18 Februari 2012

Bandung dan Pemuda

Bandung, ibu kota Jawa Barat ini memang memiliki pesona yang menakjubkan bagi yang suka berwisata. Sudah beberapa kali aku ke Bandung tetapi itu tak membuatku bosan untuk berkunjung kesana. Kota ini aku rasa mirip dengan Columbus ataupun Malang yang juga memiliki cuaca dingin. Ghirah untuk mencari ilmu yang sama juga ku dapati. Siang itu aku berangkat menggunakan kereta api Argo Parahyangan dari Gambir. Aku tetapkan untuk memilih kereta karena bisa dikatakan aku adalah trains lover. Aku pun menuju Bandung dalam rangka mengikuti acara IYCS atau yang kerap disebut sebagai gerakan perubahan, Indonesia Young Changemakers Summit. Aku lolos acara ini sebagai observer yang mewakili kota Malang, tempat asalku.

Sebenarnya Bandung tak jauh beda dengan Malang, Jember, Bali, Lampung atapun tempat-tempat lain yang pernah aku kunjung. Semuanya adalah tempat yang bisa digali untuk memberi banyak pelajaran kehidupan.

Tepat pukul 14.25 aku tiba di stasiun kota Bandung. Kembali menikmati venue yang berbeda dari Jakarta secara cuaca. Rasanya aku seperti pulang kampung ke Malang. Tata letak perkotaannya juga tidak jauh beda dengan kota apel itu. Acara IYCS ini dimulai dengan opening di Saung Angklung Udjo. Siapa yang tak mengenalnya? Semua peserta yang merupakan delegasi dari 33 provinsi di Indonesia berkumpul di tempat yang bernuansa tradisional ini. Ini hal menyenangkan karena bertemu dengan banyak orang baru yang benar-benar beragam, berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Kami datang dengan background yang berbeda tetapi tujuannya sama, membuat Indonesia lebih baik. Proyek yang dibawa pun beragam dengan kata lain kami (peserta) memiliki cara yang berbeda-beda untuk mewujudkan perubahan yang dimulai dari hal yang kecil atau diri kami sendiri. Kemudian komunitas-komunitas ini diharapkan bisa berkolaborasi dalam mewujudkan visinya.

Pukul 19.00 aku dan peserta yang lain tiba di lokasi Saung Angklung Udjo. Khusus bagi pecinta budaya, tempat ini sangat memberikan inspirasi. Saung Angklung ini dimiliki oleh keluarga besar Udjo yang sekarang sudah mencapai keturunan yang ke9. Mereka melestarikan budaya khas Jawa Barat ini dengan packaging yang menarik. Sebelumnya aku sudah mengetahui kiprah Saung Angklung Udjo karena waktu itu ia menjadi keynote speaker di Paramadina yang berhubungan dengan wira usaha Mandiri. Banyak angklung disana dan mereka membuat bambu-sebagai bahan dasar- dibentuk dalam berbagai produk. Intinya mereka mengolah bambu untuk menjadi barang-barang yang memiliki nilai guna yang lebih tinggi. Karena itu pula kawasan Saung Angklung Udjo ini rimbun dengan bambu yang masih hidup maupun yang sudah diolah menjadi bentuk bangunan, kursi atau pun pagar tanaman. Suasana yang lebih elegan hadir melalui lilin-lilin yang dinyalakan di berbagai sudut. 
 Peserta IYCS melakukan ramah tamah dan dinner disini. Ditemani oleh Babendjo, grup brand yang memadukan antara nilai tradisional, dilihat dari alat musiknya dan unsur yang tetap terlihat modern. Kami pun menyantap hidangan khas sunda dengan iringan musiknya yang khas. Personil Babendjo tak lain adalah keturunan keluarga besar Udjo yang dari kecil memang berhubungan langsung dengan angklung dan mereka memang memiliki potensi di bidangnya. Jangan salah, mereka sudah sering tour ke negara-negara lain untuk menyebarkan budaya sunda yang kian terkikis lewat alunan musik dan suara merdu vocalisnya.

Menurutku acara semacam ini hanyalah seremonial. Dan jika dilihat secara substansi, tentu saja masih jauh mengingat pesertanya juga lebih dari 50orang sehingga ketidakefektifan pasti akan muncul. Namun dibalik itu semua, ada satu titik yang menyatukan yaitu keinginan untuk terus belajar dan berbagi. Menjadi pemuda haruslah selalu “penasaran” agar terus mau menggali apa yang tidak kita ketahui. Jangan cepat puas dengan apa yang didapatkan. Dan tentunya tagline “travelling with studying” juga sangat menyenangkan untuk dilakukan.

Esoknya, rupanya para peserta sudah mulai mengenal meski belum hafal betul nama-namanya. Kami semua berkumpul di Lapangan Sabuga Bandung untuk melakukan olahraga pagi bersama pak Dahlan Iskan. Lari pagi yang disempurnakan dengan senam menjadikan pagi yang dingin terasa sangat hangat dengan gelak tawa para peserta. Raut muka dari peserta menandakan “pagi ini segar yaa” Setelah senam selesai, pak Dahlan sengaja memberikan key notenya kepada kami-para pemuda. Pesan yang selalu saya ingat dari beliau adalah "menjadi pemuda haruslah sehat, bagaimana mau melakukan perubahan terhadap negaranya jika tubuhnya lemah" Beliau adalah sosok yang sangat tegas dan pesan yang disampaikan pun juga secara head to head

Acara olahraga pagi pun selesai dan saatnya peserta untuk melanjutkan persiapan ke acara inti di Gedung Konferensi Asia Afrika. Dresscode batik membuat para peserta terlihat lebih Indonesia-secara eksplisit- Sebelum berangkat ke Bandung, kebetulan aku baru selesai membaca buku tentang Ir. Soekarno dan perjuangannya yang dimulai di Bandung sehingga ketika memasuki gedung bersejarah ini rasanya masih terngiang-ngiang oleh cerita Ir. Soekarno bersama ibu Inggit itu. Banyak hal bersejarah yang sengaja di abadikan di museum Konferensi Asia Afrika ini. Mulai dari baju perjuangan yang selalu dipakai Ir. Soekarno, meja kursi dari rotan yang biasanya digunakan rapat oleh para anggota panitia persiapan kemerdekaan, media massa yang juga diabadaikan melalui koran nasional dan daerah serta banyak foto-foto Ir. Soekarno bersama pejuang yang lain. Replika konferensi bersama para tokoh dan bendera kebangsaannya juga terjajar rapi, semua ini sekaligus mengisi paleran 50 tahun Gerakan Non Blok.
Cerutu Bersejarah yang berhasil diabadikan
 Tepat setelah rangkaian tour visit ke museum KAA ini selesai, acara dilanjutkan di main hall gedung KAA. Puluhan manusia dengan rasa keingintahuan berkumpul disana. Sebelumnya, semua peserta menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikomando oleh seorang dirigen koor suara. Rasanya merinding dan tergelitik hati ini mendengarkan lagu nasional itu. Jujur saja, menyanyikan lagu-lagu nasional sudah jarang bahkan tidak pernah aku lakukan lagi pasca lulus SMK. Kalau tidak di acara semacam ini yaa kapan lagi. Apalagi yang membuat merinding adalah menyanyikannya di tempat yang sangat bersejarah, tempat para pejuang bangsa dulu menorehkan tonggak sejarah untuk bandung dan Indonesia secara general. Pemuda macam mana saya ini.

Sambutan pertama dilakukan oleh Anies Baswedan sebagai stering committee acara IYCS ini. Kemudian dilanjutkan oleh Sandiaga Uno, Tri Mumpuni, Joko Widodo dan masih banyak pembicara yang lainnya. Mereka semua menginspirasi dan menumbuhkembalikan semangat nasionalisme. Aku masih ingat bahwa Joko Widodo, bupati Surakarta ini menekankan untuk membangun daerahnya dengan nasionalismenya. Beliau memperbaiki infra struktur kota Surakarta. Hal yang mengena, “jangan suka belanja di Mall. Ke Mall boleh saja, untuk jalan-jalan tapi beli barangnya di pasar tradisional saja” Memang itu benar menurutku pribadi. Sekarang pun Solo menjadi kota yang mulai sering digaungkan. Dari budaya keratonnya, batik festivalnya atau bahkan tata kota yang semakin teratur. 
Para pembicara memaparkan tentang pergerakan yang sudah dilakukan. Diharapkan apa yang disampaikan ini mampu menginspirasi para pemuda di Indonesia untuk melakukan suatu perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik. Tidak perlu menunggu waktu 10 tahun lagi untuk melakukan perubahan, sekarang pun seharusnya bisa. Perubahan tidak perlu menunggu kita menjadi seorang yang “besar” dan harus melakukan perubahan yang besar pula melainkan dari kecil pun perubahan akan sangat bermakna untuk orang-orang sekitarnya. Jangan takut dianggap orang gila jika memang ada niatan untuk terus melakukan yang terbaik untuk negara. Meski biasanya ada yang mencela, “mana mungkin kamu bisa melakukannya. Itu mustahil” Saranku, jangan digubris. Anggap saja kita memang orang gila. So, komitmen itu sangat penting. Karena dengan komitmen kita bisa terus konsisten terhadap apa yang kita lakukan, yang meski kadang dianggap sebagai suatu hal yang mustahil.

Hari ke3 acara dilaksanakan di Gedung Indonesia Menggugat, lebih dekat dengan alun-alun Bandung. Di sini rupanya lebih ekspresif karena peserta pun lebih mengenal satu sama lain dibandingkan pada hari-hari sebelumnya. Penenkanan pada hari ke3 ini adalah penyampaian materi yang dilakukan oleh changemakers sendiri, dari pemuda Indonesia sendiri bukan lagi dari pemateri besar seperti di Gedung KAA kemarin. Cara ini bisa lebih masuk di ingatan pemuda karena tataran umur juga hampir sama tetapi mereka sudah melakukan aksi yang mengahasilkan benefit untuk negara dan lingkungannya.
 Salah satu komunitas yang hadir dalam acara IYCS ini adalah IBU Foundation. Komunitas yang didirikan oleh dr. Jack ini sangat menggugah hati, ia bergerak dibidang evakuasi bencana alam. Laki-laki berambut grondong ini masih muda dan sangat loyal terhadap orang-orang di sekitarnya. Awalnya, gerakannya ini terpisah-pisah mulai dari IBU Aceh, IBU Padang, IBU Jogja dan akhirnya ditarik kesimpulan IBU Foundation yang bermarkas pusat di Bandung. Semua komunitas mungkin masalahnya sama yaitu bergerak sendirian atau merasa sendirian. Namun dengan apa yang sudah kita perbuat, orang lain pun akan datang dengan sendirinya dan tergerak untuk bergabung membantu dalam mengevakuasi bencana serta penyakit. Ia pernah mengatakan bahwa ia memang tidak tertarik untuk bekerja di rumah sakit dengan fasilitas yang sangat mapan, tetapi darmanya memang menolong manusia dengan jalan IBU Foundation tersebut. Untuk menunjang komunitas ini, dr. Jack juga mendirikan Cafe di dekat markas besarnya.

Orasi juga disampaikan oleh seseorang yang sering membacakan pidato Ir. Soekarno. Ia sangat mirip -secara sekilas- mulai dari semangatnya yang berapi-api menjadi singa podium hingga kostum yang dikenakannya. Sebelumnya, alunan musik sasando dibawakan oleh Djitron Pah dan juga orkestra dari salah satu UKM di UPI Bandung. Mereka menyalakan semangat nasionalisme melalui lantunan musiknya.
Peserta (observer) IYCS
 Ada hal yang menyenangkan. Aku bisa bertemu dan berkumpul dengan delegasi asal kota Malang yang juga mewakili Jawa Timur sepertiku. Primodialisme itu sangat terlihat, seperti menemukan sahabat lama yang tak pernah bertemu karena background asal kota yang sama.
Ichsan, Nugraha, Mujahid, Aku, Rindha, Ega dan Jibril
 Malamnya kami menuju Gedung Sate-Gedung Gubernur Jawa Barat. Dengan dresscode smart casual, kami berkumpul disana dan dinner bersama gubernur -sesuai rundown- tetapi beliau berhalangan hadir. Kami dijamu dengan sangat baik oleh para pelaksana pemerintahan disana, ditambah lagi tarian Jaipong yang sangat manis dibawakan oleh mojang Bandung. Rasanya terharu melihat tarian ini karena jujur saja aku sudah lama tidak menggerakkan tubuh melalui tarian. Gedung ini masih tetap bertahan dengan bangunan aslinya, terlihat sakral dan rasa ke-Belanda-annya juga masih terasa. Alunan musik tradisional khas Jawa Barat juga dimainkan oleh sesepuhnya.

Nah, hari ini adalah hari yang juga sangat aku tunggu-tunggu karena ada visit tour ke beberapa komunitas yang sengaja disedikaan oleh panitia. Ada IBU Foundation, Rumah Cemara, Babakan Asih dan Komunitas Hong. Tentunya aku memilih yang paling akhir, Komunitas Hong. Aku sangat tertarik kesana karena sebelumnya juga sudah mengetahui kiprahnya, apalagi yang notabene-nya aku juga menyukai kebudayaan.
 Komunitas Hong adalah sebuah komunitas yang terletak di daerah Dago Pakar. Ia bergerak dibidang mainan tradisional. Pusat kajian mainan tradisional Indonesia yang didirikan oleh kang Zaini ini sudah terdengar di belahan bumi Eropa juga Amerika. Ia melestarikan dan mencoba mengumpulkan seluruh jenis maninan tradisional di Indonesia yang lebih dari 800-an, lalu dipelajari dan dikaji.
Kang Zaini
 Sosoknya yang imut ternyata berbeda dengan usianya. Kang Zaini memang sangat serius dibidang ini, pendidikannya pun dihabiskan untuk meneliti tentang mainan tradisional yang ada di Indonesia. Pada dasarnya setiap permainan tradisional yang diciptakan oleh leluhur itu memiliki maksud dan tujuan tersendiri, baik dari segi psikologis dan motorik. Tradisional bukan berarti ketinggalan zaman karena ketika kita memainkan mainan-mainan ini kita justru maju dua langkah bukannya malah mundur. Mengapa? Karena ketika kita bermain, maka secara tidak langsung kita akan menganalisa struktur bentuk dari mainan itu sendiri, kemudian pasti kita juga akan mempelajari fungsi psikologis maupun motorik dari mainan tersebut. Mainan tradisional pasti memiliki pesan-pesan moral yang justru baik untuk anak-anak.
Peserta mencoba membuat mainan
 
Kang Zaini berhasil mengumpulkan anak-anak yang ada di daerahnya untuk mengisi Komunitas Hong. Tempat juga sering dikunjungi wisatawan asing yang sengaja ingin mengetahui mainan tradisional Indonesia juga belajar memainkannya. Tak jarang, kang Zaini malah mengajari mereka tentang mainan tradisional asal negaranya karena beliau pernah mengatakan ketika kunjungan keluar negeri, beliau sering malah mempelajari mainan tradisional disana kemudian dibawa di Indonesia untuk diajarkan kepada anak-anaknya. Sehingga muncul ekspresi yang sangat terkejut pada wisatawan-wisatawan tersebut “Loh, ini kan mainan tradisional di negara kami” Luar biasa yaa Komunitas Hong.
Hasil jadi mainan
 Ketika aku kesana bersama peserta yang lain, kami diajari untuk membuat mainan tradisional dari janur kelapa. Beliau juga menyebutkan bahwa main pun ada level-levelnya. Awalnya, kami diajari untuk membuat keris, lalu capung dan burung. Ini juga pertama kalinya aku membuatnya sendiri, biasanya aku sering menjumpainya di hajatan orang-orang yang sedang melangsungkan resepsi pernikahan di desa-desa. Ada instruktur yang memang sudah terlatih untuk mengajari pengunjungnya, mereka juga banyak yang masih berusia golongan anak-anak. Bahkan komunitas ini sudah mampu menyekolahkan anak didiknya lho.
Permainan Bowling khas Indonesia (tradisionalnya)
 
Aku masih ingat dengan slogan dari Kang Zaini yakni “bermain itu belajar dan belajar itu ya bermain” Dengan slogan ini aku rasa akan lebih membuat anak-anak bersemangat dalam belajarnya. 
Monyet-monyetan
 Belajar menjadi lebih fun. Komunitas ini juga sering diundang ke sekolah-sekolah untuk mengajarkan sebuah metode belajar yang dipadukan dengan mainan tradisional. Satu lagi, kita juga bisa membeli mainan tradisional yang memang disediakan untuk dijual disini teman-teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar