Sejak pertemuan langsung dengan karnaval
tahunan di Jember itu, aku tak henti-hentinya mencari informasi tentang Jember
Fashion Carnaval. Keinginan untuk bisa terjun langsung menjadi sangatlah besar
pasca janji itu terucap di pinggir jalan, di run away fashion terbesar di Indonesia itu. Artikel demi artikel
dan foto demi aku susuri. Hanya saja aku memang bukan tipe manusia fanatik
sehingga aku tak sampai memajang foto-foto itu di dinding kamar asramaku
layaknya anak-anak ABG yang memasang poster foto idolanya.
Tepat di bulan mei kemarin, aku mendapat
celah untuk mendekatkan diri ke JFC. Senang sekali bisa mendapatkan kesempatan
ini. Minggu pagi hari aku dipertemukan langsung dengan partikel of JFC. Agenda
tersebut dilaksanakan di Esmood Jakarta. Setelah naik dua kali kopaja, aku pun
sampai di lokasi yang kebetulan berada di daerah Fatmawati ini. Ternyata aku tak sendiri, di aula tersebut
sudah banyak anak muda yang juga memiliki interesting
yang sama terhadap JFC. Aku datang dengan penuh kepercayaan diri. Apalagi aku
pernah melihat secara langsung show mereka di kota kesayangan Mereka, Jember.
Mayoritas yang datang hanya tahu JFC lewat media saja. Hatiku mengembang. Ini
adalah agenda untuk menjadi volunteer
JFC di beberapa event yang akan dilaksanakan oleh JFCnya. Baik itu di Jakarta
ataupun di Jember. Pikirku, ini adalah cara yang paling efektif agar aku bisa
menjadi talent suatu saat nanti. Yaa
tidak masalah kalau sekarang harus jadi volunteer
dulu yang penting suatu saat nanti mimpi itu bisa terwujud.
Hari itu adalah pertama kalinya bisa
sharing secara langsung dengan founder
JFC, Dynand Fariz. Sosok Dynand Fariz ternyata berbeda dari apa yang ada dalam
benakku selama ini. Ia adalah laki-laki sederhana, yaa aku sangat suka dengan
kesederhanaannya ini. Dari mataku, Ia seolah menjadi bapak yang sangat hangat
untuk anak-anak multitalent
bimbingannya. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri teguh dan penuh kharisma,
membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan menghormatinya. Tak ada satupun
yang memanggilnya bapak, cukup hanya dengan sapaan yang biasanya meluncur
untuknya “mas Fariz” Yang lebih menjadi ciri khasnya adalah ia selalu
mengenakan celana pendek selutut, kaos polo yang kerahnya dinaikkan ke atas,
sepatu sporty, ada dua kalung yang selalu menempel di lehernya dan tentu saja
rambutnya di stylis model jabrik. Ntah itu model apa, aku tak begitu paham.
Gayanya yang menurutku juga sangat keibuan dan kalem. Jika Ia tersenyum, aku
rasa senyumnya penuh misteri.
Siang itu mas Dynand Fariz menceritakan
suka duka perjalannya sampai akhirnya JFC bisa terkenal seperti sekarang. Sedikit
flashback, ketika dulu Ia masih
kuliah, teman-temannya sering tidak tahu kota Jember. Dimana Jember itu? Pertanyaan itu yang sering muncul untuknya. Dari
sinilah tekad bulat itu terpatri, Ia ingin menjadikan kotanya dikenal banyak
orang. Dikenal karena prestasinya, bukan karena keburukannya. Ia bercerita
dengan penuh semangat bagaimana perjuangannya mendirikan wadah bagi anak-anak
muda Jember yang idealis dengan fashion dan karnaval ini. Mas Dynand Fariz
merintis semuanya dari nol. Berbagai terpaan diterimanya dengan hati lapang dan
diteruskan dengan usaha yang gigih untuk mewujudkan mimpinya. Tentunya JFC yang
saat ini Anda lihat berbeda dengan 10 tahun lalu. Ada proses panjang yang harus
dilaluinya yang menjadikannya sekarang ‘kaya’ dan aku pun bisa berkata bahwa
mas Dynand Fariz memang sosok yang luar biasa. Dengan background pendidikan yang dimilikinya, Ia senantiasa membimbing
anak-anak yang ingin mengikuti JFC. Tidak ada sedikitpun biaya yang harus
dibayar. Ia mampu menjadikan anak-anak Jember menjadi manusia-manusia kreatif
sepertinya. Berlenggak-lenggok di catwalk
dengan penuh pesona dan kepercayaan diri utuh atas kostum yang mereka buat
sendiri.
Sedikit info, talents JFC bukanlah model sungguhan. Mereka hanya anak muda biasa,
yang tak memiliki pendidikan khusus modelling.
Namun, secara kemampuan mereka bisa disandingkan dengan model nasional bahkan
internasional. Banyak keunikan yang membuatnya berbeda. Talents yang masuk ke JFC tidak melalui seleksi khusus mengenai
tinggi dan berat badan layaknya model sungguhan yang kita tahu. Semuanya bisa
ikut asalkan ada kemauan dan loyalitas tinggi. Anak SMP, SMA, Perguruan Tinggi,
mereka yang sudah bekerja dan yang sudah berumah tangga pun banyak yang ikut berpartisipasi.
Keunikan lainnya, kostum yang akan mereka pakai adalah kostum yang mereka
rancang sendiri. Di desain sendiri dan dikerjakan sendiri. Tentu saja dengan
biaya independent. Disini aku akan
mengambil kesimpulan, jika tak memiliki passion
dan minat yang super jangan sekali-kali mengikuti pola JFC. Pasalnya biaya yang
digunakan untuk membuat satu kostum bisa jutaan rupiah. Dulu aku sempat
bergumam “Gila. Apa-apaan ini. Untuk apa mereka buat kostum segede dan seribetnya.
Apalagi, mungkin kostum itu hanya dipakai sekali saat showtime tiba. Nggak sayang uang apa yaa” tapi itu dulu, tentunya
sebelum passionku meninggi. Jadi
kalau ingin ikut JFC dipikir-pikir dulu yang matang yaa. Kalau orang yang nggak
ada passion di bidang itu mungkin bisa gila sungguhan buat kostumnya. Pola bermake up para talent juga memiliki ciri khas ala JFC yaitu make up karakter sesuai dengan defile yang mereka bawakan. Ini
menjadikan wajah lebih hidup, tidak sekadar cantik.
Dari penjelasan mas Dynand Fariz aku tahu satu
hal lagi. Keunikan JFC di kalangan internasional adalah JFC bisa menggabungkan
dua unsur sekaligus dalam satu waktu performance.
Fashion dan Carnaval. Negara lain biasanya hanya unggul dan fokus di satu titik
saja, seperti Prancis dan Itali yang terkenal dengan fashionnya. Trinidad &
Tobago yang menjadi pelopor karnaval dan bahkan menjadi kota karnaval dunia.
Melebihi itu semua, Jember, dari sudut kota di Jawa Timur mampu menggabungkan
keduanya. Perpaduan antara fashion dan karnaval yang dikolaborasi dengan
cantik. Untuk itu juga JFC mendapat prestasi kembali dari dunia internasional
menjadi urutan ke-4 kota karnaval di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil dan Jerman.
Fantastic !!!
Hatiku terasa bergejolak ketika melihat
video-video JFC yang diputarkan oleh tim
kreatif. Itu adalah video dokumenter beberapa event JFC baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Melihat hasil kerja sineas tersebut, rasa nasionalismeku
tiba membuncah. Bulu kudukku langsung berdiri ketika melihat bendera Indonesia
berkibar dengan gagah di London. Apa yang dilakukan JFC bukan hanya menjadikan
Jember dikenal banyak orang, tapi Indonesia secara keseluruhan. JFC ingin
membawa nama harus negeri ini ke manusia dibelahan bumi lainnya. Hal itu bisa
dan akan terus mereka lakukan. Sineas yang memproduksi video tersebut juga
hebat aku rasa. Kolaborasi antara video, backsound lagu dan dubbernya bisa
membuat perasaan yang ntah itu lebih disebut apa. Yang jelas kami yang melihat
semakin mencintai Indonesia. Kami, audiences
terharu dengan tayangan itu.
***
Event pertama yang aku ikuti, Gading
Night Carnaval. Waktu itu hanya 4 orang yang terpilih sebagai volunteer baru. Aku dan mas dondik dari
Universitas Paramadina serta Sizi dan Doni, temanku dari Universitas Indonesia.
Jumat sore sepulang kuliah aku berangkat menuju Kelapa Gading bersama mas
Dondik. Aku tak mempersiapkan diri penuh rupanya karena aku lupa jika ini weekend. Pasti akan terjadi kemacetan
parah dimana-dimana dan kami tak mempersiapkan hal itu. Kami malah berangkat
mepet waktu. Kami memilih rute dari Universitas Paramadina menuju Cawang. Mayoritas
pasti tahu bahwa itu adalah salah satu rute busway termacet di Jakarta. Setelah
menunggu antrian panjang sekitar satu jam, kami pun naik. Berdesak-desakan
dengan para karyawan yang pulang kerja. Sampai di titik yang kami tuju, busway
malah berhenti beroperasi. Saat itu ada kemacetan parah sehingga puluhan busway
yang menuju Cawang tertunda kedatangannya. Kami bingung seketika karena jadwal
yang diagendakan untuk volunteer adalah
pukul 20.00 di Kelapa Gading. Ini adalah pertemuan pertama kami sehingga kami
tidak ingin telat walau hanya satu menit.
Kami mencari jalan alternatif menuju
lokasi dengan menggunakan angkot. Dari koridor Cawang, kami keluar dan naik
angkot berwarna biru ke arah Pluit. Kemudian transit satu kali lagi. Sampailah
kami di daerah Kelapa Gading. Aku kira, ancer-ancer Kelapa Gading yang diberikan
panitia sudah cukup menjadi kompas penunjuk jalan. Ternyata Kelapa Gading itu
sangat luas. Kami harus mencari titik-titik yang lebih spesifik, yaitu di
belakang Hotel Haris. Itu tempat berkumpulnya para volunteer. Maklum saja, meski tinggal di Jakarta beberapa tahun,
sekalipun aku tak pernah ke daerah ini. Mau
ngapain kesini? Jauh lagi. Aku merasa tak punya kepentingan apapun di
daerah Kelapa Gading sehingga aku tak pernah menginjakkan kaki disini. Sebenarnya
disini adalah surganya bagi para shopaholic. Namun, aku bukanlah bagian
darinya.
Akhirnya kami tiba disana. Ku jelaskan
kepada tim managemen yang menyambut kami bahwa kami tidak tahu arah menuju
lokasi. Nyasar. Mereka pun memaklumi. Kesan pertama yang kudapat, mereka ramah
terhadap orang baru. Kami mulai berkenalan satu sama lain. Melihat-melihat
printilan kostum yang terpajang rapi di luar ruangan. Beberapa jam kemudian,
aku mengikuti agenda briefing untuk
para talent dan personil drumband.
15’ lagi akan dilakukan gladhi bersih di titik run way. Nah, disinilah aku mulai bertanya-tanya. Gladhi bersih
jam satu malam. Bayangkan saja. Dengan memakai sayap kostum yang super gede,
mereka harus melakukan gladhi bersih di sepanjang titik. Aku mulai
terheran-heran. Biasanya jam segini adalah moment tidur pulas. Istirahat untuk
mengumpulkan energi karena esok siang perform
yang sesungguhnya akan dimulai. Tapi tidak dengan JFC. Mereka melakukannya
dengan sangat profesional. Meski aku melihat banyak talent yang sebenarnya merasa capek tapi mereka tetap melakukannya
dengan semangat.
Gladhi bersih selesai pukul 05.00 pagi.
Semua sudah terlihat loyo karena kecapekan dan tentu saja kurang tidur. Kami
harus kembali ke hotel memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk ngecharge energi. Tiba di hotel pukul 06.00
dan jam 09.00 kami harus standby di dining room untuk breakfast. Melebihi dari jam itu, kami tak kebagian jatah makan.
Tampak muka ngantuk dan sisa-sisa lemas di tubuh para talent dan personil
drumbandnnya. Setelah makan pagi ini, mereka harus bersiap-siap membersihkan
diri dan make up. Menunggu giliran
mereka make up, tak ada yang bisa ku
lakukan untuk membantu mereka. Make up
dilakukan secara independent dan
tidak membutuhkan bantuan volunteer.
Aku pun keluar ruangan.
Di luar juga tak kalah rame. Rupanya ada
lomba fashion ala Gading Night
Carnaval. Banyak peserta disana. Dan dilihat dari model baju-baju mereka
sebenarnya itu terinspirasi dari JFC. Tidak akan tidak. Detail kostumnya juga
menyimpan banyak keindahan. Mas Dynand Fariz menjadi salah satu jurinya.
saat grand juri |
she's beautiful |
Karina, she's very smart |
creative talent, Livo Gery Wijaya |
Ivan Vanani & Ayundavira Intan, master of talent JFC |
aku bersama vo yang lainnya |
*Senang sekali bisa menjadi bagian dari
Jember Fashion Carnaval*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar