12 November 2012

Kembali Ke Daerah

Siang ini terasa seperti pagi yang segar. Meski Jakarta diliputi mendung tebal yang berhawa panas. Saya sengaja datang ke kampus siang ini untuk bertemu Mbak Hene, pembimbing akademik saya di Paramadina. Mbak Hene adalah wanita yang sangat energik. Mungkin saya meniru beliau yaa kalau soal ini. Hheee.. Beliau juga yang tahu saya mulai pertama kali, bahkan sebelum saya masuk kuliah di Paramadina.

Dulu, beliau adalah salah satu tim panel yang menjadi juri Paramadina Fellowship saya di Surabaya. Mbak Hene yang menarik saya untuk keluar dari batas ‘canggung dan malu’ sehingga saya bisa total saat penilaian waktu itu. Beliau juga yang berhasil membuat saya menangis tersedu-sedu saat proses wawancara fellowship. Saya juga masih ingat, dulu beliau meminta saya untuk menarikan satu tarian jawa yang saya bisa. Dengan spontan saja saya mengiyakan dan langsung menuju panggung, disaksikan banyak pasang mata anak muda yang mempunyai visi sama. Kuliah di Paramadina. Saat itu yang ada di otak saya hanya, “Mbak Hene itu juri fellowship ini jadi saya harus menuruti semua permintaannya agar saya bisa mendapatkan poin plus” meski terlihat agak klasik tapi itu saya lakukan dengan jujur. Padahal waktu itu saya tidak ingat betul gerakan tariannya, apalagi musiknya karena saat ke Surabaya saya tidak prepare sejauh itu. Saya tetap menari dengan percaya diri, tanpa musik dan alat yang lain. Tentu saja.

Terima kasih banyak Mbak, kalau diingat dan dikenang-kenang, rasanya semua itu membuat hati tersenyum lega. Rasanya tagline yang selalu saya jadikan pegangan hidup itu benar-benar berjalan dengan baik, melihat kondisi saat ini. Love the proses and respect the result of it. Tiga tahun silam, 9 Juni 2009 saya dipandu oleh Mbak Hene untuk bisa bercerita. Tentang proses, desain dan tujuan hidup di masa mendatang setelah saya lulus SMK.

Tujuan primer saya bertemu beliau siang ini adalah minta tanda tangan. Ada satu berkas penting yang memang harus mendapatkan persetujuan darinya. Nah, masuk ke ruangan beliau rasanya seperti flashback beberapa tahun silam. Mbak Hene, sampai sekarang, tetap dengan personality brandnya seperti waktu pertama kali saya bertemu. Tepatnya momen paling mendebarkan yang terjadi di Hotel Surabaya. Saya suka itu. Beliau mengenakan celana jins casual.  Sepatu yang  saya tidak tahu merknya apa tapi saya sangat suka jika Mbak Hene yang memakainya. Di pikiran saya, sepertinya yang cocok dengan sepatu model tersebut cuma Mbak Hene. Ditambah lagi kemeja cantik motif bunga-bunga. Mbak Hene sempurna dengan dandanan semacam ini.

Saya kira saya hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15’ di ruangan beliau. Ternyata salah besar. Template ‘kangen’ sepertinya memenuhi ruangan mungilnya. Saling menanyakan kabar masing-masing menjadi pengantar menuju topik selanjutnya. Kami berdua bercengkrama mengingat momen-momen 2009 itu dulu. Sambil tertawa renyah, muncullah statement dari wanita cantik berparas dewasa sempurna ini “nggak nyangka yaa.. cepet amat lulus. Perasaan baru kemarin masuk kuliah” Saya pun menjawab dengan nada sumringah “iyaa ya mbak, perasaan baru kemarin Mbak Hene ngetes saya di Surabaya sampe saya nangis, bicara jujur soal cita-cita dan keluarga” Tapi ada satu hal yang berubah dari saya kalau kata Mbak Hene. Katanya saya tambah gemukan, beda waktu awal masuk kuliah dulu. Yeaay, itu artinya saya menjalani hidup dengan senang. Korelasinya, berat badan saya naik. Meski jika dilihat detailnya, sebenarnya badan saya tetap kecil.

Siang itu saya merasa menemukan oase. Oase yang menjadi tempat sharing soal akademik. Tentunya selain orang tua saya pribadi dan (alm) pakde saya. Tidak lain dan tidak bukan, sosok itu adalah Mbak Hene. Saya mencoba share tentang kesibukan saya belakangan ini. Tentang kantor, tentang riset dan yang beberapa hal lain. Sampai pada akhirnya, saya merasa harus cerita tentang apa yang lama terpendam dan terasa belum menemukan jawaban yang tepat karena saya dilanda bimbang. Itu tentang ‘pinangan’ dari seorang guru terkasih di bulan april lalu. Ini merupakan kabar bahagia sekaligus kabar yang menjadikan saya harus berpikir matang-matang, tidak asal bilang tidak atau iya. Tetapi bagaimana efek selanjutnya dengan keputusan yang saya ambil. Tentang selanjutnya, apa yang harus saya lakukan dengan datangnya kabar ini.

Topik siang itu langsung berganti. Kami membahas masalah yang saya rasa cukup kompleks. Pasca lulus dari Paramadina, saya dipinang untuk mendidik murid-murid di Malang. Guru, itu sebutan yang paling saklek untuk soal kali ini. Awalnya guru saya meminta bulan oktober ini agar saya sudah mulai mengajar di Malang, tetapi dulu saya belum bisa menjawab apa-apa karena saya masih semester 6. Belum skripsi.

Saya bercerita tentang bimbangnya hati untuk memilih atau menutup telak ajakan mulia ini. Mbak Hene, dengan gaya yang saya suka menjabarkan banyak hal. thesisnya adalah jelas disitu bahwa beliau mendukung total agar saya menerima pinangan tersebut. “Menjadi akademisi itu panggilan hati. Kalau jadi desainer, itu sebenarnya bisa kamu lakukan kapan saja, malam hari atau pun hanya di waktu weekend. Kerjaan di dunia desain itu lebih tidak mengikat waktu kita secara formal. Dan menjadi guru itu akan lebih menyenangkan. Banyak hal yang akan kamu temukan disana”

Lalu saya membalas “Iya mbak, saya sangat paham kalau soal ini. Tapi saya sepertinya masih belum pantas jadi guru. Ilmu saya sangat minim, saya mengakui itu” Hhmm, sejenak kami mengambil nafas secara bersamaan. Kemudian beliau menjawab dengan sangat bijak, ditambah dengan gayanya yang khas, “Namanya manusia, dia memang nggak akan pernah puas. Percayalah sama saya, bahwa pasti ada sesuatu yang kamu dapatkan selama kamu kuliah. Nggak seminim yang kamu kira begitu. Setidaknya jika kamu bilang ilmu masih kurang, justru dengan menjadi guru kamu pasti akan banyak belajar. Dan kamu harus paham bahwa pasti banyak hal yang bisa kamu share ke anak didikmu nanti soal pengalaman kamu yang luar biasa di Paramadina ini. Saya sangat percaya, Ika pasti bisa!” dengan muka paling sumringah dan bersemangat yang saya tahu, beliau menuturkan semuanya panjang lebar, seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.

Saya hanya mendengarnya setiap detail kalimatnya yang membuat merinding sambil terus mencerna. Apa yang harus saya lakukan. Saya juga menambahkan bahwa saya memang memiliki cita-cita itu. One day, saya pasti akan kembali ke kota saya. Membesarkan kota saya sendiri yang selama ini menjadi pijakan saya berdiri. Yaa, mungkin jalannya adalah dengan memilih untuk menjadi akademisi ini.

Obrolan kami terus berlanjut. Semakin dalam dan terus mengakar “dari semua yang saya sampaikan ke kamu, itu sedikit menjadi alasan mengapa saya ada disini sekarang. Menjadi dosen di universitas” saya merasa diberi amunisi ampuh untuk meledakkan segala bom yang ada di dalam diri saya selama ini. Tentang semua ini. Saya cukup kaget dengan respon mbak Hene karena saya kira mungkin beliau akan mendukung saya bekerja di industri kreatif. Menetap di Jakarta. Tapi ternyata saya kalah telak dalam permainan tebakan kali ini. Beliau justru kontras dengan pemikiran yang selama ini saya kubur dalam. Beliau mendukung saya secara total untuk kembali ke daerah, untuk berkarya disana. ”Banyak hal yang bisa kamu lakukan disana, daripada hanya menjadi desainer yang dimonopoli oleh keuntungan satu instansi saja” kata mbak Hene lagi. Saya sendiri sangat mengakui itu.

Saya berpikir bahwa saya akan jauh lebih bermanfaat untuk banyak orang dan banyak lingkungan dengan jalan ini daripada hanya berdiri di titik desain. Setidaknya itu pemikiran yang memang masih duduk rapat di otak saya sampai detik ini. “Dengan boomingnya Indonesia Mengajar yang ada di media belakangan ini, banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk lolos menjadi pengajar mudanya. Namun, kamu harus tahu Ika, bahkan ketika kamu menerima pinangan dari sekolah itu, kamu sudah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Indonesia Mengajar. Kamu tak perlu jauh-jauh ingin menjadi bagian dari Indonesia Mengajar tersebut karena apa yang kamu lakukan nantinya similiar dengan jalan Indonesia Mengajar. Bedanya kamu justru mendapat yang lebih enak, di kotamu sendiri, dengan fasilitas yang tentunya lebih banyak mengalir karena daerahmu juga termasuk daerah yang sangat berkembang. Apalagi kamu sangat mengetahui medan yang akan kamu hidupi. Siapa yang tidak mengenal Malang” Rasanya denyut nadi ini hampir terputus, tapi nggak jadi. Rasanya campur aduk. Hari ini mbak Hene benar-benar menjawab apa yang sebenarnya saya tanyakan pada alam dan hati. Dan seketika saya menyimpulkan obrolan panjang kami. Saya akan kembali dalam waktu dekat. Tidak perlu menunggu lama.

Awalnya memang terlihat lebih tertata dan sistematis. Saya memang ingin bekerja di industri kreatif dulu di Jakarta untuk beberapa tahun sembari menyiapkan amunisi terbaik untuk beasiswa S2. Lalu setelah itu saya berkarya di Malang, membesarkan kota saya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang saya tulis dalam janji “Cita-cita saya di masa mendatang” di berkas fellowship. Berkas yang cukup menentukan jalan saya sampai saya menjadi manusia yang sekarang ini. Janji itu bukan hanya diucap, tetapi juga direalisasikan. Harus! 

Saya masih ingat bahwa saya dulu menuliskan kalimat ini di salah satu form berkas fellowship tersebut “Nantinya, ketika saya sudah sukses, saya akan membangun foundation untuk anak-anak yang bernasib yang sama dengan saya, yang memiliki mimpi serta semangat yang tinggi untuk apa yang diyakini. Karena saya disekolahkan ‘orang’ (re: dari beasiswa” nantinya saya juga akan melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah memberikan jalan untuk saya menuntut ilmu di Paramadina. Saya akan balik menyebar kebaikan yang harusnya lebih banyak dari apa yang dilakukan oleh donor beasiswa saya sekarang” Dan sekarang saya menambah kalimat itu dengan, Saya tisak sukses secara instan tapi ada proses yang mengikuti dan menjadi saksi.

Sejenak saya terdiam hanya untuk flashback dan terus mensyukuri nikmatNya. Hening dan tersenyum simpul. Support dari mbak Hene membuat saya merubah jalur planning yang sudah dibuat matang. Mana yang lebih baik, antara bekerja di industri kreatif lalu tetap tinggal di kota ini atau kembali ke daerah untuk menyebarkan apa yang selama ini saya dapat di Jakarta. Sekali lagi, mana yang lebih baik? Who know’s? Itu jawaban penutup yang selalu Ajahn Brahm ajarkan kepada para pembaca setia bukunya. Keputusan 80% sudah bulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar