Cerita
kali ini akan membahas tentang perjalanan yang sudah lalu. Tentang beberapa bulan
yang lalu, yang memang belum sempat dibagikan ke dunia luas. Singapura. Negeri
sebelah yang sekarangg memang lebih modern dibandingkan dengan Indonesia. Mulai
dari segi infrastruktur, perekonomian, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan
lain sebagainya. Cerita perjalanan selama 4 hari kemarin hanya terpendam dalam
otak dan ingatan saja.
Untungnya
semua itu terasa harus digelar ibarat tikar. Bermula dari semalam ketika saya
menemukan serendepity ini. Serendepity dengan Singapura yang
tiba-tiba saja memberikan pertanda. Setelah selesai meeting Kereta Dongeng, kawan saya memberikan satu buku yang
pastiya tidak jauh-jauh dari soal travelling
atau backpacker.
Dulunya dia sudah pernah memberikan satu buku yang berjudul “Backpacker Nekat” yang ternyata penulisnya juga bernama Ika (sama seperti saya maksudnya. Hheeee..) Terima kasih Ipul, partner yang selalu sabar menghadapi kesibukan saya selama ini di Kereta Dongeng. Ada julukan darinya yang menempel pada saya lekat-lekat, Ms. Sibuk. Hhmm.. langsung bergumam dalam hati, sesibuk itukah saya? Buku yang sebelumnya ia berikan karena sebenarnya dulu ia sangat mengharapkan bahwa saya bisa seperti buku itu. Apalagi memang dilihat-lihat backgroundnya sama, suka travellingi dan juga suka nulis. Complete! Cuma belum suka jadi ilustrator (ini ngelesnya).
Dulunya dia sudah pernah memberikan satu buku yang berjudul “Backpacker Nekat” yang ternyata penulisnya juga bernama Ika (sama seperti saya maksudnya. Hheeee..) Terima kasih Ipul, partner yang selalu sabar menghadapi kesibukan saya selama ini di Kereta Dongeng. Ada julukan darinya yang menempel pada saya lekat-lekat, Ms. Sibuk. Hhmm.. langsung bergumam dalam hati, sesibuk itukah saya? Buku yang sebelumnya ia berikan karena sebenarnya dulu ia sangat mengharapkan bahwa saya bisa seperti buku itu. Apalagi memang dilihat-lihat backgroundnya sama, suka travellingi dan juga suka nulis. Complete! Cuma belum suka jadi ilustrator (ini ngelesnya).
***
Saya
masih ingat ketika tahun 2010 kemarin melakukan perjalanan yang juga singgah di
Singapura. Selama satu jam di Changi Airport untuk menuju destinasi selanjutnya
yaitu Turki. Rupanya ketika kemarin berkunjung kesana, waktu dua tahun tetap
menjadikan Changi Airport sama saja. Juli 2010, saya melanjutkan naik Turkish Airlines menuju Istanbul, salah
satu kota paling indah yang pernah saya kunjungi sampai di umur 19 tahun.
Istanbul menjadi pusat peradaban di Turki. Melihatnya dari awan di malam hari
membuat bayangan tentang kedamaian, kecerdasan, kehidupan tenang nan dinamis
langsung mencuat. Lampu-lampu kota itu seperti tak mau padam untuk menyaksikan
rombongan kami dari Indonesia mendarat dulu.
Perjalanan
ke Singapura ini tetap dengan tagline
“travelling with studying” disini
saya akan murni menceritakan soal travellingnya
saja. Dimulai dari Merlion Park, simbol Singapura berada. Patung ini berwarna
putih dengan kepada singa dan berbadan
ikan bersisik. Konon, katanya Singapura merupakan kampung nelayan yang banyak
singanya. Selanjutnya ke daerah Marina Bay Sand, hotel sekaligus tempat
blink-blink yang isinya mall dan wahana hiburan. Sebenarnya saya tidak cocok ke
tempat ini karena “ini bukan gue banget” klo kata orang Jakarta. Saya pernah
baca buku “Tiga Manula Jalan-Jalan ke Singapura” bahwa inspirasi bentuk gedung
ini berasal dari peristiwa Tsunami di Aceh beberapa tahun silam dimana ombak
Tsunami bisa membuat kapal sampai nyangkut di atas pohon kelapa. Jelas itu
hanya humor.
Lalu saya
menalnjutkan perjalanan ke Orchard RD. Tempat ini merupakan surga bagi para shoppaholic. Isinya hanya butik-butik,
barang-barang branded dan kalangan
menengah ke atas sebagai pengunjung terbesarnya. Saya hanya diam, sambil
mengamati ini itu ketika kesana. Sujujurnya, saya memang tidak suka belanja. Saya
kesini hanya menuruti rasa ingin tahu dan sekaligus untuk menabung. Menabung secara
langsung karena saya nabung inspirasi untuk dibawa pulang lagi ke Indonesia.
Hari selanjutnya
saya mengunjungi China Town. Bangunan-bangunan tua China berdiri kokoh disana
berhamburan. Rapi. Saya langsung saja ingat dengan Kota Tua di Jakarta karena
bangunannya memiliki predikat yang sama yaitu bangunan tua yang dilindungi. Bedanya
kalau di China Town, bangunan memang dimanfaatkan dengan baik. Kalau di Jakarta
sepertinya hanya dipakai untuk foto-foto saja. Namun, secara fungsional sudah
mati. Selain itu, Singapura paling banyak diisi oleh suku China. Lainnya adalah
suku melayu, India dan yang lainnya.
Sore harinya
saya mencoba berwisata kuliner dengan mencari makanan yang khas disana.
Pertama, saya menemukan nasi briyani dan roti prata. Nasi briyani merupakan
masakan India yang dimaak dengan aneka rempah-rempah sehingga ada bau khas dari
makanan ini apalagi kalau dihidangkan hangat-hangat. Kalau di Indonesia lebih
mirip dengan nasi kuning. Kemudian makan roti prata, roti khas India juga. Nama
asli prata di India adalah paratha. Satu makanan yang sampai sekarang saya
belum berniat untuk memakannya, ada Chili Crab. Makanan ini merupakan perpaduan
antara kepiting, kocokan telur dan saus savoury berwarna merah dengan bahan
dasar bawang putih, cabe dan tambahan saos tomat. Hhmm.. saya bukan pecinta
makanan pedas sehingga melihatnya makanan ini saja, nafsu makan saya langsung memudar
seketika. Pasti bisa sakit perut makan Chili Crab, meskipun hanya sedikit pun.
Ada lagi
minuman teh tarik yang di Indonesia juga populer. Saya justru lebih tertarik
untuk melihat penjualnya yang akan menyajikan teh tersebut daripada minum teh
tariknya. Menurut saya itu unik. Jadi makan tidak asal makan tetapi banyak sisi
lain dari makanan tersebut yang bisa dicermati dengan baik. Satu lagi yang
belum saya coba, Singapore Sling. Ini adalah menu cocktail. Biasanya disajikan dengan warna merahnya.
Nah,
yang membuat saya senang ketika ke Singapura kali ini, saya menemukan surga
lagi. Surga itu berbentuk es krim potong. Es krim potong disini berbentuk balok
dengan ukuran sekitar 3 cm yang dibalut dengan roti atau bisjuit wafer. Saya langsung
saja ingat dengan es potong di Kota Tua, yang juga sangat saya sukai. Es krim potong
di Kota Tua terdiri dari rasa kacang hijau, vanila, strobery, duren dan tape
ketan hitam dengan harga dua ribu rupiah saja.
Yang sangat
membuat Singapura berbeda dengan Indonesia salah satunya adalah bebas asap
rokok dan alat transportasinya yang super efektif dan higienis, Mass rapid
Transit. Dimana-mana bersih dan tidak ada asap rokok. Dengan kecanggihan yang
dimilikinya, tapi tetap saja Singapura memiliki kelemahan. Bahasa. Yaa, bahasa.
Beberapa hari tinggal disana sangat membingunkan jika mau komunikasi dengan
orang sana untuk sekedar tanya atau membutuhkan bantuan. Bahasa yang dipakai
sehari-hari adalah Singlish, Singaporean
English. Tata bahasanya benar-benar berantakan bagi saya. Percampuran bahasa
inggris, tamil, melayu dan China ada dalam Singlish.
Saya pun harus memasang telinga lebar-lebar untuk bisa mencerna apa yang
sedang mereka bicarakan. Pusing rasanya.
Selain es
krim, saya juga menemukan surga dalam bentuk lain yaitu little India. Kampung India di Singapura yang semua isinya hanya
orang India dan segala ornamen serta perabot asli India. Saya tiba-tiba
membayangkan ingin sekali memakai kain sari dengan rambut panjang yang diurai. Dari
dulu, saya memang sangat suka dengan apapun yang berbau India. Awalnya dimulai
dari seringnya menonton film-film India waktu masih SD. Sampai sekarang saya
sangat suka dan mencari-cari film-film India zaman dulu untuk sekedar jadi
koleksi atau ditonton kembali. Little
India menjadi penutup trip saya kali ini. One day, i’ll get India directly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar