24 Januari 2013

Negeri Merlion Diujung September

Cerita kali ini akan membahas tentang perjalanan yang sudah lalu. Tentang beberapa bulan yang lalu, yang memang belum sempat dibagikan ke dunia luas. Singapura. Negeri sebelah yang sekarangg memang lebih modern dibandingkan dengan Indonesia. Mulai dari segi infrastruktur, perekonomian, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya. Cerita perjalanan selama 4 hari kemarin hanya terpendam dalam otak dan ingatan saja.
Untungnya semua itu terasa harus digelar ibarat tikar. Bermula dari semalam ketika saya menemukan serendepity ini. Serendepity dengan Singapura yang tiba-tiba saja memberikan pertanda. Setelah selesai meeting Kereta Dongeng, kawan saya memberikan satu buku yang pastiya tidak jauh-jauh dari soal travelling atau backpacker

Dulunya dia sudah pernah memberikan satu buku yang berjudul “Backpacker Nekat” yang ternyata penulisnya juga bernama Ika (sama seperti saya maksudnya. Hheeee..)  Terima kasih Ipul, partner yang selalu sabar menghadapi kesibukan saya selama ini di Kereta Dongeng. Ada julukan darinya yang menempel pada saya lekat-lekat, Ms. Sibuk. Hhmm.. langsung bergumam dalam hati, sesibuk itukah saya? Buku yang sebelumnya ia berikan karena sebenarnya dulu ia sangat mengharapkan bahwa saya bisa seperti buku itu. Apalagi memang dilihat-lihat backgroundnya sama, suka travellingi dan juga suka nulis. Complete! Cuma belum suka jadi ilustrator (ini ngelesnya).
***
Saya masih ingat ketika tahun 2010 kemarin melakukan perjalanan yang juga singgah di Singapura. Selama satu jam di Changi Airport untuk menuju destinasi selanjutnya yaitu Turki. Rupanya ketika kemarin berkunjung kesana, waktu dua tahun tetap menjadikan Changi Airport sama saja. Juli 2010, saya melanjutkan naik Turkish Airlines menuju Istanbul, salah satu kota paling indah yang pernah saya kunjungi sampai di umur 19 tahun. Istanbul menjadi pusat peradaban di Turki. Melihatnya dari awan di malam hari membuat bayangan tentang kedamaian, kecerdasan, kehidupan tenang nan dinamis langsung mencuat. Lampu-lampu kota itu seperti tak mau padam untuk menyaksikan rombongan kami dari Indonesia mendarat dulu.

Perjalanan ke Singapura ini tetap dengan tagline “travelling with studying” disini saya akan murni menceritakan soal travellingnya saja. Dimulai dari Merlion Park, simbol Singapura berada. Patung ini berwarna putih  dengan kepada singa dan berbadan ikan bersisik. Konon, katanya Singapura merupakan kampung nelayan yang banyak singanya. Selanjutnya ke daerah Marina Bay Sand, hotel sekaligus tempat blink-blink yang isinya mall dan wahana hiburan. Sebenarnya saya tidak cocok ke tempat ini karena “ini bukan gue banget” klo kata orang Jakarta. Saya pernah baca buku “Tiga Manula Jalan-Jalan ke Singapura” bahwa inspirasi bentuk gedung ini berasal dari peristiwa Tsunami di Aceh beberapa tahun silam dimana ombak Tsunami bisa membuat kapal sampai nyangkut di atas pohon kelapa. Jelas itu hanya humor.

Lalu saya menalnjutkan perjalanan ke Orchard RD. Tempat ini merupakan surga bagi para shoppaholic. Isinya hanya butik-butik, barang-barang branded dan kalangan menengah ke atas sebagai pengunjung terbesarnya. Saya hanya diam, sambil mengamati ini itu ketika kesana. Sujujurnya, saya memang tidak suka belanja. Saya kesini hanya menuruti rasa ingin tahu dan sekaligus untuk menabung. Menabung secara langsung karena saya nabung inspirasi untuk dibawa pulang lagi ke Indonesia.

Hari selanjutnya saya mengunjungi China Town. Bangunan-bangunan tua China berdiri kokoh disana berhamburan. Rapi. Saya langsung saja ingat dengan Kota Tua di Jakarta karena bangunannya memiliki predikat yang sama yaitu bangunan tua yang dilindungi. Bedanya kalau di China Town, bangunan memang dimanfaatkan dengan baik. Kalau di Jakarta sepertinya hanya dipakai untuk foto-foto saja. Namun, secara fungsional sudah mati. Selain itu, Singapura paling banyak diisi oleh suku China. Lainnya adalah suku melayu, India dan yang lainnya.

Sore harinya saya mencoba berwisata kuliner dengan mencari makanan yang khas disana. Pertama, saya menemukan nasi briyani dan roti prata. Nasi briyani merupakan masakan India yang dimaak dengan aneka rempah-rempah sehingga ada bau khas dari makanan ini apalagi kalau dihidangkan hangat-hangat. Kalau di Indonesia lebih mirip dengan nasi kuning. Kemudian makan roti prata, roti khas India juga. Nama asli prata di India adalah paratha. Satu makanan yang sampai sekarang saya belum berniat untuk memakannya, ada Chili Crab. Makanan ini merupakan perpaduan antara kepiting, kocokan telur dan saus savoury berwarna merah dengan bahan dasar bawang putih, cabe dan tambahan saos tomat. Hhmm.. saya bukan pecinta makanan pedas sehingga melihatnya makanan ini saja, nafsu makan saya langsung memudar seketika. Pasti bisa sakit perut makan Chili Crab, meskipun hanya sedikit pun.

Ada lagi minuman teh tarik yang di Indonesia juga populer. Saya justru lebih tertarik untuk melihat penjualnya yang akan menyajikan teh tersebut daripada minum teh tariknya. Menurut saya itu unik. Jadi makan tidak asal makan tetapi banyak sisi lain dari makanan tersebut yang bisa dicermati dengan baik. Satu lagi yang belum saya coba, Singapore Sling. Ini adalah menu cocktail. Biasanya disajikan dengan warna merahnya.

Nah, yang membuat saya senang ketika ke Singapura kali ini, saya menemukan surga lagi. Surga itu berbentuk es krim potong. Es krim potong disini berbentuk balok dengan ukuran sekitar 3 cm yang dibalut dengan roti atau bisjuit wafer. Saya langsung saja ingat dengan es potong di Kota Tua, yang juga sangat saya sukai. Es krim potong di Kota Tua terdiri dari rasa kacang hijau, vanila, strobery, duren dan tape ketan hitam dengan harga dua ribu rupiah saja.

Yang sangat membuat Singapura berbeda dengan Indonesia salah satunya adalah bebas asap rokok dan alat transportasinya yang super efektif dan higienis, Mass rapid Transit. Dimana-mana bersih dan tidak ada asap rokok. Dengan kecanggihan yang dimilikinya, tapi tetap saja Singapura memiliki kelemahan. Bahasa. Yaa, bahasa. Beberapa hari tinggal disana sangat membingunkan jika mau komunikasi dengan orang sana untuk sekedar tanya atau membutuhkan bantuan. Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah Singlish, Singaporean English. Tata bahasanya benar-benar berantakan bagi saya. Percampuran bahasa inggris, tamil, melayu dan China ada dalam Singlish. Saya pun harus memasang telinga lebar-lebar untuk bisa mencerna apa yang sedang mereka bicarakan. Pusing rasanya.

Selain es krim, saya juga menemukan surga dalam bentuk lain yaitu little India. Kampung India di Singapura yang semua isinya hanya orang India dan segala ornamen serta perabot asli India. Saya tiba-tiba membayangkan ingin sekali memakai kain sari dengan rambut panjang yang diurai. Dari dulu, saya memang sangat suka dengan apapun yang berbau India. Awalnya dimulai dari seringnya menonton film-film India waktu masih SD. Sampai sekarang saya sangat suka dan mencari-cari film-film India zaman dulu untuk sekedar jadi koleksi atau ditonton kembali. Little India menjadi penutup trip saya kali ini. One day, i’ll get India directly.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar