RA. Kartini menjadi sosok ikon perjuangan wanita, kaitannya dengan hal-hal yang mengedepankan emansipasi wanita, kesetaraan gender dan feminisme di Indonesia. Ia menjadi pendobrak kemajuan kaum wanita. Wanita kelahiran Jepara ini hidup dalam kondisi yang berkecukupan, ditambah lagi bapaknya adalah seorang bupati. Kartini mengenyam pendidikan bersama orang-orang keturunan Eropa sebelum ia berhasil di pingit oleh keluarganya sehingga ia banyak bergaul bersama mereka. Setelah lulus dari sekolah ELS, Kartini kemudian dipingit oleh keluarganya. Ia merasa dikekang dan haknya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi juga dibatasi. Sedangkan diluar sana, warga Eropa dapat bersekolah dengan bebas. Artinya, pendidikan (hanya) diperuntukkan warga Eropa dan warga pribumi justru dibatasi bahkan ada yang sampai tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, meski sama-sama berada dalam satu wilayah negara Indonesia.
Kartini sering bergaul dengan orang-orang Eropa, misalnya J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri yang berasal dari Belanda. Mereka sering melakukan korespondensi melalui surat. Ia menyampaikan kegelisahan batin, pemikiran dan ide-idenya melalui surat-surat tersebut. Dan karena konektifitas inilah, Kartini mendapat masukan ide-ide mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Surat-surat dari Kartini tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul ”Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh Ny. Abendanon. Pemikiran Kartini yang sangat pluralisme itu saya rasa juga dipengaruhi oleh pergaulannya dengan kalangan elite Eropa. Ia memiliki paham bahwa semua agama sebenarnya tujuannya sama, yaitu mencapai tujuan kebenaran. Ia juga tidak menyetujui bahwa agama dan keluarga ningrat menjadikan wanita-wanita di zamannya terkekang oleh banyak aturan yang dianggap tidak rasional. Saya sangat setuju dengan argumen tersebut bahwa religi kita (baca :agama) bukanlah halangan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Religiusitaslah yang harus dimainkan untuk menciptakan toleransi antar umat beragama karena pada dasarnya harus dibawah satu payung “meskipun berbeda-beda religi hendaknya religiusitas kita tetap sejalan dan bersatu” Perilaku beragama yang membuat seseorang itu terlihat bertuhan, bukannya simbolisasi agama yang mereka pakai seperti kerudung dan baju muslim.
Dari sini saya tahu bahwa pemikiran-pemikiran modern Kartini juga berasal dari pengaruh barat. Saya tidak mengecam itu buruk atau anti kebaratan karena justru itu jalan baik untuk kaum wanita di Indonesia. Patut membedakan antara sumber-sumber pemikiran dan efek sampingnya karena seperti yang sudah diketahui nasional bahwa Kartini merupakan tokoh yang benar-benar memperjuangkan kaumnya. Hal ini juga mirip yang dilakukan oleh Soekarno terhadap pemerintahan Belanda. Ia mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari Belanda yang kemudian ilmu tersebut dimanfaatkan dan dishare kepada rakyat untuk kebutuhan perjuangan kemerdekaan. Yang dilakukan Kartini juga sama, ia mengambil ilmu dan ide-ide dari barat tetapi kemudian dia gunakan untuk memajukan kaumnya.
Wanita bukan hanya keindahan tubuh semata yang difungsikan pada urusan domestik rumah tangga saja tetapi ia juga memiliki pemikiran-pemikiran layaknya kaum pria. Namun, pada zaman Kartini, wanita tidak memiliki kebebasan untuk merasakan indahnya ilmu pengetahuan sehingga pemikiran-pemikiran itu tentunya seperti dipenjarakan karena adanya hirarki gender dan status sosial. Menurut saya, wanita adalah aset bangsa. Bukan hanya pria yang bisa melakukan pergerakan dan kemajuan bangsanya. Wanita adalah sosok ibu, istri sekaligus putri yang berpengaruh pada kelangsungan generasi bangsanya. Generasi-generasi berkualitas akan terlahir dari wanita-wanita yang berkualitas. Seperti pada artikel saya yang sebelumnya, yang menyebutkan bahwa sosok laki-laki yang hebat juga tidak terlepas dari dukungan istri yang hebat layaknya Soekarno pada kisah yang saya tulis bersama Inggit Garnasih. Tentunya, seorang ayah akan merasa sangat bangga jika memiliki putra putri yang berhasil.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memajukan kaum wanitanya, memberikan akses yang sama antara wanita dan pria karena tidak ada beda beda antara keduanya. Wanita yang maju juga bisa memimpin bangsanya, dan tentunya pemikiran Kartini sangat bermanfaat untuk hal ini. Ia mengajarkan wanita untuk terus berkarya dan bangkit. Wanita bukanlah sosok yang lemah, pemikirannya terletak pada hati nurani dan kepalanya. Kartini percaya bahwa wanita Indonesia dapat membuat bangsanya lebih baik lagi atas perjuangan-perjuangan yang sanggup dilakukannya. Tentunya ia juga didukung oleh banyak pihak sehingga perjuangannya dapat mengubah nasib bangsa. Kartini tidak berjalan sendiri sebagai tokoh emansipasi wanita. Ada tokoh lain yang juga bergerak dibidang yang sama, misalnya Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Mereka juga berinisiasi untuk memajukan pendidikan kaum wanita. Mereka juga sama seperti Kartini, mendirikan sekolah, pergerakan menyeratakan gender dan meningkatkan pendidikan kaum wanita. Pemikiran monolistik terhadap sosok Kartini juga harus direvisi karena Kartini tidak akan mampu berjalan seorang diri untuk melakukan perubahan besar ini.
Nah, ada sedikit tambahan review mengenai Kartini bahwa sejarah tokoh nasional perempuan jarang disinggung bukan hanya krn faktor gender tapi juga berkaitan dengan sumber yang tidak memadai. Keberhasilan Kartini adalah dapat mencitrakan kehidupan pribadinya yang kemudian menjadi gambaran umum kondisi perempuan di Indonesia saat itu. Terlepas dari pergolakan batin karena ia adalah anak pingitan keluarga priyayi jawa. Magisnya, bulan april memang selalu identik dengan sosok ibu pertiwi yang menjadi inspirasi Indonesia ini. Surat-surat Kartini mengisahkan tentang cerita perempuan di masanya, kondisi pendidikan dan peradaban. perempuan memang mempunyai posisi penting sebagai pendukung peradaban, terlepas dari fungsi domestiknya yaitu yang sering disebut dengan istilah macak, manak, masak.
Perempuan yang mendidik anaknya untuk pertama kali dan pemikir-pemikir bangsa juga lahir dari rahim seorang perempuan. Yang lebih mendukung argumen ini, saya ingat di buku Ku Antar Kau ke Gerbang yang mengisahkan Soekarno dan Inggit Garnasih. Buku itu juga bercerita bahwa perempuan (Inggit) adalah pendukung peradaban, serta mendukung berdirinya peradaban yang dibangun oleh Soekarno saat itu. Emansipasi yang dikenalkan Kartini bukan hanya emansipasi wanita tapi lebih luas dari itu. Kartini memasuki konsep wacana modern sehingga ini menjadi bahan untuk diskusi dengan elite eropa dan parlemen Belanda, tentunya ia menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kalangan tersebut.
Argumen yang mendukung adalah ketika berdialog dengan JJ Rizal (sejarawan Indonesia), ia juga mengatakan bahwa sejarah tidak dapat berandai-andai tapi sejarah bisa memberikan kita ruang untuk menimbang aksi seorang tokoh bangsa. Tentunya tokoh sejarah memiliki ciri khas masing-masing dan berada dalam eranya masing-masing pula. Yang perlu dicermati, tidak semua tokoh sejarah memberikan artefak untuk anak cucunya sebagai peninggalan. Akibatnya sebagian dari mereka tidak mengetahui dengan pasti apa sejarah bangsanya. Dalam kasus ini, sebagai contohnya tokoh-tokoh perjuangan wanita yang lainnya tidak diketahui keberadaannya. Istilahnya kerennya tidak lebih booming dari yang lain. Sebut saja Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Tjut Nyak Dien.
Kontradiksinya, Soekarno & Karto Marcodikromo (sebagai contoh) langsung merespon gejala-gejala persoalan sejarah dengan tulisan-tulisannya. Tulisan itu kemudian yang dapat dibaca oleh generasi selanjutnya. Maka bisa dikatakan disini bahwa artefak itu sangat penting dalam sejarah. Ada cerita lain yang menarik, Pramoedya justru melawan pergolakan sejarah yang maskulin dengan menempatkan ide-ide feminisme. Pramoedya mencoba mendekatkan sejarah dengan cerita yang berbentuk roman/novel sejarah sehingga itu lebih mudah diakses oleh banyak orang.
Kartini berani melawan kolotisme dan mengubah tradisi kebodohan. ia hidup sebagai pemikiran, bukan hanya sebagai pejuang wanita. Ia mengingkinkan kondisi 'sadar dr tidur’. Surat-surat Kartini bukan hanya wujud kesadaran akan wajah suram adat kuno melainkan suatu rumusan tajam atas situasi yang sedang dialami oleh kehidupan gelap karena terbelakang. Mengapa begitu? Yaa karena saat itu kaum terpelajar adalah komunitas minor kreatif. Saya yakin kalau sebenarnya setiap generasi harus menuliskan sejarahnya masing-masing. Yang saya pelajari selama ini, sejarah itu multi tafsir. Semangatnya didasarkan pada keresahan-keresahan akan keadaan yang ada di zamannya. Kartini menunjukkan bahwa masyarakat pribumi dapat setara dengan kalangan elite eropa. Kartini juga bukan orang yang besar hanya karena membaca buku tapi ia langsung terjun ke lapangan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Faktor pendukung lain juga karena pergaulan intelektualnya dengan kalangan eropa. Nah, karena itu juga ia bisa dikatakan sebagai intelektual participant.