6 Agustus 2012

Langit Biru Membawaku Bertemu Jember Fashion Carnaval


Ceritanya, ini adalah kali pertama bagiku bisa join di Jember Fashion Carnaval. Senang sekali rasanya. Really. Setahun belakangan ini aku memang menggandrungi sesuatu yang sering disebut orang dengan JFC ini. Tentunya bukan tiba-tiba jika sekarang aku menjadi bagian darinya. Everything happens for a reason. Akan ku ceritakan sedikit flashback mengapa dan ada apa di balik JFC.  Sampai-sampai beberapa teman terdekatku pernah bilang bahwa aku seperti ‘tergila-gila’ dengan pelopor karnaval di Indonesia ini.
***

Berawal dari langit biru, passion ini dibangunkan. Juni 2011, kami travelling dari Malang, Banyuwangi, Bali dan akhirnya berakhir di sebuah kota singgahnya, Jember. Tak akan mengira jika sekarang aku seperti ditempeli magnet alam dengan kota ini. Pertama kali menginjakkan kaki di Jember adalah ketika kami usai dari Bali. Berangkat dari terminal Ubung, Denpasar. Tepat pukul 03.00 dini hari kami tiba. Aku masih ingat, kami turun di Gladak Kembar. Yaa, itulah ingatan pertama yang akan aku sebutkan ketika ke Jember. Pagi itu, Ia sengaja mengajakku untuk sarapan di warung tenda yang sepertinya memang dibuka sejak tengah malam. Dengan senyuman, aku cukup melihatnya makan dengan lahap. Jujur saja itu terlalu pagi untuk sarapan dalam agenda pagiku. Aku menghangatkan badanku dengan teh manis di sebelahnya. Aku akhirnya sampai di kota Jember yang selalu Ia puja-puja.

Waktu itu aku memperkirakan bahwa Jember sedang memasuki musim dingin. Itu pun menurutku musiman karena dingin bekunya hanya di malam hari. Menginjak siang hari, panasnya tak ketulungan. Tak seperti Jakarta, panas di Jember sangat mirip dengan Bali. Sangat menggigit kulit. Usai sarapan,  kami bergegas menuju kos temannya untuk istirahat sejenak. Sebelum meninggalkan warung itu, dengan gayanya yang khas Ia bilang  “makanan disini itu mantap jaya. Selalu cepat habis saking larisnya” Melewati jalan Sumatra, kami menuju perumahan mastrip menggunakan jasa ojek. Pantas saja, itu masih sangat pagi sehingga tidak ada angkot yang beroperasi. 15’ kemudian kami sampai. Rupanya langit biru harus menggedor-gedor pintu kosan karena temannya masih sembunyi dibalik dinginnya hawa. Tidur pulas.

Momen ini adalah kali pertama aku benar-benar dipertemukan dengan satu per satu teman langit biru. Yaa meski yang satu ini masih terlihat ngantuk, tapi dia sangat welcome terhadapku. Ia menyuruhku istirahat sebelum akhirnya melihat perhelatan akbar kota Jember nanti siang. Jember Fashion Carnaval X. Akhirnya. Sebenarnya agenda utama yang sudah kami rencanakan beberapa bulan sebelumnya memang untuk melihat langsung JFC di kotanya, bukannya travelling ke Bali. Namun, seiring berjalannya waktu agenda itu luntur oleh romantisme Bali. Untung saja langit biru mengingatkanku bahwa tujuan awal adalah Jember. Ok, aku siap sekarang.

Pukul 10.00 aku diajak berkumpul bersama teman-temannya. Teman-teman yang sebelumnya sudah diperkenalkan via twitter dan facebook oleh langit biru. Sebenarnya kami pun sudah saling akrab, sungguh tak asing ketika melihat mereka. Berbagai sapaan untukku mulai terdengar langsung ditelinga siang itu. Bude. Bu ani. Dan yang paling sering muncul dari mereka adalah kalimat semacam ini “Oo, ini toh orangnya” aku sedikit tahu maksudnya. Kami pun berkenalan secara face to face. Suasana lebih mencair karena seperti dugaanku, mereka orang yanag sangat humoris. They’re nice people that I’ve ever meet. Hati mulai mengembang. Sebelum menuju alun-alun kota Jember, kami menyempatkan diri untuk breaklunch di sekitar Unej. Gudeg dan ayam bakar menjadi pilihan yang tepat bagi 6 orang yang sedang lapar.

Siang itu akhirnya aku menyaksikan sendiri sesuatu yang dimataku menjadi spektakuler. Dari kampus Unej langit biru mencari jalan alternatif menuju alun-alun. Jalanan sudah sangat ramai. Angkot sudah offline. Ribuan manusia ada disini. Prediksiku, semua warga Jember sedang meluncur ke tempat ini, ikut menyaksikan acara tahunan terbesar kota Jember ini. More than crowded i think. Yang selalu menjadi kenangan manis adalah untuk menuju alun-alun itu, kami harus melewati rel kereta api. Hampir mirip jembatan gantung. Dan kami melewatinya berdua. Kami sepakat momen itu dibilang romantis.

Sepanjang jalan aku gembira tak terkira melihat run away dan para model yang tumpah ruah di jalanan dengan kostum unik mereka. Ratusan model ada disini. Bermacam-macam kostum dengan temanya masing-masing. Dan aku baru tahu kalau penggolongan tema di JFC itu disebut defile. Mulai dari yang kecil sampai yang tua ikut menjadi talentnya. Semua menyunggingkan senyuman lebar kepada audiencesnya. Seperti model yang sudah terlatih. Peran yang mereka lakukan benar-benar all out dengan tambahan karakter yang mereka mainkan. Saat itu aku hanya berpikir “bagaimana bisa mereka melakukan semua ini” Kostum yang mereka kenakan bukan hanya unik tapi juga sangat memakan volume. Kok bisa kuat yaa bawanya. Dulu aku juga pernah melakukan parade kostum dan budaya ketika di Polandia, tapi itu hanya kostum tarian tradisional yang bisa dibilang ringan. Meski memakainya kadang sangat rumit. Aku benar-benar masih heran, di tengah siang yang sangat terik ini mereka melakukan ini semua. Untuk apa? Setelah itu aku mendengar kasak kusuk bahwa kostum itu dibuat sendiri dan dengan modal sendiri. What is it? Habis berapa ya? Kembali berputar pemikiran-pemikiran itu di kepalaku. Gila. Benar-benar menakjubkan. Catatan khusus, make up yang mereka pakai adalah make up karakter sehingga muka para talent itu serasa lebih hidup. Dipenuhi permata kecil menjadikanku tak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.

Langit biru dan teman-temannya sempat kegirangan saat salah seorang talent berjalan di depan mereka. Mereka mencoba menggoda gadis cantik itu. Diceritakannya bahwa dia adalah adik angkatannya di kampus. Waw, aku langsung berpikir mungkin ini jalannya. Ntah itu jalan apa yang ku maksud. Aku memintanya untuk mempertemukanku dengan gadis mungil itu, yang memang sebelumnya sudah ku kenal. Ia juga pernah berkunjung ke Malang bersama rombongan langit biru di bulan mei lalu.

Rupanya kami berpencar. Setelah berjalan di sepanjang run away tersebut, ternyata yang tersisa hanya tinggal aku dan dia. Rasa senang, kasihan, terharu bercampu menjadi satu. Sesekali aku melihat langit biru di belakang, tak lagi menemaniku di samping. Semakin jauh perjalanan, ia lebih menunggu di belakang. Aku tahu dia lelah harus mengikuti kegiranganku ini. Aku cukup maklum. Pasalnya kami tidak statis menonton karnaval ini melainkan berusaha mengikuti jalannya para talent ke arah GOR. Anehnya, semakin lama raut mukanya juga semakin menciut. Aku baru ingat, sebelum berangkat ke Jember dia pernah bercerita. Meski tinggal di Jember beberapa tahun, Ia belum pernah melihat JFC dengan alasan keramaian yang dimuntahkan jalanan kota Jember membuatnya tak nyaman. Nah, kali ini tentunya menjadi hal yang pertama untuknya. Satu lagi kegiranganku datang.

Aku rasa kegiatan ini membawa begitu banyak manfaat. Selain manfaat yang diperoleh para talent dan JFC tentunya. Jelas sekali bahwa banyak perputaran kegiatan ekonomi dilakukan disitu. Banyak orang yang berjualan dengan beraneka ragam dagangan. Penonton yang memadati jalanan menjadi objek yang dituju sebagai pembeli. Mulai dari minuman, payung, makanan, topi, souvenir dan lain sebagainya. Acara ini menjadi acara hiburan gratis bagi warga. Banyak yang menyaksikan bersama keluarga lengkapnya, ibu ayah dan anaknya. Semuanya memancarkan senyum senang. Tukang parkir juga ikut merayakan kemenangan ini. Belum lagi toko-toko di areal Pasar Tanjung yang menjual berbagai macam bahan untuk kostum mereka. Rasanya kota Jember saat itu memanen. Hotel dan penginapan juga full booked saat JFC digelar. Peminat acara ini bukan hanya warga Jember tetapi berbagai penonton yang datang dari Madura, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dll. Dan  jangan salah, banyak turis yang juga meramaikan kota Jember saat itu. Hampir semua yang melihat selalu menenteng kamera masing-masing. Mulai dari kamera HP, Pocket maupun DSLR.

Menjelang sore performance mereka masih berlangsung. Sejak saat itu, aku mengutuk dalam hati. Aku harus bisa menjadi bagian dari JFC. Ntah kapan waktu itu menunjukkannya padaku. Tekadku sudah bulat. Apalagi melihat JFC sebagai fenomena budaya dimana topik ini akan selalu berbusa-busa untuk ku bahas dan ku pelajari. Really love it. Dalam satu hari, JFC bisa mengumpulkan ribuan manusia dari berbagai kota untuk datang. Melihat mereka berinteraksi menjadi pemandangan orange bagiku. Culture yang ia persembahkan juga tak kalah penting. Kostum yang mereka buat adalah bagian dari culture yang sangat fantastic dan perlu dipelajari lebih dalam. Aku ingin tahu seperti apa rasanya. I’m in Jember Fashion Carnaval.

Esoknya, aku diajak ke rumah adik angkatan yang sudah disebutkan di awal tadi. Kami mengunjungi rumahnya ramai-ramai. Aku sharing dengannya mengenai beberapa beberapa hal JFC. Dia pun antusias dalam bercerita. Dan diujung pembicaraan, aku sengaja untuk meminjam kostumnya. Aku benar-benar ingin mencobanya. Tentu saja dia mengizinkan. Mulailah dipasangkan satu per satu bagian kostum Athena itu. Sampai semua terangkai menjadi satu kesempurnaan kostum yang didominasi warna kuning keemasan. Sayangnya dokumentasi foto itu lenyap. Ibarat tamu agung, semua teman-teman menyaksikanku dengan penuh keheranan. Mereka yang sudah lama stay di Jember saja tidak terlalu interest dan tidak seheboh ini dengan JFC. Justru aku yang baru menginjakkan kaki disini langsung jatuh hati. Kali ini Jember benar-benar membuatku tersenyum lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar