5 Maret 2012

Review Film Negeri 5 Menara

Malam ini agenda nonton saya lakukan bersama sahabat karib saya. Kita sengaja mencari bioskop baru -yang belum pernah kami kunjungi berdua- ntah apa alasannya sehingga kami memutuskan untuk ke Planet Hollywood. Selama 3 hari ini, kita selalu jalan bareng mulai dari ke Bazar Mega Komputer di JCC, Kompas Gramedia Fair di Senayan sampai nonton *Negeri 5 Menara* malam ini. Funtastic day, i think. 

Awalnya memang mengikuti arus yang sedang gencar ketika novel ini berhasil divisualisasi dalam bentuk film. Saya pun tergerak untuk menyimaknya karena novelnya pun juga sudah saya baca. Selesai nonton film ini, rasanya ghirah hidup disemarakkan oleh A. Fuadi sebagai pengarangnya. Apresiasi dari masyarakat pun sangat tinggi terhadap film ini. Dan tentunya (hastag) kembali ke jalan yang benar semakin membuat hati ini tersenyum.
Awal dari tayangan film ini, kita akan disuguhkan oleh quote yang memang menurut saya right. Jalani dulu, barulah kita tau mana yg paling baik. Dan ingat, jangan melihat sesuatu cuma liat dr sarungnya (luarnya). Saya juga sangat suka dengan opening filmnya an benar-benar menyuguhkan nuansa dan budaya Padang, dari logatnya, lingkungan dan etnisitasnya. Kebetulan tadi pagi saya melihat berita yang menyebutkan bahwa Habibie pun nonton bareng film ini bersama pemain-pemainnya. Dan tidak jarang cerita yang mengalir di film ini menyebutkan tentang Habibie yang dipuja sebagai sosok yang senantiasa menginspirasi kaum muda. Jika melihat Baso yang berasal dari Sulawesi itu, pikiran saya akan selalu tertuju pada sosok Habibie. Kecil tapi jenius. 

imaginasi yang muncul ketika membaca novel memang cenderung lebih luas jangkauannya daripada ketika menonton sebuah film, tapi film Negeri 5 Menara ini cukup jeli dalam membungkus ceritanya sehingga imaginasi yang ditimbulkan dari dua sisi itu juga tidak jauh beda. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa sering kali cerita yang dibayangkan di film-film biasanya tidak sama dengan novelnya. Kecenderungan yang terjadi yaitu cerita di novel lebih hidup daripadaketika difilmkan. Menurut saya itu hal yang wajar karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, ketika membaca novel jangkauan imaginasi tentunya tak terbatas. Sisi lainnya ketika novel itu difilmkan, penerjemah novel ke dalam bentuk film akan berbeda dengan penulis aslinya karena memang akan dirancang oleh berbagai tumpuan otak. Bukan digarap sendiri sehingga argumennya juga akan beragam.

Kebetulan saat ini bacaan saya tiba pada buku Membaca Nurcholish Madjid karangan Budhy Munawar Rachman. Disana ada penjelasan-penjelasan tentang bingkai pondok madani. Di film ini pula, bingkai tersebut semakin tercerahkan. Film ini membuat terharu, ada banyak nilai persahabatan yang juga ditonjolkan apalagi kasusnya sama dengan saya yang notabenenya merantau untuk studi. A. Fuadi mampu membangkitkan berbagai suasana sehingga audiences bisa langsung tertawa terpingkal-pingkal juga bisa menangis sesenggukan.

Bingkai kota ponorogo juga disajikan dengan apik, meski munculnya hanya sedikit. Yang jelas saya langsung ingat dengan teman saya yang asli Ponorogo, pasti dia sangat senang dengan background asalnya. Namun, yang juga perlu dicermati disini kalau bukan based on film saya rasa sebagian audiences juga tak akan mengingat atau mengenal kalau lokasi yang digunakan adalah salah satu daerah di Ponorogo. Tidak ada sesuatu yang menonjol disitu tentang Ponorogo tapi point of viewnya memang lebih mengarah ke pondok madaninya. Menurut teman saya yang asli Ponorogo tersebut, hanya ada tiga kota kecil yang dipakai. Dan pandangan saya yaitu ketika perjalanan dari Bukit Tinggi ke Ponorogo yang memang melewati daerah vitamin hijau, ketika beli es balok di sebuah toko dan perjalanan pulang dari membeli es balok tersebut. 

"Apa yg kau cari?" ini menjadi pertanyaan yang mendasar dari hidup dan ini pula yang diajarkan pada film ini. Ia juga mengajarkan kita untuk melakukan teknik persuasi yang kreatif, ini saya lihat ketika Alif dkk mempersuasi ustadz yang sangat suka terhadap dunia tenis dan mendorongnya untuk mengizinkan santri nonton bareng Thomas Cup di pondok. Pesan moral yang lain yaitu ketika mengkritik sesuatu maka alangkah baiknya jika dibarengi dengan solusinya. Maksudnya bukan hanya asal mengkritik keadaan. Dan itu yang dilakukan para sahibul menara pada kasus genset yang sering mati.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari film ini. Banyak pesan moral yang dapat dicerna dan dicermati. Secara visual, film ini bagus untuk dijadikan referensi karena tata cahaya, kamera dan juga artistik yang digarap dengan "berkilau". Film ini juga mengajarkan bahwa menjadi pendidik bukan lagi mengacu pada pencarian materi dan berorientasi terhadap diri sendiri, tapi lebih ke titik perjuangan seperti yang dicontohkan ustadz Salman. Ia ingin tetap berada di Pondok Madani tersebut, padahal Fitri sebagai calon istrinya sudah menanyakan kapan ia akan melamarnya. Dedikasi yang dilakukan oleh ustadz Salman sangatlah banyak sehingga Kyai pun menyuruhnya untuk kembali ke tanahnya,  meminang calon istrinya. Ia menyebutkan bahwa apa yang kau lakukan untuk pondok ini sudah banyak, itu hanya untuk orang lain. Sekarang saatnya kamu untuk memikirkan dirimu sendiri. Pulanglah.
Kritiknya ada di ending film, seperti ada logika yang terputus ketika sebagian dari sahibul menara tiba-tiba bertemu di London dan sebagian lain di Jakarta. Bagi yang belum baca novelnya pasti mereka akan bertanya-tanya mengapa mereka langsung berada di London. Ini yang membuat gregetnya berkurang.

Ada guyonan yang serius ketika kalimat itu muncul dari Baso, makanya Lif, perempuan itu jangan dijadikan taruhan, yang ada malah kau dapat cucian selama satu minggu. Dan kalau melihat Abdul Madjid, saya akan teringat pada sahabat tercinta saya yang juga berasal dari daerah yang sama, tanah sate Madura (based on logat). Ada kepuasan tersendiri ketika nonton film ini. Tidak sia-sia meski novel Negeri 5 Menara saya ini sekarang sudah rusak akibat ulah yang tidak disengaja oleh salah satu member perpustakaan saya. Novel itu hilang pada halaman-halaman akhir sehingga akan memutuskan cerita yang sedang membacanya. Ini merupakan pengalaman yang menarik karena perpustakaan saya waktu itu juga baru berdiri. Ada kemiripan yang terjadi pada kisah Baso dan Lintang di film Laskar Pelangi, mereka berdua sama-sama cerdas tapi tidak bisa melanjutkan studi formalnya karena kendala keluarga. Baso berhenti karena harus mengurus neneknya yang sakit dan Lintang karena ia harus mengurus adiknya.

Film ini juga mengingatkan saya pada ibunda tercinta di rumah. Yang dilakukan ibunya Alif di ending film ini sama dengan yang dilakukan ibu saya dulu ketika menghadapi suatu masalah. Ibu menyerahkan pilihan mutlak kepada saya karena memang yang tahu kondisinya adalah saya sendiri, tentunya ada syarat dan ketentuan yang berlaku disini. Tidak asal mengiyakan kemauan anaknya tapi memang ada kondisi yang mendesak.

Tempat belajar itu berpengaruh tapi yang lebih lagi adalah kesungguhan hati terhadap apa yang dijalani. Ini akan lebih berpengaruh terhadap proses belajar sesorang. Rezeki bisa mudah dicari tapi bagaimana dengan ilmu? kalau tanpa niat dan minat, bagaimana? ini yang diajarkan ayah Alif dalam meyakinkan anaknya agar mau bersekolah di Pondok Madani yang ada di Ponorogo tersebut karena ayah Alif sampai menjual kerbaunya untuk biaya Alif sekolah. 

Untuk mengejar ketinggalan, umat islam juga harus melakukan rasionalisasi dan modernisasi. ini terlihat dari sebagian latar yang ada di pondok madani. Ada keinginan seseorang untuk mengubah umat, bukan hanya mengubah diri atau keluarga sendiri. Ini yang diinginkan oleh ibunda Alif dan ini juga yang menjadi alasan mengapa Alif dikirim ke Pondok Madani bukannya SMA reguler seperti Randai. 

Yang dilakukan sahibul menara terhadap mimpinya hampir sama dengan apa yang saya lakukan dengan seseorang disana, tentang mimpi yang dibangun bersama. Kita menyebutnya sebagai #RoadtoOSU. Tapi mungkin itu dulu, sekarang sepertinya berbeda. Yaa, saya paham. Saya juga tidak menyalahkan siapapun karena ibarat daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Ingat pesan film ini man jadda wajadda itu tidak dilihat semata-mata hanya dari ketajaman otak seseorang. Selalu semangat dengan apa yang ada di depan dan terima kasih telah menularkan ghirah itu yang sampai sekarang masih gemerlap. Ini saya tujukan pada #langitbiru. Seperti yang juga disampaikan salah seorang teman dekat saya meskipun sekarang ia jauh, tapi ilmu atau ajarannya masih dekat sama kamu yaa. Saya senang untuk ini. Tuhan menunjukkan keindahan dengan jalan lain. 

*keep fight for future*
*life is colourfull*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar