Siang ini terasa seperti pagi
yang segar. Meski Jakarta diliputi mendung tebal yang berhawa panas. Saya
sengaja datang ke kampus siang ini untuk bertemu Mbak Hene, pembimbing akademik
saya di Paramadina. Mbak Hene adalah wanita yang sangat energik. Mungkin saya
meniru beliau yaa kalau soal ini. Hheee.. Beliau juga yang tahu saya mulai
pertama kali, bahkan sebelum saya masuk kuliah di Paramadina.
Dulu, beliau adalah salah
satu tim panel yang menjadi juri Paramadina
Fellowship saya di Surabaya. Mbak Hene yang menarik saya untuk keluar dari
batas ‘canggung dan malu’ sehingga saya bisa total saat penilaian waktu itu.
Beliau juga yang berhasil membuat saya menangis tersedu-sedu saat proses
wawancara fellowship. Saya juga masih
ingat, dulu beliau meminta saya untuk menarikan satu tarian jawa yang saya
bisa. Dengan spontan saja saya mengiyakan dan langsung menuju panggung,
disaksikan banyak pasang mata anak muda yang mempunyai visi sama. Kuliah di
Paramadina. Saat itu yang ada di otak saya hanya, “Mbak Hene itu juri fellowship ini jadi saya harus menuruti
semua permintaannya agar saya bisa mendapatkan poin plus” meski terlihat agak
klasik tapi itu saya lakukan dengan jujur. Padahal waktu itu saya tidak ingat
betul gerakan tariannya, apalagi musiknya karena saat ke Surabaya saya tidak prepare sejauh itu. Saya tetap menari
dengan percaya diri, tanpa musik dan alat yang lain. Tentu saja.
Terima kasih banyak Mbak,
kalau diingat dan dikenang-kenang, rasanya semua itu membuat hati tersenyum
lega. Rasanya tagline yang selalu
saya jadikan pegangan hidup itu benar-benar berjalan dengan baik, melihat
kondisi saat ini. Love the proses and
respect the result of it. Tiga tahun silam, 9 Juni 2009 saya dipandu oleh
Mbak Hene untuk bisa bercerita. Tentang proses, desain dan tujuan hidup di masa
mendatang setelah saya lulus SMK.
Tujuan primer saya bertemu
beliau siang ini adalah minta tanda tangan. Ada satu berkas penting yang memang
harus mendapatkan persetujuan darinya. Nah, masuk ke ruangan beliau rasanya
seperti flashback beberapa tahun
silam. Mbak Hene, sampai sekarang, tetap dengan personality brandnya seperti waktu pertama kali saya bertemu. Tepatnya
momen paling mendebarkan yang terjadi di Hotel Surabaya. Saya suka itu. Beliau
mengenakan celana jins casual. Sepatu
yang saya tidak tahu merknya apa tapi
saya sangat suka jika Mbak Hene yang memakainya. Di pikiran saya, sepertinya
yang cocok dengan sepatu model tersebut cuma Mbak Hene. Ditambah lagi kemeja
cantik motif bunga-bunga. Mbak Hene sempurna dengan dandanan semacam ini.
Saya kira saya hanya akan
menghabiskan waktu sekitar 15’ di ruangan beliau. Ternyata salah besar.
Template ‘kangen’ sepertinya memenuhi ruangan mungilnya. Saling menanyakan
kabar masing-masing menjadi pengantar menuju topik selanjutnya. Kami berdua
bercengkrama mengingat momen-momen 2009 itu dulu. Sambil tertawa renyah,
muncullah statement dari wanita
cantik berparas dewasa sempurna ini “nggak
nyangka yaa.. cepet amat lulus. Perasaan baru kemarin masuk kuliah” Saya
pun menjawab dengan nada sumringah “iyaa
ya mbak, perasaan baru kemarin Mbak Hene ngetes saya di Surabaya sampe saya
nangis, bicara jujur soal cita-cita dan keluarga” Tapi ada satu hal yang
berubah dari saya kalau kata Mbak Hene. Katanya saya tambah gemukan, beda waktu
awal masuk kuliah dulu. Yeaay, itu artinya saya menjalani hidup dengan senang.
Korelasinya, berat badan saya naik. Meski jika dilihat detailnya, sebenarnya
badan saya tetap kecil.
Siang itu saya merasa
menemukan oase. Oase yang menjadi tempat sharing
soal akademik. Tentunya selain orang tua saya pribadi dan (alm) pakde saya.
Tidak lain dan tidak bukan, sosok itu adalah Mbak Hene. Saya mencoba share tentang kesibukan saya belakangan
ini. Tentang kantor, tentang riset dan yang beberapa hal lain. Sampai pada
akhirnya, saya merasa harus cerita tentang apa yang lama terpendam dan terasa belum
menemukan jawaban yang tepat karena saya dilanda bimbang. Itu tentang ‘pinangan’
dari seorang guru terkasih di bulan april lalu. Ini merupakan kabar bahagia
sekaligus kabar yang menjadikan saya harus berpikir matang-matang, tidak asal
bilang tidak atau iya. Tetapi bagaimana efek selanjutnya dengan keputusan yang
saya ambil. Tentang selanjutnya, apa yang harus saya lakukan dengan datangnya kabar
ini.
Topik siang itu langsung
berganti. Kami membahas masalah yang saya rasa cukup kompleks. Pasca lulus dari
Paramadina, saya dipinang untuk mendidik murid-murid di Malang. Guru, itu
sebutan yang paling saklek untuk soal kali ini. Awalnya guru saya meminta bulan
oktober ini agar saya sudah mulai mengajar di Malang, tetapi dulu saya belum
bisa menjawab apa-apa karena saya masih semester 6. Belum skripsi.
Saya bercerita tentang
bimbangnya hati untuk memilih atau menutup telak ajakan mulia ini. Mbak Hene,
dengan gaya yang saya suka menjabarkan banyak hal. thesisnya adalah jelas
disitu bahwa beliau mendukung total agar saya menerima pinangan tersebut. “Menjadi
akademisi itu panggilan hati. Kalau jadi desainer, itu sebenarnya bisa kamu
lakukan kapan saja, malam hari atau pun hanya di waktu weekend. Kerjaan di dunia desain itu lebih tidak mengikat waktu
kita secara formal. Dan menjadi guru itu akan lebih menyenangkan. Banyak hal
yang akan kamu temukan disana”
Lalu saya membalas “Iya mbak,
saya sangat paham kalau soal ini. Tapi saya sepertinya masih belum pantas jadi
guru. Ilmu saya sangat minim, saya mengakui itu” Hhmm, sejenak kami mengambil
nafas secara bersamaan. Kemudian beliau menjawab dengan sangat bijak, ditambah
dengan gayanya yang khas, “Namanya manusia, dia memang nggak akan pernah puas.
Percayalah sama saya, bahwa pasti ada sesuatu yang kamu dapatkan selama kamu
kuliah. Nggak seminim yang kamu kira begitu. Setidaknya jika kamu bilang ilmu
masih kurang, justru dengan menjadi guru kamu pasti akan banyak belajar. Dan
kamu harus paham bahwa pasti banyak hal yang bisa kamu share ke anak didikmu nanti soal pengalaman kamu yang luar biasa di
Paramadina ini. Saya sangat percaya, Ika pasti bisa!” dengan muka paling
sumringah dan bersemangat yang saya tahu, beliau menuturkan semuanya panjang
lebar, seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.
Saya hanya mendengarnya
setiap detail kalimatnya yang membuat merinding sambil terus mencerna. Apa yang harus saya lakukan. Saya juga
menambahkan bahwa saya memang memiliki cita-cita itu. One day, saya pasti akan kembali ke kota saya. Membesarkan kota
saya sendiri yang selama ini menjadi pijakan saya berdiri. Yaa, mungkin
jalannya adalah dengan memilih untuk menjadi akademisi ini.
Obrolan kami terus berlanjut.
Semakin dalam dan terus mengakar “dari semua yang saya sampaikan ke kamu, itu
sedikit menjadi alasan mengapa saya ada disini sekarang. Menjadi dosen di
universitas” saya merasa diberi amunisi ampuh untuk meledakkan segala bom yang
ada di dalam diri saya selama ini. Tentang semua ini. Saya cukup kaget dengan
respon mbak Hene karena saya kira mungkin beliau akan mendukung saya bekerja di
industri kreatif. Menetap di Jakarta. Tapi ternyata saya kalah telak dalam
permainan tebakan kali ini. Beliau justru kontras dengan pemikiran yang selama
ini saya kubur dalam. Beliau mendukung saya secara total untuk kembali ke
daerah, untuk berkarya disana. ”Banyak hal yang bisa kamu lakukan disana,
daripada hanya menjadi desainer yang dimonopoli oleh keuntungan satu instansi
saja” kata mbak Hene lagi. Saya sendiri sangat mengakui itu.
Saya berpikir bahwa saya akan
jauh lebih bermanfaat untuk banyak orang dan banyak lingkungan dengan jalan ini
daripada hanya berdiri di titik desain. Setidaknya itu pemikiran yang memang
masih duduk rapat di otak saya sampai detik ini. “Dengan boomingnya Indonesia Mengajar yang ada di media belakangan ini,
banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk lolos menjadi pengajar mudanya.
Namun, kamu harus tahu Ika, bahkan ketika kamu menerima pinangan dari sekolah
itu, kamu sudah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Indonesia
Mengajar. Kamu tak perlu jauh-jauh ingin menjadi bagian dari Indonesia Mengajar
tersebut karena apa yang kamu lakukan nantinya similiar dengan jalan Indonesia Mengajar. Bedanya kamu justru
mendapat yang lebih enak, di kotamu sendiri, dengan fasilitas yang tentunya
lebih banyak mengalir karena daerahmu juga termasuk daerah yang sangat
berkembang. Apalagi kamu sangat mengetahui medan yang akan kamu hidupi. Siapa
yang tidak mengenal Malang” Rasanya denyut nadi ini hampir terputus, tapi nggak
jadi. Rasanya campur aduk. Hari ini mbak Hene benar-benar menjawab apa yang
sebenarnya saya tanyakan pada alam dan hati. Dan seketika saya menyimpulkan
obrolan panjang kami. Saya akan kembali dalam waktu dekat. Tidak perlu menunggu
lama.
Awalnya memang terlihat lebih tertata dan sistematis. Saya memang ingin bekerja di industri kreatif dulu di Jakarta untuk beberapa tahun sembari menyiapkan amunisi terbaik untuk beasiswa S2. Lalu setelah itu saya berkarya di Malang, membesarkan kota saya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang saya tulis dalam janji “Cita-cita saya di masa mendatang” di berkas fellowship. Berkas yang cukup menentukan jalan saya sampai saya menjadi manusia yang sekarang ini. Janji itu bukan hanya diucap, tetapi juga direalisasikan. Harus!
Saya masih ingat bahwa saya dulu menuliskan kalimat ini di salah satu form
berkas fellowship tersebut “Nantinya,
ketika saya sudah sukses, saya akan membangun foundation untuk anak-anak yang bernasib yang sama dengan saya,
yang memiliki mimpi serta semangat yang tinggi untuk apa yang diyakini. Karena
saya disekolahkan ‘orang’ (re: dari beasiswa” nantinya saya juga akan melakukan
hal yang sama dengan orang yang sudah memberikan jalan untuk saya menuntut ilmu
di Paramadina. Saya akan balik menyebar kebaikan yang harusnya lebih banyak
dari apa yang dilakukan oleh donor beasiswa saya sekarang” Dan sekarang saya
menambah kalimat itu dengan, Saya tisak
sukses secara instan tapi ada proses yang mengikuti dan menjadi saksi.
Sejenak saya terdiam hanya
untuk flashback dan terus mensyukuri nikmatNya. Hening dan tersenyum simpul. Support dari mbak Hene membuat saya
merubah jalur planning yang sudah dibuat matang. Mana yang lebih baik, antara
bekerja di industri kreatif lalu tetap tinggal di kota ini atau kembali ke
daerah untuk menyebarkan apa yang selama ini saya dapat di Jakarta. Sekali
lagi, mana yang lebih baik? Who know’s? Itu jawaban penutup yang selalu Ajahn
Brahm ajarkan kepada para pembaca setia bukunya. Keputusan 80% sudah bulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar