Siapa yang tidak tahu guru? Jawabannya pasti
sorak sorai. Bahkan anak PAUD pun pasti tahu ketika ditanya soal guru. Manusia-manusia
mulia yang hadir disekeliling kita hampir setengah hari penuh mendidik kita.
ntah itu di bangku formal sekolah atau informal. Bisa dibilang guru adalah
orang terdekat kedua setelah orang tua saya sendiri.
Sebenarnya saya mendapatkan insight nulis artikel ini ketika dalam
perjalanan Jakarta – Jogjakarta dalam menunaikan sebuah misi penting. Hari itu
bertepatan dengan hari guru
internasional, 4 oktober 2012 kemarin. Ketika itu kereta sudah mendekati
Jogjakarta. Pagi yang sangat cerah ditambah dengan pemandangan yang serba
menyejukkan hati dan mata.
Sepanjang jalan banyak anak yang
berangkat sekolah. Banyak dari mereka yang diantar oleh orang tua tercintanya. Kebanyakan
adalah bapak-bapak. Alasannya mungkin ibu-ibu sedang sibuk mengurus domestik
rumah tangga keluarganya. Orang tua itu memasang wajah sumringah dan penuh
harapan menatap masa depan anaknya. Sebenarnya ini refleksi perjalanan hidup
saya sendiri. Ingat kalau dulu pas sekolah juga seperti ini. Hheee.. Sesampainya
di sekolah, mereka akan disambut guru-guru yang hangat dan mendidik. They’re transfer of values to the students.
Happy
world’s teachers day, guru-guruku. Terima
kasih atas segala jasa-jasamu.
Tahun lalu saya merasa mendapat wangsit
dari Tuhan dan alam raya. Ketika itu juga pikiran saya langsung manuver 360
derajat untuk tujuan keren dan mulia. Jadi akademisi. Dulu waktu masih duduk di
SMK, saya sangat menjauhi angan-angan semacam ini. Menjadi guru bukanlah
pilihan menurut saya waktu itu. Alasannya, ketika saya menjadi mahasiswa
sekarang saya bisa melakukan banyak hal, mengelilingi banyak tempat baru dengan
tujuan yang selalu exciting. Tapi lihat
guru saya di SD, SMP atau SMK. Sampai sekarang beliau setia mengabdi pada anak
didik bangsa.
Saya mengambil kesimpulan, untuk menjadi
guru atau akademisi itu butuh passion dan harus merasa terpanggil. Tidak asal
jalan karena menjadi guru berarti akan sering melakukan interaksi sosial. Harus
benar-benar mau dari hati.
Dan seiring berjalannya waktu, saya
kembali menemukan jawaban yang cukup saya nantikan bertahun-tahun. setelah
melalui perdebatan dalam hati, saya memilih untuk menambahkan cita-cita saya di
dunia akademik yaitu dengan jalan menjadi akademisi. Mengapa saya tiba-tiba
saja muter otak?? Yaaa.. akhirnya saya menyadari betul peranan guru. Sungguh mulia
menjadi bagian dari alat pencerdas bangsa. Kalau tadinya mikir nggak mau jadi
guru karena pasti bakalan stag, but
sekarang saya justru mikir kebalikannya. Siapapun yang stag, itu jelas karena
probadinya sendiri. Karena mentalnya, bukan karena keinginannya dalam
mewujudkan mimpi atau objek mimpi tersebut.
Dan tepat bulan april lalu, ibarat sebuah
kado datang dari Malang. Pagi-pagi saya mendapat telpon dari pak Hedin, guru
SMK saya. Beliau meminta saya untuk mengajar di SMK. Waktu itu saya hanya bisa
mlongo. Mengapa?? Karena pagi-pagi sekali telpon itu berdering, belum sempat
beraktivitas. Lalu pak Hedin membawa satu misi mulia untuk saya. Segera saja,
bulan oktober ini harusnya saya sudah bisa mengajar di Malang. Letupan hamdalah
dari hati selalu menggema.
Antara bingung, kaget, senang dan banyak
rasa nanonano. Masalahnya, saat itu saya masih semester 6. Skripsi saja belum. Tapi
semua ini patut untuk disyukuri. Saya sangat percaya everything happens for a reason. Nggak ada yang tiba-tiba jatuh
dari langit kecuali serendepity.
Ofcourse, tetap di bidang yang saya sukai karena
saya diminta mengajar broadcasting. So, let it flow. Saya cukup bangga bisa
menjadi anak bangsa Indonesia. Dulu saya dicerdaskan oleh banyak pihak dan
sekarang giliran saya untuk menyebar lebih banyak kebaikan yang bisa saya
lakukan dengan cara ini.
Saya tidak lagi hanya memiliki cita-cita
di industri kreatif tetapi saya juga ingin terjun langsung ke dunia akademik. Kalau
kata kakek saya “diambil saja nduk. Menjadi guru adalah hal yang mulia. Bisa turut
mencerdaskan anak yang tadinya belum tahu apa-apa sehingga Ia nantinya menjadi
raja di negerinya sendiri. Mengacalah pada diri samean sendiri” Hhmm,
subhanallah.. seperti ditabok keliling muka. Statement kakek saya benar-benar
makjleb dan harus saya akui, saya pun bilang “iyeeeeesss”
Bicara soal guru, sebenarnya tulisan ini
juga saya buat special tribute to (alm.) pakde
saya. Pakde yang juga seorang guru di Malang. Beliau ambil bagian dalam
mencerdaskan anak bangsa. Anak desa lebih tepat karena saat itu pakde mengajar
di salah satu sudut desa tterpencil di Malang. Sampai saat ini saya rasa pakde
tetap eksis dan “panjang umur” Yang tiada hanyalah raganya saja karena panjang
umur bukan berarti harus bisa hidup beribu tahun lamanya. Tetapi bagaimana nama
dan jasanya tetap eksis di dunia sosial meski raga tak lagi bersamanya. Sampai sekarang,
nama dan jasa baiknya masih tetap diperbincangkan di kalangan murid, wali murid,
sesama guru dan juga warga yang mengenalnya. Beliau menjadi teladan yang sangat
baik. Dan saya rasa pasti pakde saya juga akan sangat senang mendengar berita
baik ini bahwa saya akan mengajar beberapa saat lagi. Ntah itu bulan depan,
tahun depan atau depannya lagi.
Keinginan menjadi akademisi juga semakin
dikuatkan ketika suatu waktu itu saya sedang ngobrol hangat dengan kakak kelas
saya. Namanya mas Inod. Tiba-tiba saja mas Inod nanya apakah saya punya
keinginan jadi guru. Hhmmm, diieeeeng..
Saya punya prinsip bahwa apa yang saya
dapatkan saat ini adalah hasil bantuan dari banyak pihak yang dinamakan proses
pembelajaran. Proses itu yang selalu mengajari saya untuk menjadi manusia yang
lebih baik. Dan saya tidak ingin menyimpan apa yang saya miliki sendirian. Ilmu
yang sepatutnya di share ulang ke yang lainnya. Tidak banyak orang yang
memiliki keinginan mulia seperti itu ketika dirinya sudah masuk dalam kawah
kesuksesan. Waktu itu mas Inod juga mengatakan hal yang sama. “Di usiamu yang
segini, ketika mungkin teman-temanmu masih mondar mandir tapi kamu justru banyak
pengalaman di banyak hal. apalagi kamu juga cerdas. Berharap banget kalau kamu
punya keinginan menjadi guru Fit.." Anak Indonesia butuh orang-orang sepertimu” Subhanallah..
Speechless seketika. Alhamdulillah.. terima kasih mas Inod yang sudah membangun
memori-memori ini beberapa tahun lalu. Saya merasa semakin terpanggil.
Pendidikan merupakan salah satu unsur
yang sangat penting dalam membangun bangsa yang kreatif. Kemudian, didukung
dengan kapabilitas guru yang memberikan pengajaran pada anak didiknya. Hendaknya
guru bisa mengajarkan apa yang baik dan membangkitkan daya imajinasi serta
kreatifitas anak. Tidak hanya itu, guru seharusnya juga kritis dalam memberikan
alasan-alasan yang memang dirasa benar atau salah sehingga siswa didik pun akan
berpikir, tidak hanya mengiyakan atau hanya sekedar mengahafal. Guru juga harus
bisa mendidik, bukan hanya mengajar karena pada dasarnya dua hal ini berbeda.
Mendidik berarti mentransfer value-value dan materi pelajaran sehingga
kedekatan emosional antara guru dan siswa terikat. Pendidikan karakter juga
terwujud dari adanya kegiatan mendidik, bukan hanya sekedar mengajar.
Dari serangkaian kabar baik tersebut,
sebenarnya saya sendiri masih belum memutuskan untuk “deal” mengajar di dua
tempat itu. Saya punya janji sakti untuk daerah saya sendiri. Dan menjadi
akademisi itu juga sejalan dengan cita-cita saya untuk merealisasikan
berdirinya Langit Biru Foundation. Satu langkah lebih dekat menju mimpi ini.
Apakah saya harus menerima pinangan guru
atas nama ilmu? Hhmm, sampai saat ini saya masih terus brainstorming. Sebagai putri daerah yang merantau untuk mencari
”bekal” sebanyak-banyaknya, saya memang punya janji sekaligus tanggung jawab
terhadap kota kelahiran saya ini. Namun, saya rasa mungkin waktunya bukan
sekarang. Saya masih harus mencari bekal sebanyak-banyaknya karena jika kembali
ke daerah sekarang itu terlalu prematur untuk dilakukan. Saya merasa ilmu saya
masih sangat kurang. Saya ingin terjun di satu sisi cita-cita saya dulu.
Industri kreatif.
Saya pasti akan kembali ke Malang, one day. membesarkan kota saya sendiri
dengan bekal yang saya dapatkan dari orang lain, dari banyak kota-kota lain dan
dari berbagai pengalaman yang saya miliki. I
know I can.
Dulu saya dididik oleh guru-guru dari
banyak versi. Mulai dari yang diktator, baik, humoris, woles sampai yang killer
sekalipun. Dan tentu saja saya kepikiran
gimana yaa ketika moment itu benar-benar berbalikan nanti. Itulah gunanya
belajar. Dulu hanya bisa jadi pengamat. Sekarang justru jadi subjek penggerak. Senangnyaaaa..
Dan satu lagi, anak SMK jaman sekarang berbeda dengan angkatan saya dulu. Pasti
murid saya lebih gede daripada gurunya sendiri.
Terima kasih untuk orang tua saya yang
sangat super dalam mendidik anaknya. Untuk kakek nenek saya yang selalu
menebarkan benih kasih untuk generasinya juga untuk keluarga saya yang begitu
hangat. Terima kasih juga untuk guru saya mulai dari SD, SMP, SMK dan juga
dosen saya di Paramadina yang sudah memberikan banyak ilmu dan pelajaran
kehidupan. Guru tidak selalu orang tua yang memakai seragam dan datang ke institusi pendidikan. banyak teman-teman yang juga menjadi guru saya. saling share knowledges yang dimilki. Semoga ilmu ini akan senantiasa berkah dan bisa terus menyebar luas
ke manusia penuh harapan yang ada di muka bumi ini.