Senja
kala itu, aku bersama beberapa teman yang berlandaskan primordialisme dari
Jakarta tiba di bundaran UGM, Jogjakarta. Tempat berkumpulnya manusia yang
ingin belajar dan bersilaturahmi. Senang. Perasaan itulah yang aku rasakan. Jogjakarta
bukanlah tempat yang asing lagi bagiku. Dan saat itu, merasakan Jogjakarta di
ujung senja memberikan warna tersendiri layaknya harmonisasi alam yang
mengikuti irama menuju malam.
Bersama
peserta camp yang lain, aku merasakan keberagaman itu hadir sebagai keunikan. Kami
datang dari berbagai macam identitas yang kami bawa. Dengan tema #LGBTIQ ini
aku merasakan benar-benar disamping mereka secara utuh. Bukan hanya dari lirikan
mata. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga muncul pilihan menjadi ‘beda’
menurut orang lain. Dan itu merupakan pilihan yang menjadi hak paling hakiki
dalam hidupnya. Pelajaran pentingnya “jangan
pernah ngejudge seseorang sebelum tahu apa sebab dibaliknya”
Datang dari
identitas yang berbeda menjadikanku banyak belajar. Belajar membaca dan
mengamati. Membaca lingkungan, membaca pikiran orang lain, membaca perilaku
manusia, cara berkomunikasinya dan adat istiadat yang dibawanya. Ini merupakan
salah satu cara untuk improve my self.
Dengan alasan-alasan inilah taglineku *travelling
with studying* itu semakin menyala. Siapa bilang travelling itu hanya buang-buang uang? Tidak. Sekali lagi, banyak
pelajaran yang bisa diambil asalkan melek lingkungan.
Dari bunda
Anna, aku tahu titik terang bahwa kita harus mengenali siapa diri kita. Tubuh
kita bukanlah political instrument. Dan
dengan kesadaran palsu, kita pun sering mengabaikan keinginan suara tubuh kita
sendiri, yang semestinya itu tidak dilakukan. Omah
Jawi menjadi wadah untuk belajar, berbagi, berkeluh kesah dan sekaligus bersenang-senang.
Banyak hal baru yang aku pelajari dari kalian semua yang menyenangkan. Hari-hari
terasa semakin hangat meski awalnya ‘dingin’ itu masih ada. Dan aku yakin, keluarga
beragam ini terbangun dari adanya cinta kasih yang damai.
Young Queer Faith & Sexuality Camp by Yifos |
Namun, jujur dari
awal ketika teman-teman khawatir apakah kita akan di brainwash oleh panitia tentang suatu pemahaman, aku justru menyebut
camp ini sebagai rumah dialog. Dimana kita bisa mengeluarkan pendapat,
bercerita, berdialog untuk menghasilkan sebuah solusi atau hanya sekedar
berbagi pengalaman dengan yang lain. Sebagai peserta camp, kita memiliki kemampuan literasi sehingga bisa memfilter informasi
yang masuk. No brain wash again.
Belajar merupakan suatu proses. Proses ini juga yang aku pelajari disini, bukan semata-semata mencari hasil jadi yang instan. Menjadi
berbeda bukanlah penghalang untuk saling bersama. Mengambil jalan ‘kiri’ pun bukan
jalan yang harus dimusnahkan. Dengan perbedaan itu, justru aku tahu banyak
kekayaan yang beragam diantara kita. Kita bisa hidup berdampingan dan saling
mendukung karena adanya toleransi yang penuh akan suatu pilihan.
Semoga ghirah
belajar ini akan tetap menyala seperti semangatnya ayam yang berkokok
membangunkan pagi.
Love the process and respect the result of it
*Senyum dan semangat*
*Senyum dan semangat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar