16 Agustus 2012

Gading Night Carnaval Menjemput Satu Mimpiku

Sejak pertemuan langsung dengan karnaval tahunan di Jember itu, aku tak henti-hentinya mencari informasi tentang Jember Fashion Carnaval. Keinginan untuk bisa terjun langsung menjadi sangatlah besar pasca janji itu terucap di pinggir jalan, di run away fashion terbesar di Indonesia itu. Artikel demi artikel dan foto demi aku susuri. Hanya saja aku memang bukan tipe manusia fanatik sehingga aku tak sampai memajang foto-foto itu di dinding kamar asramaku layaknya anak-anak ABG yang memasang poster foto idolanya.

Tepat di bulan mei kemarin, aku mendapat celah untuk mendekatkan diri ke JFC. Senang sekali bisa mendapatkan kesempatan ini. Minggu pagi hari aku dipertemukan langsung dengan partikel of JFC. Agenda tersebut dilaksanakan di Esmood Jakarta. Setelah naik dua kali kopaja, aku pun sampai di lokasi yang kebetulan berada di daerah Fatmawati ini.  Ternyata aku tak sendiri, di aula tersebut sudah banyak anak muda yang juga memiliki interesting yang sama terhadap JFC. Aku datang dengan penuh kepercayaan diri. Apalagi aku pernah melihat secara langsung show mereka di kota kesayangan Mereka, Jember. Mayoritas yang datang hanya tahu JFC lewat media saja. Hatiku mengembang. Ini adalah agenda untuk menjadi volunteer JFC di beberapa event yang akan dilaksanakan oleh JFCnya. Baik itu di Jakarta ataupun di Jember. Pikirku, ini adalah cara yang paling efektif agar aku bisa menjadi talent suatu saat nanti. Yaa tidak masalah kalau sekarang harus jadi volunteer dulu yang penting suatu saat nanti mimpi itu bisa terwujud.

Hari itu adalah pertama kalinya bisa sharing secara langsung dengan founder JFC, Dynand Fariz. Sosok Dynand Fariz ternyata berbeda dari apa yang ada dalam benakku selama ini. Ia adalah laki-laki sederhana, yaa aku sangat suka dengan kesederhanaannya ini. Dari mataku, Ia seolah menjadi bapak yang sangat hangat untuk anak-anak multitalent bimbingannya. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri teguh dan penuh kharisma, membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan menghormatinya. Tak ada satupun yang memanggilnya bapak, cukup hanya dengan sapaan yang biasanya meluncur untuknya “mas Fariz” Yang lebih menjadi ciri khasnya adalah ia selalu mengenakan celana pendek selutut, kaos polo yang kerahnya dinaikkan ke atas, sepatu sporty, ada dua kalung yang selalu menempel di lehernya dan tentu saja rambutnya di stylis model jabrik. Ntah itu model apa, aku tak begitu paham. Gayanya yang menurutku juga sangat keibuan dan kalem. Jika Ia tersenyum, aku rasa senyumnya penuh misteri.

Siang itu mas Dynand Fariz menceritakan suka duka perjalannya sampai akhirnya JFC bisa terkenal seperti sekarang. Sedikit flashback, ketika dulu Ia masih kuliah, teman-temannya sering tidak tahu kota Jember. Dimana Jember itu? Pertanyaan itu yang sering muncul untuknya. Dari sinilah tekad bulat itu terpatri, Ia ingin menjadikan kotanya dikenal banyak orang. Dikenal karena prestasinya, bukan karena keburukannya. Ia bercerita dengan penuh semangat bagaimana perjuangannya mendirikan wadah bagi anak-anak muda Jember yang idealis dengan fashion dan karnaval ini. Mas Dynand Fariz merintis semuanya dari nol. Berbagai terpaan diterimanya dengan hati lapang dan diteruskan dengan usaha yang gigih untuk mewujudkan mimpinya. Tentunya JFC yang saat ini Anda lihat berbeda dengan 10 tahun lalu. Ada proses panjang yang harus dilaluinya yang menjadikannya sekarang ‘kaya’ dan aku pun bisa berkata bahwa mas Dynand Fariz memang sosok yang luar biasa. Dengan background pendidikan yang dimilikinya, Ia senantiasa membimbing anak-anak yang ingin mengikuti JFC. Tidak ada sedikitpun biaya yang harus dibayar. Ia mampu menjadikan anak-anak Jember menjadi manusia-manusia kreatif sepertinya. Berlenggak-lenggok di catwalk dengan penuh pesona dan kepercayaan diri utuh atas kostum yang mereka buat sendiri.

Sedikit info, talents JFC bukanlah model sungguhan. Mereka hanya anak muda biasa, yang tak memiliki pendidikan khusus modelling. Namun, secara kemampuan mereka bisa disandingkan dengan model nasional bahkan internasional. Banyak keunikan yang membuatnya berbeda. Talents yang masuk ke JFC tidak melalui seleksi khusus mengenai tinggi dan berat badan layaknya model sungguhan yang kita tahu. Semuanya bisa ikut asalkan ada kemauan dan loyalitas tinggi. Anak SMP, SMA, Perguruan Tinggi, mereka yang sudah bekerja dan yang sudah berumah tangga pun banyak yang ikut berpartisipasi. Keunikan lainnya, kostum yang akan mereka pakai adalah kostum yang mereka rancang sendiri. Di desain sendiri dan dikerjakan sendiri. Tentu saja dengan biaya independent. Disini aku akan mengambil kesimpulan, jika tak memiliki passion dan minat yang super jangan sekali-kali mengikuti pola JFC. Pasalnya biaya yang digunakan untuk membuat satu kostum bisa jutaan rupiah. Dulu aku sempat bergumam “Gila. Apa-apaan ini. Untuk apa mereka buat kostum segede dan seribetnya. Apalagi, mungkin kostum itu hanya dipakai sekali saat showtime tiba. Nggak sayang uang apa yaa” tapi itu dulu, tentunya sebelum passionku meninggi. Jadi kalau ingin ikut JFC dipikir-pikir dulu yang matang yaa. Kalau orang yang nggak ada passion di bidang itu mungkin bisa gila sungguhan buat kostumnya. Pola bermake up para talent juga memiliki ciri khas ala JFC yaitu make up karakter sesuai dengan defile yang mereka bawakan. Ini menjadikan wajah lebih hidup, tidak sekadar cantik.

Dari penjelasan mas Dynand Fariz aku tahu satu hal lagi. Keunikan JFC di kalangan internasional adalah JFC bisa menggabungkan dua unsur sekaligus dalam satu waktu performance. Fashion dan Carnaval. Negara lain biasanya hanya unggul dan fokus di satu titik saja, seperti Prancis dan Itali yang terkenal dengan fashionnya. Trinidad & Tobago yang menjadi pelopor karnaval dan bahkan menjadi kota karnaval dunia. Melebihi itu semua, Jember, dari sudut kota di Jawa Timur mampu menggabungkan keduanya. Perpaduan antara fashion dan karnaval yang dikolaborasi dengan cantik. Untuk itu juga JFC mendapat prestasi kembali dari dunia internasional menjadi urutan ke-4 kota karnaval di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil dan Jerman. Fantastic !!!

Hatiku terasa bergejolak ketika melihat video-video JFC  yang diputarkan oleh tim kreatif. Itu adalah video dokumenter beberapa event JFC baik di Indonesia maupun di luar negeri. Melihat hasil kerja sineas tersebut, rasa nasionalismeku tiba membuncah. Bulu kudukku langsung berdiri ketika melihat bendera Indonesia berkibar dengan gagah di London. Apa yang dilakukan JFC bukan hanya menjadikan Jember dikenal banyak orang, tapi Indonesia secara keseluruhan. JFC ingin membawa nama harus negeri ini ke manusia dibelahan bumi lainnya. Hal itu bisa dan akan terus mereka lakukan. Sineas yang memproduksi video tersebut juga hebat aku rasa. Kolaborasi antara video, backsound lagu dan dubbernya bisa membuat perasaan yang ntah itu lebih disebut apa. Yang jelas kami yang melihat semakin mencintai Indonesia. Kami, audiences terharu dengan tayangan itu.

***

Event pertama yang aku ikuti, Gading Night Carnaval. Waktu itu hanya 4 orang yang terpilih sebagai volunteer baru. Aku dan mas dondik dari Universitas Paramadina serta Sizi dan Doni, temanku dari Universitas Indonesia. Jumat sore sepulang kuliah aku berangkat menuju Kelapa Gading bersama mas Dondik. Aku tak mempersiapkan diri penuh rupanya karena aku lupa jika ini weekend. Pasti akan terjadi kemacetan parah dimana-dimana dan kami tak mempersiapkan hal itu. Kami malah berangkat mepet waktu. Kami memilih rute dari Universitas Paramadina menuju Cawang. Mayoritas pasti tahu bahwa itu adalah salah satu rute busway termacet di Jakarta. Setelah menunggu antrian panjang sekitar satu jam, kami pun naik. Berdesak-desakan dengan para karyawan yang pulang kerja. Sampai di titik yang kami tuju, busway malah berhenti beroperasi. Saat itu ada kemacetan parah sehingga puluhan busway yang menuju Cawang tertunda kedatangannya. Kami bingung seketika karena jadwal yang diagendakan untuk volunteer adalah pukul 20.00 di Kelapa Gading. Ini adalah pertemuan pertama kami sehingga kami tidak ingin telat walau hanya satu menit.

Kami mencari jalan alternatif menuju lokasi dengan menggunakan angkot. Dari koridor Cawang, kami keluar dan naik angkot berwarna biru ke arah Pluit. Kemudian transit satu kali lagi. Sampailah kami di daerah Kelapa Gading. Aku kira, ancer-ancer Kelapa Gading yang diberikan panitia sudah cukup menjadi kompas penunjuk jalan. Ternyata Kelapa Gading itu sangat luas. Kami harus mencari titik-titik yang lebih spesifik, yaitu di belakang Hotel Haris. Itu tempat berkumpulnya para volunteer. Maklum saja, meski tinggal di Jakarta beberapa tahun, sekalipun aku tak pernah ke daerah ini. Mau ngapain kesini? Jauh lagi. Aku merasa tak punya kepentingan apapun di daerah Kelapa Gading sehingga aku tak pernah menginjakkan kaki disini. Sebenarnya disini adalah surganya bagi para shopaholic. Namun, aku bukanlah bagian darinya.

Akhirnya kami tiba disana. Ku jelaskan kepada tim managemen yang menyambut kami bahwa kami tidak tahu arah menuju lokasi. Nyasar. Mereka pun memaklumi. Kesan pertama yang kudapat, mereka ramah terhadap orang baru. Kami mulai berkenalan satu sama lain. Melihat-melihat printilan kostum yang terpajang rapi di luar ruangan. Beberapa jam kemudian, aku mengikuti agenda briefing untuk para talent dan personil drumband. 15’ lagi akan dilakukan gladhi bersih di titik run way. Nah, disinilah aku mulai bertanya-tanya. Gladhi bersih jam satu malam. Bayangkan saja. Dengan memakai sayap kostum yang super gede, mereka harus melakukan gladhi bersih di sepanjang titik. Aku mulai terheran-heran. Biasanya jam segini adalah moment tidur pulas. Istirahat untuk mengumpulkan energi karena esok siang perform yang sesungguhnya akan dimulai. Tapi tidak dengan JFC. Mereka melakukannya dengan sangat profesional. Meski aku melihat banyak talent yang sebenarnya merasa capek tapi mereka tetap melakukannya dengan semangat.

Gladhi bersih selesai pukul 05.00 pagi. Semua sudah terlihat loyo karena kecapekan dan tentu saja kurang tidur. Kami harus kembali ke hotel memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk ngecharge energi. Tiba di hotel pukul 06.00 dan jam 09.00 kami harus standby di dining room untuk breakfast. Melebihi dari jam itu, kami tak kebagian jatah makan. Tampak muka ngantuk dan sisa-sisa lemas di tubuh para talent dan personil drumbandnnya. Setelah makan pagi ini, mereka harus bersiap-siap membersihkan diri dan make up. Menunggu giliran mereka make up, tak ada yang bisa ku lakukan untuk membantu mereka. Make up dilakukan secara independent dan tidak membutuhkan bantuan volunteer. Aku pun keluar ruangan.
para peserta lomba fashion Gading Night Carnaval
Di luar juga tak kalah rame. Rupanya ada lomba fashion ala Gading Night Carnaval. Banyak peserta disana. Dan dilihat dari model baju-baju mereka sebenarnya itu terinspirasi dari JFC. Tidak akan tidak. Detail kostumnya juga menyimpan banyak keindahan. Mas Dynand Fariz menjadi salah satu jurinya.
saat grand juri
Dynand Fariz yang mengenakan polo shirt hijau
she's beautiful
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu warga Jakarta sore itu. Para talent sudah menghiasi wajah mereka dengan baluran make up tebal, karasteristik dan penuh pesona. Selanjutnya, mereka akan mengenakan kostum mereka satu per satu. Inilah letupan pertama dalam hati. Aku bisa melihat kostum-kostum JFC itu dengan mata dekat. Waw, it’s awesome. Jika satu tahun yang lalu aku sudah dikejutkan dengan melihat face to face JFC di Jember sekarang dikejutkan kembali dengan kostum-kostum fantastic yang ada di depan mata. Peranan volunteer segera dimulai. Kami membantu para talent untuk memakai kostum tersebut. Baru ku tahu jika kostum itu terdiri dari beberapa unsur. Topi, atasan, bawahan, deker, belt, sayap dan beberapa tambahan aksesoris lainnya. Sayaplah yang paling banyak memakan tempat. Kostum itu juga di rangkai ulang alias bisa dicomot-comot. Luar biasa.
Karina, she's very smart
creative talent, Livo Gery Wijaya
Setelah semua bagian menempel di badan, barulah mereka mencoba berjalan sekilas. Itu dimaksudkan apakah kostum itu sudah nyaman. Jika belum, maka akan dibenahi sehingga saat run way nanti mereka akan menikmatinya. Tidak bingung dengan kostumnya saja. Rasanya semua mata tertuju pada karnaval fashion terbesar di Indonesia ini. Seperti di Jember, audiences juga sangat antusias untuk mendokumentasikan makhluk cantik luar biasa ini. Apalagi saat itu adalah malam minggu, sudah pasti penonton akan penuh sesak.
Ivan Vanani & Ayundavira Intan, master of talent JFC
aku bersama vo yang lainnya
Performance ini selesai malam hari. Rasanya terbayar lunas kerja keras mereka selama mempersiapkan show akbar ini. Setelah kembali ke base camp, muka mereka tak ada sedikitpun yang kecut. Semuanya sumringah. Mungkin yang mereka rasakan saat itu adalah kelegaan bisa menghibur warga ibukota yang datang untuk menyaksikan. Seperti biasa, ini juga menjadi bagian yang paling dinanti-nanti oleh para personil JFC. Evaluasi langsung bersama mas Dynand Fariz. Evaluasi ini menjadi agenda penting untuk mengetahui sejauh apa perform yang mereka lakukan. Hambatan dan kesan-kesan apa yang mereka dapatkan saat show. Karena ternyata yang ikut show ini bukanlah talent yang dipakai secara permanen tetapi ada yang baru saja bergabung di event ini. Ada rasa haru saat beberapa talent mengungkapkan isi hatinya. Tak jarang juga mereka yang bercerita, meluapkan semua perasaan kepada mas Dynand Fariz dengan tetesan air mata bahagia. Moment ini sungguh hangat. Kembali memancarkan aura kebapakannya, mas Dynand Fariz menjadi pengayom makhluk-makhluk dibalik ketenaran Jember Fashion Carnaval. Semoga mas Dynand Fariz senantiasa diberi kesehatan olehNya untuk melanjutkan misi-misi mulianya ini.

*Senang sekali bisa menjadi bagian dari Jember Fashion Carnaval*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar