Tahukah
Anda dengan ‘es populer tradisional’ ketika saya masih duduk di bangku SD? Es
ini sangat fenomenal bagi anak seusia saya kala itu. Saya menyebutnya Es Thung-thung (baca: es tong-tong).
Yaa, es krim ini biasanya diserbu para siswa ketika pulang sekolah karena
biasanya bapak penjualnya sudah standby di
depan pagar sekolah. Biasanya, setelah itu bapak penjual menjajakan keliling es
krim ini dengan mendorong gerobak mungil yang berisikan semua properti es thung-thung.
Jujur saja, saya sudah jarang sekali bisa menikmati es yang rasanya khas dengan gurih manis santan kelapa ini. Apalagi semenjak kuliah. Kalaupun pernah bertemu di jalan, es yang saya temui tidak seorisinil es thung-thung. Dan rasa ingin mencoba pun pupus karena melihat tampilannya saja.
Zaman sekarang, es krim ini sudah hampir punah karena saya sudah sangat jarang sekali menemukannya di peredaran, baik di kampung maupun kota. Yang lebih booming saat ini justru es populer yang diproduksi mesin-mesin pabrik besar. Sebut saja Es Dungdung milik brand ternama Walls. Es modern ini sudah mampu menghipnotis sebagian besar masyarakat untuk mengalihkan perhatian dari yang tradisional ke arah modern. Es populer sejenis ini memang terasa lebih praktis karena ada banyak variasi rasa yang dikemas dalam beragam packaging. Jika es Dungdung menjadi subjek modern di abad ini, saya pun menyebut es thung-thung yang hampir punah ini sebagai es krim dungdung klasik.
Jujur saja, saya sudah jarang sekali bisa menikmati es yang rasanya khas dengan gurih manis santan kelapa ini. Apalagi semenjak kuliah. Kalaupun pernah bertemu di jalan, es yang saya temui tidak seorisinil es thung-thung. Dan rasa ingin mencoba pun pupus karena melihat tampilannya saja.
Zaman sekarang, es krim ini sudah hampir punah karena saya sudah sangat jarang sekali menemukannya di peredaran, baik di kampung maupun kota. Yang lebih booming saat ini justru es populer yang diproduksi mesin-mesin pabrik besar. Sebut saja Es Dungdung milik brand ternama Walls. Es modern ini sudah mampu menghipnotis sebagian besar masyarakat untuk mengalihkan perhatian dari yang tradisional ke arah modern. Es populer sejenis ini memang terasa lebih praktis karena ada banyak variasi rasa yang dikemas dalam beragam packaging. Jika es Dungdung menjadi subjek modern di abad ini, saya pun menyebut es thung-thung yang hampir punah ini sebagai es krim dungdung klasik.
Bertemu
lagi dengan es krim tradisional ini membuat mata saya merona-rona. Saya
menemukan es krim ini di sepanjang jalan, tepatnya di depan Pasar Triwindu,
Solo. Saat itu saya memang sedang menghabiskan senja bersama seorang teman
untuk sekedar jalan-jalan melihat barang antik nan unik di Pasar Triwindu.
Menemukan gerobak es ini dari jauh bisa membuat saya langsung terkejut. Bagi
saya *ice cream lover* menemukan
kembali es yang sungguh klasik nan tradisional ini menjadi surga kecil ketika
cahaya jingga menghiasi langit Solo. Tanpa basa-basi saya pun langsung
menghampiri kuliner favorit dan mencobanya.
Sebenarnya di Alun-alun Kota Malang
juga ada es krim semacam ini. Warga Malang biasa menyebutnya dengan es puter.
Tetapi sajiannya pun sudah berbeda karena es puter menggunakan topping yang
beragam. mulai dari nangka, susu coklat, agar-agar, mutiara, dll. Kalau es krim
yang sedang saya makan saat ini, murni campuran santan dan buah nangka.
Hhmm... rasanya lidah ini sungguh dimanjakan. Rindu pun sudah berlalu.
Ketika
kota Solo membuat saya damai dengan keindahan budayanya, es krim dungdung
klasik ini menambah sempurnanya nikmat Tuhan yang diturunkan untuk umatnya.
Bukankah bahagia itu sederhana kawan? J
Bagi saya pribadi es populer buatan roda-roda mesin masih tetap menjadi runner up. Dia tidak akan pernah menggantikan
posisi es krim tradisional buatan tangan manusia kreatif yang biasanya
menggunakan resep turun temurun nenek moyang. Disitulah letaknya, es krim
klasik sudah mampu menyugesti saya bahwa ia layak menjadi pemenang di hati kecil manusia muda bernama
Ika.
Hhmm... rasanya lidah ini sungguh dimanjakan. Rindu pun sudah berlalu.