Ceritanya, ini adalah kali pertama bagiku
bisa join di Jember Fashion Carnaval. Senang sekali rasanya. Really. Setahun belakangan ini aku
memang menggandrungi sesuatu yang sering disebut orang dengan JFC ini. Tentunya
bukan tiba-tiba jika sekarang aku menjadi bagian darinya. Everything happens for a reason. Akan ku ceritakan sedikit flashback mengapa dan ada apa di balik
JFC. Sampai-sampai beberapa teman
terdekatku pernah bilang bahwa aku seperti ‘tergila-gila’ dengan pelopor
karnaval di Indonesia ini.
***
Berawal dari langit biru, passion ini
dibangunkan. Juni 2011, kami travelling
dari Malang, Banyuwangi, Bali dan akhirnya berakhir di sebuah kota singgahnya,
Jember. Tak akan mengira jika sekarang aku seperti ditempeli magnet alam dengan
kota ini. Pertama kali menginjakkan kaki di Jember adalah ketika kami usai dari
Bali. Berangkat dari terminal Ubung, Denpasar. Tepat pukul 03.00 dini hari kami
tiba. Aku masih ingat, kami turun di Gladak Kembar. Yaa, itulah ingatan pertama
yang akan aku sebutkan ketika ke Jember. Pagi itu, Ia sengaja mengajakku untuk
sarapan di warung tenda yang sepertinya memang dibuka sejak tengah malam. Dengan
senyuman, aku cukup melihatnya makan dengan lahap. Jujur saja itu terlalu pagi
untuk sarapan dalam agenda pagiku. Aku menghangatkan badanku dengan teh manis
di sebelahnya. Aku akhirnya sampai di kota Jember yang selalu Ia puja-puja.
Waktu itu aku memperkirakan bahwa Jember
sedang memasuki musim dingin. Itu pun menurutku musiman karena dingin bekunya
hanya di malam hari. Menginjak siang hari, panasnya tak ketulungan. Tak seperti
Jakarta, panas di Jember sangat mirip dengan Bali. Sangat menggigit kulit. Usai
sarapan, kami bergegas menuju kos
temannya untuk istirahat sejenak. Sebelum meninggalkan warung itu, dengan
gayanya yang khas Ia bilang “makanan
disini itu mantap jaya. Selalu cepat habis saking larisnya” Melewati jalan
Sumatra, kami menuju perumahan mastrip menggunakan jasa ojek. Pantas saja, itu
masih sangat pagi sehingga tidak ada angkot yang beroperasi. 15’ kemudian kami
sampai. Rupanya langit biru harus menggedor-gedor pintu kosan karena temannya
masih sembunyi dibalik dinginnya hawa. Tidur pulas.
Momen ini adalah kali pertama aku
benar-benar dipertemukan dengan satu per satu teman langit biru. Yaa meski yang
satu ini masih terlihat ngantuk, tapi dia sangat welcome terhadapku. Ia menyuruhku istirahat sebelum akhirnya
melihat perhelatan akbar kota Jember nanti siang. Jember Fashion Carnaval X. Akhirnya.
Sebenarnya agenda utama yang sudah kami rencanakan beberapa bulan sebelumnya
memang untuk melihat langsung JFC di kotanya, bukannya travelling ke Bali. Namun, seiring berjalannya waktu agenda itu
luntur oleh romantisme Bali. Untung saja langit biru mengingatkanku bahwa
tujuan awal adalah Jember. Ok, aku siap sekarang.
Pukul 10.00 aku diajak berkumpul bersama
teman-temannya. Teman-teman yang sebelumnya sudah diperkenalkan via twitter dan
facebook oleh langit biru. Sebenarnya kami pun sudah saling akrab, sungguh tak
asing ketika melihat mereka. Berbagai sapaan untukku mulai terdengar langsung
ditelinga siang itu. Bude. Bu ani. Dan yang paling sering muncul dari mereka
adalah kalimat semacam ini “Oo, ini toh orangnya” aku sedikit tahu maksudnya. Kami
pun berkenalan secara face to face. Suasana
lebih mencair karena seperti dugaanku, mereka orang yanag sangat humoris. They’re nice people that I’ve ever meet.
Hati mulai mengembang. Sebelum menuju alun-alun kota Jember, kami menyempatkan
diri untuk breaklunch di sekitar
Unej. Gudeg dan ayam bakar menjadi pilihan yang tepat bagi 6 orang yang sedang lapar.
Siang itu akhirnya aku menyaksikan
sendiri sesuatu yang dimataku menjadi spektakuler. Dari kampus Unej langit biru
mencari jalan alternatif menuju alun-alun. Jalanan sudah sangat ramai. Angkot
sudah offline. Ribuan manusia ada disini. Prediksiku, semua warga Jember sedang
meluncur ke tempat ini, ikut menyaksikan acara tahunan terbesar kota Jember
ini. More than crowded i think. Yang
selalu menjadi kenangan manis adalah untuk menuju alun-alun itu, kami harus
melewati rel kereta api. Hampir mirip jembatan gantung. Dan kami melewatinya
berdua. Kami sepakat momen itu dibilang romantis.
Sepanjang jalan aku gembira tak terkira
melihat run away dan para model yang tumpah ruah di jalanan dengan kostum unik
mereka. Ratusan model ada disini. Bermacam-macam kostum dengan temanya
masing-masing. Dan aku baru tahu kalau penggolongan tema di JFC itu disebut defile. Mulai dari yang kecil sampai
yang tua ikut menjadi talentnya.
Semua menyunggingkan senyuman lebar kepada audiencesnya.
Seperti model yang sudah terlatih. Peran yang mereka lakukan benar-benar all out dengan tambahan karakter yang
mereka mainkan. Saat itu aku hanya
berpikir “bagaimana bisa mereka melakukan semua ini” Kostum yang mereka kenakan
bukan hanya unik tapi juga sangat memakan volume. Kok bisa kuat yaa bawanya. Dulu aku juga pernah melakukan parade
kostum dan budaya ketika di Polandia, tapi itu hanya kostum tarian tradisional
yang bisa dibilang ringan. Meski memakainya kadang sangat rumit. Aku
benar-benar masih heran, di tengah siang
yang sangat terik ini mereka melakukan ini semua. Untuk apa? Setelah itu aku
mendengar kasak kusuk bahwa kostum itu dibuat sendiri dan dengan modal sendiri.
What is it? Habis berapa ya? Kembali berputar pemikiran-pemikiran itu di
kepalaku. Gila. Benar-benar menakjubkan. Catatan khusus, make up yang mereka pakai adalah make up karakter sehingga muka para talent itu serasa lebih hidup. Dipenuhi permata kecil menjadikanku
tak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.
Langit biru dan teman-temannya sempat
kegirangan saat salah seorang talent
berjalan di depan mereka. Mereka mencoba menggoda gadis cantik itu.
Diceritakannya bahwa dia adalah adik angkatannya di kampus. Waw, aku langsung
berpikir mungkin ini jalannya. Ntah
itu jalan apa yang ku maksud. Aku memintanya untuk mempertemukanku dengan gadis
mungil itu, yang memang sebelumnya sudah ku kenal. Ia juga pernah berkunjung ke
Malang bersama rombongan langit biru di bulan mei lalu.
Rupanya kami berpencar. Setelah berjalan
di sepanjang run away tersebut, ternyata yang tersisa hanya tinggal aku dan
dia. Rasa senang, kasihan, terharu bercampu menjadi satu. Sesekali aku melihat
langit biru di belakang, tak lagi menemaniku di samping. Semakin jauh
perjalanan, ia lebih menunggu di belakang. Aku tahu dia lelah harus mengikuti
kegiranganku ini. Aku cukup maklum. Pasalnya kami tidak statis menonton
karnaval ini melainkan berusaha mengikuti jalannya para talent ke arah GOR. Anehnya, semakin lama raut mukanya juga semakin
menciut. Aku baru ingat, sebelum berangkat ke Jember dia pernah bercerita.
Meski tinggal di Jember beberapa tahun, Ia belum pernah melihat JFC dengan
alasan keramaian yang dimuntahkan jalanan kota Jember membuatnya tak nyaman. Nah,
kali ini tentunya menjadi hal yang pertama untuknya. Satu lagi kegiranganku
datang.
Aku rasa kegiatan ini membawa begitu banyak manfaat. Selain
manfaat yang diperoleh para talent
dan JFC tentunya. Jelas sekali bahwa banyak perputaran kegiatan ekonomi dilakukan
disitu. Banyak orang yang berjualan dengan beraneka ragam dagangan. Penonton
yang memadati jalanan menjadi objek yang dituju sebagai pembeli. Mulai dari
minuman, payung, makanan, topi, souvenir dan lain sebagainya. Acara ini menjadi
acara hiburan gratis bagi warga. Banyak yang menyaksikan bersama keluarga
lengkapnya, ibu ayah dan anaknya. Semuanya memancarkan senyum senang. Tukang
parkir juga ikut merayakan kemenangan ini. Belum lagi toko-toko di areal Pasar
Tanjung yang menjual berbagai macam bahan untuk kostum mereka. Rasanya kota
Jember saat itu memanen. Hotel dan penginapan juga full booked saat JFC digelar. Peminat acara ini bukan hanya warga
Jember tetapi berbagai penonton yang datang dari Madura, Probolinggo,
Bondowoso, Situbondo, dll. Dan jangan
salah, banyak turis yang juga meramaikan kota Jember saat itu. Hampir semua
yang melihat selalu menenteng kamera masing-masing. Mulai dari kamera HP,
Pocket maupun DSLR.
Menjelang sore performance mereka masih berlangsung. Sejak saat itu, aku mengutuk
dalam hati. Aku harus bisa menjadi bagian
dari JFC. Ntah kapan waktu itu menunjukkannya padaku. Tekadku sudah bulat.
Apalagi melihat JFC sebagai fenomena budaya dimana topik ini akan selalu
berbusa-busa untuk ku bahas dan ku pelajari.
Really love it. Dalam satu hari, JFC bisa mengumpulkan ribuan manusia dari
berbagai kota untuk datang. Melihat mereka berinteraksi menjadi pemandangan
orange bagiku. Culture yang ia
persembahkan juga tak kalah penting. Kostum yang mereka buat adalah bagian dari
culture yang sangat fantastic dan
perlu dipelajari lebih dalam. Aku ingin tahu seperti apa rasanya. I’m in Jember
Fashion Carnaval.
Esoknya, aku diajak ke rumah adik
angkatan yang sudah disebutkan di awal tadi. Kami mengunjungi rumahnya
ramai-ramai. Aku sharing dengannya mengenai beberapa beberapa hal JFC. Dia pun
antusias dalam bercerita. Dan diujung pembicaraan, aku sengaja untuk meminjam
kostumnya. Aku benar-benar ingin mencobanya. Tentu saja dia mengizinkan. Mulailah
dipasangkan satu per satu bagian kostum Athena itu. Sampai semua terangkai
menjadi satu kesempurnaan kostum yang didominasi warna kuning keemasan. Sayangnya dokumentasi foto itu lenyap. Ibarat
tamu agung, semua teman-teman menyaksikanku dengan penuh keheranan. Mereka yang
sudah lama stay di Jember saja tidak
terlalu interest dan tidak seheboh ini dengan JFC. Justru aku yang baru
menginjakkan kaki disini langsung jatuh hati. Kali ini Jember benar-benar
membuatku tersenyum lebar.