21 Mei 2012

Agus Salim: Cendekiawan Indonesia Untuk Dunia Internasional

Pejuang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim merupakan anak seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat dengan nama aslinya Musyudul Haq. Ia merupakan keturunan pribumi dari kalangan priyayi yang santri. Nama pemberian keluarga itu memiliki arti 'pembela kebenaran' karena ayahnya berharap agar Ia memiliki sifat sesuai dengan nama yang diberikan. Saat masih kecil, Ia selalu diasuh oleh pembantu yang keturunan Jawa sehingga sering dipanggil ‘den bagus’ Semenjak itu pula, teman-temannya di sekolah sering memanggilnya 
dengan ‘Agus’ atau bahkan hanya sebutan ‘gus’.

Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa yang kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Jakarta. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Jawa dalam usia 19 tahun. Saat itu, tak banyak anak pribumi yang dapat bersekolah di tempat kalangan Eropa. Bahkan, Agus Salim menjadi kebanggaan Indonesia dengan nilai yang diraihnya, tentunya mengalahkan murid-murid Eropa sendiri. Setelah proses kelulusan yang menjunjung tinggi namanya tersebut, Ia justru tidak melanjutkan pendidikannya dikarenakan kondisi keuangan yang tak mencukupi. Kartini mulai mendengar gaung namanya. Dan Kartinilah yang mencoba merekomendasikan agar Agus Salim mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah Belanda. Ironisnya, Agus Salim justru menolaknya. Ia menolak beasiswa itu karena pemerintah Belanda memberikannya atas dasar rekomendasi dari tokoh emansipasi wanita Indonesia tersebut, bukan karena kapasitas dan kemampuan yang sesungguhnya ia miliki. Menurutnya ini sama saja dengan diskriminasi. 

Pada umur 22 tahun, Agus Salim  berangkat ke Jeddah. Ia bekerja pada Konsulat Belanda disana. Tak dinyana, Agus Salim bertemu dengan pamannya, Ahmad Khatib yang merupakan syekh dan lebih lama tinggal di Mekkah. Ia banyak menimba ilmu darinya, khususnya untuk masalah agama. Sang paman dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam masjidil Haram ini juga menjadi ilmuwan serta guru terhormat di Universitas Harramain Massajidal. Karena kecerdasannya, dalam waktu 5 tahun ilmu-ilmu Islam itu ia terapkan langsung ke kehidupannya. Di saat yang sama, ia juga belajar beragam bahasa seperti Turki, Inggris, Belanda, Prancis, Arab, Jerman dan Jepang.

Tahun 1915, ia kembali ke Indonesia. Agus Salim sempat terjun ke bidang jurnalistik dan menjadi ketua redaksi. Melalui usahanya yang sungguh-sungguh, Ia pun menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Kemudian Agus Salim bergabung ke Sarekat Islam yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Mereka menjadi partner yang saling membantu demi masa depan masyarakat Indonesia. Melalui organisasi inilah, Ia mengembangkan karier di bidang politik, agama, dan intelektualitas. Agus Salim dipercaya menjadi pemimpin kedua setelah Cokroaminoto. Tahun 1922 sampai 1925, ia menggantikan Cokroaminoto menjadi anggota Volkstraad dan sering melakukan pertemuan dengan pihak Belanda. Dipertemuan-pertemuan itu Agus Salim sering beradu argumentasi. Ia selalu berani dengan apa memang dianggapnya benar. Hal ini juga yang kemudian mengantarkannya sebagai Menteri Luar Negeri. Padahal pada masa-masa kolonial sekitar tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen penduduk Indonesia yang bisa baca tulis. Agus Salim adalah sosok yang cerdas dan langka, yang mampu membanggakan Indonesia di dunia internasional.

Pria yang sering mengenakan peci hitam dan menghisap cerutu ini pernah menempati posisi Menteri luar Negeri dalam beberapa kabinet, yaitu pada masa Sutan Syahrir, Amir Sjarifudin, dan Hatta. Pernah juga pada masa akhir, ia menjadi penasihat Menteri Luar Negeri. Namanya semakin melambung di tahun 1946-1950. Agus Salim seakan menjadi sosok bintang dalam dunia perpolitikan Indonesia saat itu sehingga ia mendapat sebutan The Grand Old Man (orang tua besar). Pemikirannya selalu kritis dan tajam. Agus Salim adalah duta besar Indonesia pertama untuk Britania Raya (sumber: New York Times).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar