentunya hal ini dibarengi dengan tumbuh pesatnya iklan-iklan di TV yang giat menjajakan produk yang ditawarkan. Iklan bukan saja media pemberi informasi melainkan lebih kepada menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru dan mengubah kesadaran publik akan produk yang ditawarkan. Awalnya, iklan tidak digubris tapi karena terus meneror pemirsanya maka pemirsa pun akan tergiur untuk mencoba. “iseng-iseng ah, nyoba” kemudian menjadi habbit untuk terus mengkonsumsi. Hal ini selaras dengan pebisnis yang juga memanfaatkan peluang ini untuk menciptakan produk yang terus diperbaharui. Iklan memang memiliki daya pesona yang luar biasa. Jurus sihirnya mampu mengintimidasi, memanipulasi, mendominasi, mengintervensi dan memprovokasi. Akibatnya iklan juga mencabut kebebasan konsumen untuk mengkonsumsi hal yang memang benar menjadi kebutuhan yang diperlukannya.

TV pun sama, ia tidak hanya berfungsi sebagai media pemberi hiburan atau hiburan tetapi juga sebagai agen komersialisasi. Status sosial saat ini menjadi dipentingkan, manusia akan melihat sesorang dari apa yang dipakai atau apa yang dipunyainya. Mereka tidak lagi bertanya dari mana asal semuanya itu karena yang terpenting bagi mereka adalah memiliki lifestyle sendiri yang akan selalu bersaingan dengan manusia yang lainnya. Sehingga saat ini yang ada malah mengagungkan manusia yang dilihat dari tingkat kekayaan bukannya dilihat dari kejujuran dan kesederhanaannya. TV tidak saja menjadi objek tontonan. Pada saat yang sama TV juga bisa menonton kita dan menertawakan pemirsa. Mengapa? Maksud menertawakan disini, jika pemirsa tidak mengkonsumsi apa yang sedang diiklankan biasanya akan muncul ledekan canda tawa dari aktor iklan di dalamnya bukan?

Komersialisasi ini menurut saya terbagi menjadi 2,  yakni komersialisasi langsung dan tersembunyi. Komersialisasi langsung berasal dari iklan dengan tujuan memperkenalkan produk dan sekaligus mempersuasi orang-orang agar mengkonsumsinya secara terus menerus. Sedangkan komersialisasi tersembunyi dilakukan melalui acara hiburan, sinetron atau musik yang semakin marak menjadi tontonan sejuta umat. Dengan gaya yang lengkap mulai dari pakaian sampai aksesoris yang dikenakan aktornya, sebenarnya TV bermaksud meneror penontonnya agar bermimpi untuk menjadi aktor tersebut. Aktor yang memakai pakaian dan aksesoris yang branded serta cantik/tampan yang berkat make upnya.
Maka dari itu desainer menjadi antek-antek utama kaum kapitalis. Desainerlah yang membuat iklan dan segala grafis media promosi produk-produk. Menjadi seorang desainer haruslah berintegritas dan cerdas. Membuat iklan juga harus melihat berbagai aspek, tidak hanya fokus pada keuntungan yang akan diraih oleh produk melalui komersialisasi via iklan. Iklan akan ditonton oleh sejuta umat di seluruh Indonesia sehingga kontennya juga harus bisa mencerdaskan masyarakat bukannya malah membodohi seperti iklan-iklan yang marak diputar di TV saat ini. Banyak dari iklan tersebut yang melakukan pembohongan publik. Kita sebagai konsumen pun juga harus jeli dalam melihat tayangan-tayangan di TV. Harus bisa memfilter apa yang memang dapat diserap atau justru layak keluar telinga kanan. Konsumen yang cerdas tentunya tidak akan dengan mudah dibohongi oleh iklan-iklan marak meneror konsumennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar