11 Januari 2012

*belumadajudul*

    Jumat ini cuaca terasa lebih panas daripada biasanya. Ntah karena akan turun hujan atau memang lapisan ozon benar-benar semakin menipis akibat global warming. Tepat pukul 10.30 aku melangkahkan kaki menuju Giant Mampang, rupanya uang bulanan sudah turun ke bumi. Alangkah girangnya mahasiswa rantau ini. Dengan menyanyikan lagu Coldplay “yellow” dan bersiul-bersiul, 10 menit kemudian langkah sudah berhenti di depan ATM BCAnya. Transfer deposit pulsa pun dilakukan dengan seksama dan digit 200668 tertera pada slip bukti transfer. Selanjutnya aku langsung melanjutkan perjalanan memasuki Giant untuk resmi memilih, menimbang dan akhirnya jadi kaum kapitalis terhadap sebuah brand ternama. Aku menuju lorong-lorong yang dipenuhi visual desain packaging susu. Dancow, yaa ini yang ku pilih tepatnya Dancow rasa coklat. Kemudian aku lanjutkan mengambil Yogurt Cimory rasa mangga, karena pada dasarnya aku suka mangga. Yogurt ini merupakan produk yang tak pernah ketinggalan untuk ku beli saat belanja di Giant ini.
   Setelah ritual ini dilakukan aku melanjutkan perjalanan menuju kampus. Paramadina, itu nama kampusku. Aku membawa bungkusan susu Dancow, tas jinjing berisi laptop dan buku serta tas mungil di punggungku. Tanpa berfikir apa-apa, aku PD aja masuk ke areal kampus dengan bungkusan-bungkusan ini. Masuklah pada kelas Sejarah Seni Rupa Indonesia. Mas alit, dia dosen yang energik dan penuh tawa. Dia adalah dosen tergokil yang pernah aku temui selama ini. Mukanya yang babyface membuat aku dan teman-teman sekelas selalu tertawa, berimajinasi akan banyak hal juga melakukan study dengan metode yang sangat fun. Midtest yang seharusnya diagendakan hari ini langsung dibatalkan. Rupanya dosen unik ini terburu-buru menghadiri sebuah acara di daerah Ancol. Namun kelas tak langsung dibubarkan, beliau memulai dengan gayanya yang khas bercerita tentang sumpah pemuda. Hari ini memang tanggal 28 oktober, bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Atraktif, itulah kata yang bisa menggambarkan kondisi kelas saat itu. Semua penghuni kelas semangat dibuatnya. Ekspresi serius, muka mengkerut lalu tiba-tiba tertawa dengan lelucon-lelucon hangat yang spontan dilontarkan. Rasanya seperti bukan berada di kelas saja. Lalu ada satu cerita di siang yang mendung ini. Aku, dosen dan semua teman-teman bergerak mencari kata “sepakat” untuk mengisi kuisioner yang selalu dibagikan menjelang midtest dan uas. Berharap ada simbiosis mutualisme antara dosen dan mahasiswa desain ini. Aku masih ingat jelas ekspresi mas alit *lucu menggemaskan*
   Tepat pukul 15.00 aku harus segera mencetak sebuah tugas penting dengan tema integritas. Aku bertemu dengan salah satu teman dekatku, Lutiana namanya. Dia, sang nona hitam manis yang biasa aku panggil nona ana atau “yuk”. Ntah dimana aku terinspirasi sehingga memilih sebutan itu untuk dirinya yang sudah ku anggap sebagai kakakku, sekaligus ibu kecilku di asrama 19. Belum sampai mencetak langkahku sudah di stopnya karena dia rupanya sedang galau tingkat dewa. Ku dengar saja kisah rumitnya dengan hiburan dan sedikit solusi nyata. Obrolan ini kami langsungkan di perpustakaan Paramadina, yang katanya asyik untuk dibuat nongkrong (selain baca buku). Satu point yang bisa diambil dari cerita itu “ini akibat terlalu dekatnya hubungan pertemanan” Setelah merasa sedikit lega, kita kembali menuju kelas masing-masing untuk melaksanakan midtes. Yaa, tepatnya aku bukan lagi midtest tapi tes PEPT. Tes ini dilakukan setiap semester sebagai syarat mengikuti uas. Ada tiga sesi di setiap tesnya, layaknya tes TOEFL.
   Sudah satu jam aku menunggu di kelas A2-4 untuk memulai tes ini. Tapi peserta yang lain belum 100% datang. Yaa, wasting time lagi. Tidak hanya peserta yang terlambat tapi pengawas tes itu pun juga terlambat. Beliau melakukan korupsi waktu secara terang-terangan. Tes itu akhirnya dimulai pukul 16.05. Aku mulai mengerjakan soal-soal dengan seksama berharap mendapat hasil yang maximal. Fokus mencari jawaban, bukan malah lirik kanan kiri karena ini hanya akan membuat hati dan pikiran waswas alias takut. Serasa diintai ribuan orang dan diincar secara halus. Akibatnya konsentrasi berkurang. Sungguh, ini tidak dibenarkan. Kuncinya percaya diri aja, yakin dengan jawaban yang akan ditulis pada lembaran kertas. Berharap itulah yang terbaik yang dapat aku hasilkan. Belajar integritas dari hal yang terkecil, maka yang aku dapatkan justru kepuasan dan senyuman lebar saat tes selesai dilakukan. Yess, aku nggak nyontek lho #serius hhaaaa. Sebenarnya soal-soal itu belum semua aku jawab, tapi karena kendala waktu yaa aku isi aja dengan jawaban seadanya tanpa pikir panjang. Ini akibat terlalu fokus mengerjakan soal-soal di bagian awal ditambah lagi konsentrasi itu semakin buyar karena ada satu tema lagi di otak “janji menghadiri acara yang lain”
   Dengan cepat ku langkahkan kaki keluar ruangan kelas, mengikuti irama detak jantung yang semakin berpacu dengan waktu. Aku menghambur menuju perempatan Kuningan untuk menemukan sebuah kopaja hijau dengan notes 66 di depan kacanya. Tempat ini sangat strategis, berdekatan dengan Balai Kartini, Mampang, Pancoran dan Trans Corp. Setengah jam sudah aku menunggu, sesekali muncul rupanya kopaja ini sudah penuh sesak oleh penumpang dari arah Blok M. Aku pun harus bersabar menunggu kopaja yang lewat selanjutnya.
   Aku menaiki kopaja 66 tepat pukul 18.01 melewati Kuningan. Hujan mulai turun, deras dan semakin deras. Gelap, semakin gelap karena memang tak ada lampu terang di dalam transportasi ini. Kopaja ini semakin penuh sesak akibat hari ini adalah weekend. Semua orang tahu, jumat malam adalah puncak kemacetan jalan raya di Jakarta. Semua penumpang rata-rata adalah mahasiswa dan karyawan kantor yang berebut tempat menuju Manggarai. Tarif dua ribu perak membuat kopaja reyot ini terbata-bata dalam menjalankan fungsinya. Aku pun mulai bingung dengan barang bawaanku. Tas jinjing yang berisi laptop ini semakin penuh karena tadi siang aku baru saja membeli buku-buku baru di bazar yang bertengger di lobi kampus. Pusparatri dan Ajeg Bali, itu judul bukunya. Aku membelinya karena dasar aku suka kebudayaan dan ingin memperdalam pengetahuan tentang hal itu. Ini sungguh menyenangkan.
   Aku bersama penumpang yang lain terjebak macet parah di kawasan Kuningan, sekaligus hujan yang semakin deras. Kopaja semakin penuh, bau aneh semakin menyengat, begitu juga dengan hari yang semakin gelap. Hujan sederas ini ditemani kilat yang menyambar-nyambar. Sesak penumpang di weekend membuat kopaja ini harus berjuang keras dengan reyotnya. Lama-lama aku takut. Ku kirim sebuah pesan tentang rasa takut ini kepada Langit Biru. Dia adalah gatotkacaku-ku. Rupanya handphonenya belum aktif. Ya tuhan lindungi aku dari peristiwa mencekam ini. Dan tibalah sampai titik nadirnya. Tepat di depan Pasar Rumput -sampai sekarang aku masih belum menemukan asal usul mengapa disebut dengan Pasar Rumput- kopaja mengalami kelumpuhan dan berhenti di tengah jalan layaknya patung kopaja yang sengaja dibuat di tengah guyuran air hujan. Kondisi ini semakin menakutkan, kenek pun turun dan berusaha menenangkan para supir di jalan raya akibat kopajanya mogok. Dengan kondisi basah kuyup, bapak tua itu berteriak ke supir-supir “ini bukan mau kami” Bunyi bel terdengar di seluruh antero telinga manusia. Sangat bising. Ini benar-benar Jakarta. Seperti kisah titanic saja, banjir semakin meninggi ke kopaja, kilat menyambar-nyambar. Aku seperti berada dalam satu cerita lama itu #menyeramkan. Langit biru belum juga membalas sms ku. Aku paham, pasti handphonenya masih sakit.
   Kami, para penumpang benar-benar terjebak dan tak bisa keluar dari lingkaran seram. Dengan gusar semua penumpang ingin keluar, tapi terhalang hujan dan mobil-mobil yang melintas. Pemandangan yang jauh dari bayanganku sebelumnya. Setelah 35' menunggu, kopaja pun bisa hidup lagi. Akinya sedikit diperbaiki sehingga permasalahan agak berkurang. Air menetes di sudut-sudut kopaja karena bocor. Ku lihat wanita yang mukanya terlihat kesal karena basah kuyup terkena cipratan air hujan dan kebocoran kopaja. Sepertinya dia baru pulang kerja.
   Sampailah di terminal Manggarai dengan penuh perjuangan. Banjir di sini benar-benar seperti pada berita yang ku lihat di TV. Mungkin karena aku jarang melihat pemandangan nyata ini karena aku memang tinggal di daerah aman banjir. Bersyukur sekali rasanya. Namun cerita berkata lain, tak ada satu pun bajai yang beroperasi menuju daerah proklamasi akibat banjir ini. Perjalanan sore kali ini diteruskan dengan berjalan kaki sempoyongan akibat barang bawaan yang tidak terkontrol. Aku pun bermain-main dengan air hujan sepanjang perjalanan menuju rumah liberal ini. Rintik hujan ternyata mampu membuat basah kaos yang ku pakai. Reportase pun ku lakukan seperti biasanya, dengan mencatat setiap bagian yang ku anggap penting. Saat itu juga Langit Biru membalas pesanku dengan sms “be carefull ya, aku mau diskusi di Kom. Makan ya biar nggak kambuh lagi” Ini cukup membuat hatiku lega :)
    Syukurlah, akhirnya sampai juga dengan keadaan sangat lapar. Pikiranku sudah terbang kemana-mana saat berjalan menuju rumah freedom ini akibatnya aku tidak intens mengikuti diskusi itu. Aku bertemu dengan teman-teman sejawat dan mereka menanyakan situasiku sampai basah kuyup begini. Aku merasa puas. Pengen rasanya segera mengisi teriakan perut dengan kwetiaw, tapi bener-bener bersamanya. Yaa, semoga saja bisa #semangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar