10 Mei 2012

The Children of Srikandi


Bermula dari perkemahan kreatif di sudut kota Jogjakarta april lalu, aku diperkenalkan dengan sebuah film yang ‘tidak biasa’. Film dimana pertama kali melihatnya, ada rasa terkejut karena banyak kisah unik yang diungkapkan oleh film ini. The Children of Srikandi. Inilah judul film yang langsung menancap di otak ketika audiences mengucapkannya.

Awalnya aku menonton film ini bersama teman-teman camp yang juga memiliki pemahaman yang sama, datang kesini untuk belajar dan menghidupkan rasa keingintahuan. Namun, saat itu tidak banyak diskusi yang dilakukan untuk membahas film ini karena keterbatasan waktu. Yang kami tahu hanyalah kenyataan bahwa film ini merupakan garapan beberapa panitia camp, (salah satunya) kak Edit dan kak Imel. Kisahnya pun merupakan pengalaman pribadi mereka yang kemudian dicetak menjadi sebuah ritme skenario film. Aktor-aktornya juga pribadi mereka sendiri yang memiliki cerita tersebut. Singkatnya, film ini digarap oleh orang-orang multitalenta. Mulai dari ide cerita sampai aktor yang memainkan adalah mereka sendiri, juga produksi yang mereka lakukan. Kreatifitas dalam lensa video ini juga berhasil tampil di Berlin Film Festival. Bahkan Berlin ketika itu menjadi lokasi pemutaran premiere film ini (bukan di Indonesia). 
Reunian unyil Young Queer Faith & Sexuality Camp
Mengapa film ini ada di tengah-tengah kehausan kami -para peserta-  akan pengetahuan interfaith & sexuality? Yaa, tentu saja panitia sengaja memasukkannya dalam agenda camp guna menambah wacana peserta. Menunjukkan realita yang menyangkut kaum yang banyak disebut oleh kalangan hetero normatif sebagai kaum minoritas. Segera setelah itu, ada informasi bahwa film tersebut akan diputar di Jakarta untuk pertama kalinya, di Goethe Institute. Bulan Mei yang akan datang. Dan kami yang berdomisili di Jakarta tentu sudah mencatatnya dalam agenda kegiatan masing-masing. Kami akan hadir.
Film maker sharing pengalaman kepada audeinces
Sekitar satu bulan kemudian, waktu yang dinanti-nanti ini tiba. 6 Mei 2011. Aku bersama mas Dondik, Ipeh dan Gomat datang ke acara ini dengan sumringah. Niatan utamanya sebenarnya bukan untuk menonton film. Alasannya karena kami punya satu poin lebih, kami sudah menontonnya sebelum audiences yang duduk disini menunggu pemutaran filmnya. Sedikit tersenyum. Keinginan yang lebih besar adalah reuni unyil bersama rekan-rekan yang terlibat di camp kemarin, baik peserta maupun panitia. Dan niatan ini sudah terwujud malam itu di Menteng, Jakarta Pusat. 

Tak dinyana, banyak sekali audiences yang datang dengan antusias mereka. Ini sebagai wujud apresiasi mereka terhadap keberadaan karya yang dihasilkan oleh ‘mereka yang berani’
Secara teknik perfilman, saya berpendapat bahwa film ini biasa saja. Film yang awalnya diberi label film dokumenter. Harus diakui bahwa di dalamnya banyak sekali fiktif yang jelas terlihat sebagai sebuah skenario, bukan murni dokumenter. Banyak juga logika yang 'loncat' atas cerita yang disajikan. Berproses 'menjadi' akan membantu seseorang menemukan muara-muara baru yang mungkin lebih cocok dibandingkan dengan planning yang sudah dibuat sebelumnya. Namun, yang menjadi poin penting disini, mereka berani mengangkat kebisuan kolektif yang terjadi di masyarakat tentang apa yang sebenarnya mereka yakini dan dipilih menjadi jalan hidup mereka. Ada satu fliyer yang dibagikan ke setiap audiences yang masuk. Dan ada satu statement disana yang membuat hati saya tergugah sekaligus tersenyum lega. Ntah apa yaa bahasa yang bisa mewakili perasaan saat pertama kali membacanya. For the first time, queer Indonesian women breaking the code of silence. 
Congratulation for you !
Dari judulnya, Srikandi dipilih menjadi icon karena Srikandi (khusus di Indonesia) mewakili sosok perempuan yang sangat ‘tangguh’ bukan hanya menonjolkan maskulinitas. Film ini dibubuhi cerita wayang kulit dimana perwayangan tersebut dimainkan oleh Soleh (25) dan Anik (59). Keduanya adalah transgender. Wayang dipilih sebagai media untuk bercerita. Wayang juga dipercaya kuat mewakili karakteristik para tokohnya. Disini, saya yakin siapapun yang melihat kemampuan keduanya akan mengatakan bahwa dalang wayang dan sinden ini sangat berbakat, tanpa melihat identitas seksual mereka apa. Mereka berdua berkarya melalui media perwayangan, tentunya dalam hal ini mereka bisa menghasilkan sesuatu yang mencitrakan manusia utuh yang kreatif. Anggapan bahwa mereka -yang sering dianggap- sampah masyarakat harus segera dihilangkan. Manusia ini berhak untuk hidup, sama seperti yang lain. Terjemahan Anak-anak Srikandi ini ingin mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki cerita ‘hampir sama’ dengan Srikandi juga ada di bumi hijau ini. Srikandi bagi sebagian orang memang dipandang sebagai wanita utuh yang sangat mempesona. Di lain sisi, tidak bisa tidak, Ia merupakan transgender sehingga sosoknya yang kharismatik pun memiliki cerita ‘lain’. Berbeda cerita dengan Srikandi dari asalnya, India. Yang menunjukkan bahwa Ia justru perkasa dan gagah.
Srikandi in Action
Film ini berawal dari workshop yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Peserta yang notabenenya queer diprediksikan hanya dari Jakarta. Namun, karena antusiasme dari pemuda diberbagai daerah, akhirnya peserta pun diexpand. Ada yang dari Jogjakarta dan Bandung. Masing-masing peserta mengirimkan essai kisah pribadinya yang kemudian diseleksi oleh panitia. Hasilnya seperti yang kita lihat saat ini. Film The Children of Srikandi merupakan sequel cerita dari beberapa peserta yang terpilih kemudian dirangkai menjadi menjadi satu keutuhan film dalam durasi 74 menit. Penggarapannya pun mereka mulai sendiri. Menarik lagi, semua adalah wanita. Waktu produksi memakan sekitar 2 tahun.

Beberapa judul sequelnya antara lain Hello World (Imelda Taurinamandala) yang menceritakan tentang mimpi seorang anak perempuan yang menginginkan dirinya menjadi laki-laki. Jlamprong (Eggie Dian) bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di jalanan kota Jogjakarta. Ia mengalami beberapa kali pelecehan seksual akibat dari orientasi seksualnya yang ‘berbeda’. Bahkan pihak yang seharusnya bisa melindungi, Polisi, justru ikut andil membuatnya mengalami masa-masa sulit yang penuh perjuangan.  Ada juga kelompok fundamental islam yang juga menganiayanya secara fisik dan batin. Melalui prosesnya, ia justru meyakini bahwa kehidupan jalanan menjadi keluarga yang hangat di matanya. Acceptance (Oji) mengisahkan seorang wanita yang memilih untuk memulai kehidupan baru di kota yang baru. Pilihan ini diambil sebagai jalan terbaiknya untuk terus berdamai dengan orientasinya. Edith’s Jilbab (Yulia Dwi Andriyanti) menggambarkan kisah seorang wanita yang berpendidikan dengan background agama islam yang kuat. Suatu ketika ia mengikuti kajian-kajian dimana disitulah ia menemukan pertanyaan dasar atas agama dan Tuhannya. A Verse (Winnie Wibowo) menceritakan tentang kisah seorang wanita yang merupakan kakak tertua dari 3 bersaudara. Ia meninggalkan keluarga biologisnya saat berumur 12 tahun karena alasan orientasi seksualnya. Ia mencoba memulai kehidupan yang baru dengan perjuangannya di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Di luar, ia justru menemukan keluarga yang begitu hangat menerimanya. In Between (Hera Danish) bercerita bagaimana seorang wanita yang hidup ‘diantara’ keduanya. Biseksual. Ketika ia mengaku sebagai biseksual, banyak yang menolaknya. Dari pihak laki-laki juga dari lesbian yang lain. Deconstruction (Stea Lim) memberikan wacana dimana banyak sekali gender stereotype yang dibentuk masyarakat, khususnya untuk queer di Indonesia. Dan yang terakhir yaitu No Label (Afank Mariani). Pemilihan label bisa berubah-ubah. Manusia dikonstruksi untuk masuk hanya ke dalam satu kategori saja. Padahal kenyataannya banyak manusia yang bisa masuk ke beberapa label sekaligus. Artinya, menggunakan label atau tidak sebenarnya adalah pilihan pribadi yang harus dihormati.
Salah satu lirik yang saya ingat dari soundtrack film ini mereka tertawa seakan sempurna. Banyak yang menganggap dengan memiliki keyakinan yang ‘tak sama’ berarti berbeda. Parahnya stereotype norma menjadikan ‘mereka’ seperti harus disingkirkan dari permukaan. Seolah-olah yang tertawa merasa benar. Film ini memang tidak memberikan jawaban penuh atas pertanyaan-pertanyaan yang seketika akan muncul dibenak audiencesnya. Film ini lebih ditujukan sebagai pengguliran wacana bahwa fakta ‘ini’ memang ada di masyarakat kita. Jelas sekali bahwa film ini tidak memberikan sebuah jawaban yang mungkin dicari-cari para auidences yang bertanya karena proses itu akan terus berlanjut. 
Menurut saya, cara seperti ini yang justru membuat masyarakat bisa lebih kritis dan akan menggali lebih jauh tentang tema, khususnya pada film ini. Bukan hanya sekedar menerima doktrin-doktrin beku dari stereotype yang sudah berkembang sejauh ini. 
Di akhir acara pemutaran film ini, kami mulai mencairkan suasana dengan bersilaturahmi bareng-bareng. Kembali bergumul dengan memori-memori saat camp yang penuh keakraban dan kisah-kisah seru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar