Awal mula Marco Kartodikromo memulai pergerakannya, pers belumlah menjadi barang yang familiar di periode tersebut. Ia memulai karirnya menjadi jurnalis yang sangat kritis, tajam dan sangat memihak kaum pribumi. Ia menyampaikan pemikirannya melalui tulisan yang terkenal sangat pedas terhadap rezim Belanda. Ia bergabung dengan pers yang masih baru hingga sudah memiliki nama besar seperti Medan Prijaji, Doenia Bergerak, Sinar Djawa, Sinar Hindia, Medan Muslimin, dan Hidoep. Dari titik-titik inilah ia terus melakukan pembaharuan dan perjuangan terhadap hak rakyat pribumi. Kritik sosial yang sering dilakukan menjadikannya sebagai sosok yang fenomenal di Indonesia, ia sering keluar masuk penjara akibat pemikiran liar yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut. Ia menjadi jurnalis yang sangat tangguh, berani terhadap apa yang dilakukan meski ia tahu bahwa resikonya berhubungan langsung dengan Belanda. Ia juga senantiasa menularkan ghirah ini kepada sesama jurnalis-jurnalis rekan kerjanya untuk tetap “berteriak” terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kolonialisme.
Ia bersuara melalui tulisan dan juga syair. Ia bukan saja seorang jurnalis namun juga seorang aktivis yang membentuk jiwa kebangsaan Indonesia awal abad 20. Marco menganggap bahwa karirnya sangat menunjangnya dalam menyebarkanluaskan pemikirannya. Strategi yang dipakai sangat menarik karena ia menggunakan bahasa melayu pada sebagian besar karyanya, bukan menggunakan bahasa indonesia, Belanda atau Tionghoa. Saat itu, bahasa melayu menjadi semacam bahasa nasionalis yang dapat dimengerti oleh banyak kalangan. Apa yang akan ditulis di media akan dibaca banyak orang, bukan hanya warga pribumi tetapi juga pihak kolonialisme Belanda.
Pendiri organisasi wartawan pertama, Indlandsch Jounalistn Bond (IJB) ini sangat membela kaum kecil (krama). Marco yakin bahwa kesetaraan derajat harus dibangun di Indonesia. Dalam tulisannya, ia tidak pernah menggurui pembaca atau menampilkan sosok pahlawan dengan patriotismenya. Ia lebih sering mengangkat kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya dengan melihat apa yang terjadi dalam setiap perjalanannya. Karena itu pula, ia sering menggunakan istilah “jalanan” dalam karyanya. Ia mengajarkan kepada sesama jurnalis dan rakyat pembaca untuk berani maju melawan, bukan menunggu kebijakan-kebijakan yang akan diberikan oleh Belanda. Ia meyakini bahwa pergerakan haruslah dilakukan oleh warga pribumi itu sendiri.
Dalam perjalanan karirnya, ia berhasil mengajak jurnalis-jurnalis dari daerah lain untuk bersatu menyuarakan pemikiran kritis mereka. Ia menganggap bahwa apa yang ia lakukan adalah tugas yang intelek, terdapat unsur mengedukasi masyarakat melalui tulisan. Jurnalisme menjadi suatu forum untuk melancarkan ‘perang suara’ melawan kekuasaan kapitalisme. Dengan alasan ini juga, Marco berusaha menggaet kaum terdidik untuk melakukan hal yang sama demi menyuarakan perjuangan. Semakin banyak bersuara, pemerintah Belanda juga akan semakin terusik. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern. Melalui pers inilah, ia juga berhasil bertemu dengan Ki Hajar Dewantara.
Fokusnya pada rakyat kecil dan krama mendorongnya untuk menulis sebuah artikel yang menyebutkan bahwa banyak kaum petani yang mengerjakan ladangnya tetapi tidak bisa menghasilkan materi untuk membayar pajak. Akibatnya para petani tersebut akan terjerat hutang dan berujung pada penyerahan lahannya kepada pihak kolonialisme. Petani-petani tersebut seterusnya hanya akan menjadi buruh pada orang lain. Disini, Marco benar-benar melakukan observasi lapangan tidak melihat referensi dari buku. Ia meyakini adanya sistem yang tidak benar terhadap terpecahnya dua kategori, miskin dan kaya. Miskin dan kaya bukanlah ditentukan karena pelakunya rajin sehingga menghasilkan kekayaan yang berlimpah sedangkan yang malas akan jatuh miskin. Perlu dicermati bahwa penguasa melakukan kesalahan pada sistemiknya, tentunya ini disengaja agar menghasilkan keuntungan. Sistem negara saat itu memang berpihak penuh terhadap kolonialisme.
Karena adanya arus yang radikal, Marco juga melakukan diversifikasi dengan fokus mempelajari sejarah dan geografis Jawa. Ia ingin menyadarkan masyarakat bahwa pribumi pun bisa menjadi seorang intelektual. Selama ini perubahan hanya terjadi dari kalangan sarjana atau priyayi sehingga jika warga pribumi yang memulainya akan menjadi tonggak pembaharuan. Marco turut membangun bangsanya melalui tulisan dan juga perilaku. Ia menginginkan kemerdekaan berpikir dan bergerak positif untuk warga pribumi, tidak ada campur tangan kolonialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar