Bermula dari perkemahan kreatif di sudut
kota Jogjakarta april lalu, aku diperkenalkan dengan sebuah film yang ‘tidak
biasa’. Film dimana pertama kali melihatnya, ada rasa terkejut karena banyak kisah
unik yang diungkapkan oleh film ini. The
Children of Srikandi. Inilah judul film yang langsung menancap di otak
ketika audiences mengucapkannya.
Awalnya aku menonton film ini bersama
teman-teman camp yang juga memiliki pemahaman yang sama, datang kesini untuk belajar dan menghidupkan rasa keingintahuan. Namun,
saat itu tidak banyak diskusi yang dilakukan untuk membahas film ini karena
keterbatasan waktu. Yang kami tahu hanyalah kenyataan bahwa film ini merupakan
garapan beberapa panitia camp, (salah satunya) kak Edit dan kak Imel. Kisahnya
pun merupakan pengalaman pribadi mereka yang kemudian dicetak menjadi sebuah
ritme skenario film. Aktor-aktornya juga pribadi mereka sendiri yang memiliki
cerita tersebut. Singkatnya, film ini digarap oleh orang-orang multitalenta.
Mulai dari ide cerita sampai aktor yang memainkan adalah mereka sendiri, juga
produksi yang mereka lakukan. Kreatifitas dalam lensa video ini juga berhasil
tampil di Berlin Film Festival. Bahkan Berlin ketika itu menjadi lokasi
pemutaran premiere film ini (bukan di Indonesia).
|
Reunian unyil Young Queer Faith & Sexuality Camp |
Mengapa film ini ada di tengah-tengah
kehausan kami -para peserta- akan
pengetahuan interfaith & sexuality? Yaa,
tentu saja panitia sengaja memasukkannya dalam agenda camp guna menambah wacana
peserta. Menunjukkan realita yang menyangkut kaum yang banyak disebut oleh
kalangan hetero normatif sebagai kaum minoritas. Segera setelah itu, ada
informasi bahwa film tersebut akan diputar di Jakarta untuk pertama kalinya, di
Goethe Institute. Bulan Mei yang akan datang. Dan kami yang berdomisili di Jakarta
tentu sudah mencatatnya dalam agenda kegiatan masing-masing. Kami akan hadir.
|
Film maker sharing pengalaman kepada audeinces Sekitar satu bulan kemudian, waktu yang
dinanti-nanti ini tiba. 6 Mei 2011. Aku bersama mas Dondik, Ipeh dan Gomat
datang ke acara ini dengan sumringah. Niatan utamanya sebenarnya bukan untuk
menonton film. Alasannya karena kami punya satu poin lebih, kami sudah menontonnya sebelum audiences yang duduk disini menunggu
pemutaran filmnya. Sedikit tersenyum. Keinginan yang lebih besar adalah
reuni unyil bersama rekan-rekan yang terlibat di camp kemarin, baik peserta
maupun panitia. Dan niatan ini sudah terwujud malam itu di Menteng, Jakarta
Pusat.
Tak dinyana, banyak sekali audiences yang
datang dengan antusias mereka. Ini sebagai wujud apresiasi mereka terhadap
keberadaan karya yang dihasilkan oleh ‘mereka yang berani’ |
Secara teknik perfilman, saya berpendapat bahwa film ini biasa saja. Film yang awalnya diberi label film dokumenter. Harus diakui bahwa di dalamnya banyak sekali fiktif yang jelas terlihat sebagai sebuah skenario, bukan murni dokumenter. Banyak juga logika yang 'loncat' atas cerita yang disajikan. Berproses 'menjadi' akan membantu seseorang menemukan muara-muara baru yang mungkin lebih cocok dibandingkan dengan planning yang sudah dibuat sebelumnya. Namun, yang menjadi poin penting disini, mereka berani mengangkat kebisuan kolektif yang terjadi di masyarakat tentang apa yang sebenarnya mereka yakini dan dipilih menjadi jalan hidup mereka. Ada satu fliyer yang dibagikan ke setiap audiences yang masuk. Dan ada satu statement disana yang membuat hati saya tergugah sekaligus tersenyum lega. Ntah apa yaa bahasa yang bisa mewakili perasaan saat pertama kali membacanya. For the first time, queer Indonesian women breaking the code of silence.
Congratulation for you !
Dari judulnya, Srikandi dipilih menjadi
icon karena Srikandi (khusus di Indonesia) mewakili sosok perempuan yang sangat
‘tangguh’ bukan hanya menonjolkan maskulinitas. Film ini dibubuhi cerita wayang kulit dimana perwayangan tersebut
dimainkan oleh Soleh (25) dan Anik (59). Keduanya adalah transgender. Wayang dipilih sebagai media untuk bercerita. Wayang juga dipercaya
kuat mewakili karakteristik para tokohnya. Disini, saya yakin siapapun yang
melihat kemampuan keduanya akan mengatakan bahwa dalang wayang dan sinden ini
sangat berbakat, tanpa melihat identitas seksual mereka apa. Mereka berdua berkarya
melalui media perwayangan, tentunya dalam hal ini mereka bisa menghasilkan
sesuatu yang mencitrakan manusia utuh yang kreatif. Anggapan bahwa mereka -yang
sering dianggap- sampah masyarakat harus segera dihilangkan. Manusia ini berhak
untuk hidup, sama seperti yang lain. Terjemahan Anak-anak Srikandi ini ingin mengungkapkan bahwa anak-anak yang
memiliki cerita ‘hampir sama’ dengan Srikandi juga ada di bumi hijau ini.
Srikandi bagi sebagian orang memang dipandang sebagai wanita utuh yang sangat
mempesona. Di lain sisi, tidak bisa tidak, Ia merupakan transgender sehingga
sosoknya yang kharismatik pun memiliki cerita ‘lain’. Berbeda cerita dengan
Srikandi dari asalnya, India. Yang menunjukkan bahwa Ia justru perkasa dan
gagah.
|
Srikandi in Action |
Film ini berawal dari workshop yang
diselenggarakan oleh suatu lembaga. Peserta yang notabenenya queer
diprediksikan hanya dari Jakarta. Namun, karena antusiasme dari pemuda
diberbagai daerah, akhirnya peserta pun diexpand.
Ada yang dari Jogjakarta dan Bandung. Masing-masing peserta mengirimkan essai
kisah pribadinya yang kemudian diseleksi oleh panitia. Hasilnya seperti yang
kita lihat saat ini. Film The Children of
Srikandi merupakan sequel cerita dari beberapa peserta yang terpilih
kemudian dirangkai menjadi menjadi satu keutuhan film dalam durasi 74 menit.
Penggarapannya pun mereka mulai sendiri. Menarik lagi, semua adalah wanita. Waktu produksi
memakan sekitar 2 tahun.
Beberapa judul sequelnya antara lain Hello World (Imelda Taurinamandala) yang
menceritakan tentang mimpi seorang anak perempuan yang menginginkan dirinya
menjadi laki-laki. Jlamprong (Eggie Dian)
bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di jalanan kota
Jogjakarta. Ia mengalami beberapa kali pelecehan seksual akibat dari orientasi
seksualnya yang ‘berbeda’. Bahkan pihak yang seharusnya bisa melindungi,
Polisi, justru ikut andil membuatnya mengalami masa-masa sulit yang penuh
perjuangan. Ada juga kelompok
fundamental islam yang juga menganiayanya secara fisik dan batin. Melalui
prosesnya, ia justru meyakini bahwa kehidupan jalanan menjadi keluarga yang
hangat di matanya. Acceptance (Oji) mengisahkan
seorang wanita yang memilih untuk memulai kehidupan baru di kota yang baru.
Pilihan ini diambil sebagai jalan terbaiknya untuk terus berdamai dengan orientasinya. Edith’s Jilbab (Yulia Dwi Andriyanti) menggambarkan
kisah seorang wanita yang berpendidikan dengan background agama islam yang
kuat. Suatu ketika ia mengikuti kajian-kajian dimana disitulah ia menemukan
pertanyaan dasar atas agama dan Tuhannya. A
Verse (Winnie Wibowo) menceritakan tentang kisah seorang wanita yang
merupakan kakak tertua dari 3 bersaudara. Ia meninggalkan keluarga biologisnya saat
berumur 12 tahun karena alasan orientasi seksualnya. Ia mencoba memulai
kehidupan yang baru dengan perjuangannya di tengah-tengah masyarakat yang
heterogen. Di luar, ia justru menemukan keluarga yang begitu hangat
menerimanya. In Between (Hera Danish) bercerita
bagaimana seorang wanita yang hidup ‘diantara’ keduanya. Biseksual. Ketika ia
mengaku sebagai biseksual, banyak yang menolaknya. Dari pihak laki-laki juga dari
lesbian yang lain. Deconstruction (Stea
Lim) memberikan wacana dimana banyak sekali gender stereotype yang dibentuk masyarakat, khususnya untuk queer
di Indonesia. Dan yang terakhir yaitu No
Label (Afank Mariani). Pemilihan label bisa berubah-ubah. Manusia
dikonstruksi untuk masuk hanya ke dalam satu kategori saja. Padahal
kenyataannya banyak manusia yang bisa masuk ke beberapa label sekaligus.
Artinya, menggunakan label atau tidak sebenarnya adalah pilihan pribadi yang
harus dihormati.
Salah satu lirik yang saya ingat dari
soundtrack film ini mereka tertawa seakan
sempurna. Banyak yang menganggap dengan memiliki keyakinan yang ‘tak sama’
berarti berbeda. Parahnya stereotype norma
menjadikan ‘mereka’ seperti harus disingkirkan dari permukaan. Seolah-olah yang
tertawa merasa benar. Film ini memang tidak memberikan jawaban penuh atas
pertanyaan-pertanyaan yang seketika akan muncul dibenak audiencesnya. Film ini lebih ditujukan sebagai pengguliran wacana
bahwa fakta ‘ini’ memang ada di masyarakat kita. Jelas sekali bahwa film ini
tidak memberikan sebuah jawaban yang mungkin dicari-cari para auidences yang bertanya karena proses
itu akan terus berlanjut.
Menurut saya, cara seperti ini yang justru membuat
masyarakat bisa lebih kritis dan akan menggali lebih jauh tentang tema,
khususnya pada film ini. Bukan hanya sekedar menerima doktrin-doktrin beku dari stereotype yang sudah berkembang sejauh
ini.
Di akhir acara pemutaran film ini, kami mulai mencairkan suasana dengan bersilaturahmi bareng-bareng. Kembali bergumul dengan memori-memori saat camp yang penuh keakraban dan kisah-kisah seru.